[caption caption="70 Tahun NKRI"][/caption]
[/caption][caption caption="Lambang Kodok Chan-chu=Patung Keberuntungannya ECI"]
Muhammad Hatta Taliwang dalam diskusi tersebut mengatakan, "...... persoalan maju pesatnya etnis Cina bukan semata karena soal kehebatan budaya atau kemampuan pribadinya. Itu menyederhanakan persoalan. Kebijakan di era ORBA dan AKHIR ORBA khususnya BLBI misalnya, itu luar biasa menaikkan grafik ekonomi etnis Cina.
Kita renungkan ucapan penulis BARAT dibawah ini: "Kemerosotan peranan perusahaan-perusahaan pribumi dianggap banyak kalangan akibat korban persekongkolan antara modal non-pribumi dengan asing yang mendapat perlindungan politik dari pejabat tinggi pemerintahan. Kecaman terhadap strategi pembangunan menjurus kepada tuduhan bahwa strategi pembangunan ini mengkhianati kepentingan bangsa (Richard Robison/1985)".
Selanjutnya Henry Veltemeyer: "Proses akumulasi kekayaan disatu sisi, penghisapan serta pemiskinan disisi lain, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu desain kebijakan politik-ekonomi yang kini kita kenal sebagai Neo-Liberalisme dan Globalisasi Kapitalis".
CATATAN: Artinya ada sistem dan kebijakan yang mendongkrak secara luar biasa sehingga etnis Cina menjadi dahsyat seperti sekarang. Jangan kita kira semata karena kehebatan individual mereka karena etos dan budaya unggul semata. Karena kalau begitu cara pandangnya kita akan menghina bangsa sendiri dengan kata pemalas, bodoh dan bermental maling dan lain-lain. Padahal kebijakan yang diskriminatif itu telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda dimana kaum pribumi cuma warga kelas 3 di negeri ini.
Tujuan Kemerdekaan itu menyitir ucapan BUNG HATTA, adalah untuk meningkatkan martabat kaum pribumi. Pikiran Bung Hatta malah sukses diterjemahkan oleh DR. Mahathir Mohamad di Malaysia.
BUNG HATTA: "Tujuan utama revolusi nasional adalah mengangkat posisi ekonomi pribumi sehingga terbebas dari tekanan dan penghisapan" (hal 156, Dalam buku MENGENANG 100 TAHUN BUNG HATTA)
Prof Dr. Sumitro Djojohadikusumo: "....adalah merupakan penyimpangan dari cita-cita kemerdekaan jikalau kekuatan ekonomi pribumi tidak diprioritaskan untuk dikembangkan". (IDEM, hal 129)......".
Demikian disampaikan oleh Hatta Taliwang.
DR. Ir. Sri Bintang Pamungkas, pada tanggal 3 Agustus 2015 yang lalu memberikan sebuah buku kepada saya karena dalam buku yang setebal 730 halaman tersebut beliau menyebut nama saya. Di dalam bukunya yang berjudul "Ganti Rezim-Ganti Sistim, PERGULATAN MENGUASAI NUSANTARA" (Penerbit El Bisma, akhir 2014), Sri Bintang dalam kata sambutannya mengatakan: "....bahwa dengan Rezim Kekuasaan Partai ini, Indonesia terjebak dalam pemilihan pemimpin-pemimpin yang salah, dalam artian mereka yang terjaring dalam sistim politik kepartaian itu bukan pemimpin yang berkwalitas, yang mampu memegang amanat kerakyatan. Sebagai akibatnya, Indonesia terpuruk, sebagai negara yang kaya-raya akan sumber-sumber kekayaan alam, tetapi mayoritas rakyatnya jatuh miskin; sedang kekayaan tersebut kemudian menjadi jarahan rezim penguasa, pihak asing yang sejak awal memasuki abad 15 telah mulai mengincar kekayaan alam Indonesia, serta orang-orang ECI (ECI singkatan Etnis Cina di Indonesia, penulis.) yang berjiwa tamak, yang sudah juga mulai mengincar kekayaan alam Nusantara, bahkan sejak memasuki abad ke 5.". Lebih lanjut Sri Bintang Pamungkas menulis, "Tulisan dalam buku ini pada hakekatnya sudah diterbitkan di media maya sejak Januari 2014 berupa naskah yang masih kasar. Tetapi sedikitnya ada 30 ribu orang yang membacanya. Beberapa dari mereka yang membaca menuduh tulisan ini sebagai anti orang-orang Asing dan Cina Indonesia. Tentu tidak demikian, sebab apa yang tertulis juga sekaligus mempunyai rasa "anti" pula terhadap rezim bangsa sendiri yang berkuasa tetapi menjajah; bahkan rezim penguasa itu sendiri yang memberi kesempatan kepada pihak Asing dan orang-orang ECI untuk menjadi adikuasa dalam kehidupan sosial dan ekonomi di negeri ini. Tulisan ini bermaksud mewakili rakyat Indonesia yang mayoritas adalah "pemilik" sah dari Republik ini yang merasa diperlakukan tidak adil, bahkan merasa terjajah, di negeri tempat tumpah darahnya sendiri. Kami cinta kepada bangsa-bangsa di dunia, tetapi kami tidak ingin mereka menguasai kehidupan kami; bahkan bangsa sendiri, seperti rezim-rezim penguasa yang berkuasa sejak Soeharto, pun kami lawan karena mereka menguasai kehidupan rakyatnya sendiri, rakyat yang seharusnya memegang kedaulatan tertinggi di negeri-negeri mana pun di dunia ini...".
