Dijelaskan tentang kaitan ilmu dengan perguruan tinggi, maka ditinjau dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sebagai berikut :
a. Ontologi
Konsep ontologi adalah hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada di bumi dengan tenaga-tenaga yang di langit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga, serta aturan-aturan yang bersifat sakral. Realitas dalam ontologi melahirkan pertanyaan; apakah sesungguhnya hakikat dari realitas; apakah realitas yang tampak hanya realitas materi saja; adakah sesuatu di balik realitas itu; apakah realitas terdiri dari satu unsur, dua unsur, atau serba banyak, dan seterusnya.
Menurut Bramel, interpretasi tentang sesuatu itu pasti berbeda-beda, meskipun satu obyek kursi berbahan satu yaitu kayu misalnya.Dalam aktivitas di dunia pendidikan, pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah yang utama.
b. Epistemologi
Pada abad 19, istilah epistemologi pertama dipergunakan oleh L.E.Ferier di Institut of Metaphisics (1854), didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta kenyataan umum dari keharusan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi membahas isi pikiran manusia berupa pengetahuan, studi tentang pengetahuan bagaimana kita mengetahui benda-benda. Brameld bahkan menyebutkan bahwa Epistemologi ini sebagai jaminan bahwa seorang guru memberikan ilmu yang benar kepada murid-muridnya.
c. Aksiologi
Aksiologi ialah bidang ilmu yang menyelidiki nilai-nilai. Brameld membagi tiga bagian aksiologi; 1) moral conduct, yaitu tindakan moral, yang membentuk disiplin ilmu khusus yaitu etika; 2) esthetic expession, yaitu ekspresi keindahan, yang memformulaskan disiplin ilmu estetika; 3) socio-political life, kehidupan sosio-politik, yang melahirkan filsafat sosio-politik. Nilai hasil perenungan aksiologis itu kemudian diuji dan diintegrasikan dalam pengalaman hidup di tengan masyarakat, lantas diturunkan dalam kepribadian siswa.
Mengenai lingkup dan aktivitas perguruan tinggi, dipaparkan bahwa perguruan tinggi merupakan strata tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang memiliki perangkat yang lengkap secara metodologis dalam penyajian serta kajian ilmu dan pengetahuan yang berbasis moral, etika, estetika, serta religius guna memunculkan dan memutuskan jawaban dalam rangka memperoleh kebenaran, dengan memberdayakan akal pikiran dan naluri kemartabatan insaniyah sebagai sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia.
Sepanjang sejarah perkembangannya, metode pendidikan tinggi sangat beragam. Pethagoras membatasi pengikutnya sebagai kelompok yang merahasiakan berbagai segi dari pelajarannya; Plato memilih model dialog; Aristoteles lebih suka mengajak murid-muridnya berjalan-jalan sambil mengamati berbagai gejala alam di sekelilingnya.
Pada awal Masehi, gereja menjadi pusat pendidikan tingkat tinggi sebagai penghasil kebenaran yang sah yang berpedoman pada keyakinan di atas rasio. Pada abad ke-12 muncul berbagai pemikiran yang kadang bersimpangan dengan pihak gereja. Sejarah perpecahannya mencuat sejak munculnya pendapat tentang geosentris dan heleosentris.