Sahabat seperjuangan saya sejak menjadi aktivis mahasiswa 77/78, yang bekas ketua dewan mahasiswa PTIQ (Perguruan Tinggi Al Qur'an) dan kemudian menjadi seorang sosiolog, Prof. DR. Musni Umar menulis di Kompasiana pada tanggal 8 Agustus 2015 sebagai tanggapan atas tulisannya tentang pembauran dalam artikelnya di Kompasiana tgl 5 Agustus dengan judul "70 Tahun RI, Pembauran Masih Masalah", sebagai berikut, "Masalah krusial yang dihadapi di Indonesia ialah kesenjangan sosial ekonomi antara golongan mayoritas yang pada umumnya pribumi dengan golongan minoritas yaitu Cina/Tionghoa. Ini terjadi akibat kebijakan politik Presiden Soeharto yang bekerja dengan para pengusaha Cina dalam bidang ekonomi seperti di masa penjajahan Belanda. Sejatinya kaum pribumi yang menderita sejak zaman penjajahan sampai revolusi pisik diberi affirmative action dan special treatment dalam pembangunan ekonomi seperti di Malaysia. Malangnya setelah reformasi tahun 1998, kebijakan Soeharto dan rezimnya dilanjutkan sampai saat ini. Apa yang sebaiknya dilakukan, silahkan curah pendapat supaya keadilan terwujud di negeri yang cintai ini.". Demikian Ustadz Musni Umar dalam menjawab pertanyaan pembacanya.
DE FACTO
Saya melihat bahwa secara de facto, kelompok Cina perantau sudah menguasai Indonesia. Sebanyak 80 persen ekonomi Indonesia telah mereka kuasai. Kemudian, kalau kita lihat penguasa-penguasa Indonesia mulai dari presiden, gubernur hingga tingkat bupati banyak dipengaruhi oleh kelompok konglomerat Cina. Sebab untuk maju dalam pemilihan saja mereka butuh modal yang sangat besar. Mau tidak mau mereka melakukan kolaborasi dengan konglomerat Cina itu.
Kalau selama ini kelompok Cina sudah menguasai kedaulatan ekonomi, sasaran mereka selanjutnya adalah menguasai kedaulatan politik. Terlihat jelas dari apa yang dilakukan Harry Tanu dengan mengambil partai Hanura kemudian mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia dan saat ini membentuk partai sendiri. Ada bos dari maskapai penerbangan besar Rudi Kirana yang menyusup kedalam partai besar. Gerakan dari Basuki Tjahaja Purnama atau Zhõng Wànxué alias AHOK untuk ikut kembali mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 dinilai banyak pihak sebagai batu loncatan untuk menjadi Presiden RI di tahun 2019 atau setidaknya 2024.
PENGALAMAN MASA KECIL
Pada tahun 1960 an saya bersekolah di madrasah di kota Sukabumi, Jawa Barat. Selain menuntut ilmu di madrasah pada siang hari, di pagi harinya saya bersekolah di SD (Sekolah Dasar) di kota kecil yang sejuk tersebut. Di sekolah dasar itulah saya mempunyai banyak sekali kawan-kawan keturunan Cina. Saya bergaul dengan etnik Cina dari kecil, sehingga cukup tahu karakter mereka.
Ketika saya mengambil S2 di sebuah perguruan tinggi juga banyak bertemu dengan kawan-kawan keturunan Cina yang belajar disana bahkan mayoritas. Bahkan kawan saya sekelas, seorang keturunan peranakan Cina yang tinggal di Bandung pernah berkata kepada saya dengan logat Sunda nya yang kental, "Pak,..... saya ini bingung.... di Bandung sejak kecil saya sering di kata-katai dan di soraki... Eh CINA ...CINA...., padahal saya bisa berbahasa Indonesia dan Sunda. Saya tidak di aku sebagai orang Indonesia. Sementara jika saya pergi ke GLODOK di Kota, saya nggak dianggap sebagai orang Cina. Bagaimana bisa pak? Sementara saya tidak faham dan tidak mengerti berbahasa Cina atau Mandarin sedikitpun." jelasnya dengan sungguh-sungguh.
Saya juga pernah bekerja sebentar di sebuah perusahaan milik keluarga Mas Agung yang Cina muslim di Jakarta sebelum akhirnya bergabung dengan sebuah BUMN yang bergerak di bidang telekomunikasi. Dan bahkan dikemudian hari setelah saya menyelesaikan kuliah di kampus syariah pada sebuah perguruan tinggi Islam, saya juga berkumpul dengan kaum muslimin keturunan Cina sampai akhirnya saya mempunyai jadwal tetap memberikan khotbah Jum'at di masjid yang didirikan oleh muslim etnis Cina di kawasan Pasar Baru di Jakarta.
Salah satu karakteristik orang Cina yang sangat kasat mata adalah kekayaan finansial yang dimilikinya. Ini menjadi stereotip yang sejak kecil saya alami. Walaupun tidak jarang kita temui orang Cina yang hidup sederhana, dan adapula yang bekerja sebagai petani.
Satu hal yang saya amati dari bertualang di mancanegara adalah karakter orang Cina pada umumnya yang progresif di luar keluarga namun konservatif di dalam. Dengan kata lain, orang Cina sangat menghargai ilmu pengetahuan terbaru dan tren-tren kultural terbaru yang merupakan bentuk kesempatan-kesempatan baru. Namun disamping itu, mereka sangat sayang dengan keluarga mereka dan memelihara tradisi.
Karakter "tahan banting" alias bermental baja dengan rasa iri yang minimal juga merupakan salah satu kunci sukses mereka. Berbagai masalah dihadapi dengan kepala dingin, bukan dengan rasa iri dan dengki karena dua hal ini tidak bisa memecahkan masalah bahkan memperkeruh. Sinergi seringkali dilakukan dengan kerjasama-bisnis sebagai salah satu bentuk pemecahan masalah. Mereka juga menggunakan kekalahan sebagai momentum untuk menukik ke atas dengan meng-adopsikan hal-hal dan strategi-strategi baru. Agresifitas disertai dengan realitas dan keberanian memulai dan follow through (meng-eksekusi-kan) membantu revitalitasi pasca-kegagalan.
Semboyan "nrimo" dan "mangan ora mangan asal ngumpul" tidak mereka kenal. Bagi para pedagang Cina, dua karakter ini tidak membantu bisnis. Mereka berani kalah, berani memulai kembali, dan berstrategi agar konsumen senang dan belanja lagi. Juga berstrategi agar memenangkan kompetisi tanpa mengguncangkan persahabatan antar pedagang yang merupakan kunci keberhasilan bersama.
Persahabatan dengan para konsumen juga membangkitkan rasa kepercayaan dan kenyamanan berbelanja. Kualitas produk dan kualitas pelayanan penting sebagai komponen sukses. Sikap konservatif dalam hal keuangan dan pengeluaran juga dibarengi dengan fleksibiltas strategi sesuai tren dan kemauan konsumen.
Ketekunan dan kesabaran dalam bekerja dan membangun bisnis merupakan kekuatan luar biasa. Jika orang lain bekerja 10 jam per hari, tidak jarang mereka bekerja 14 hingga 18 jam. Sisa waktunya hanya untuk makan, mandi dan tidur saja. Filsafat mereka sederhana: Bekerja untuk makan. 'Makan' di sini berarti memberi nafkah bagi keluarga mereka. Mereka tidak kenal istilah "mangan ora mangan asal ngumpul" yang tidak mengutamakan "makan". Bagi orang Cina, makan adalah inti keberhasilan karena setiap orang perlu energi untuk berkarya.
Pengalaman dan ketrampilan bisa diasah kemudian, yang penting mereka telah melihat peluang dan berani memulai. Dan ini sudah cukup untuk menjadikan mereka sebagai "konsolidator" yang mengumpulkan berbagai sumber daya dan ketrampilan orang lain, sehingga bisa membentuk produk-produk yang dijual. Saya kenal beberapa pebisnis media advertising dan consumer products yang sama sekali buta akan bidang tersebut, namun mereka pandai mengumpulkan orang-orang yang berpengalaman di bidangnya.
Setiap keluarga Cina sangat mengutamakan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. Begitu mereka punya uang sedikit, anak-anak mereka disekolahkan di sekolah-sekolah terbaik dunia atau negara tersebut. Tujuannya agar para generasi penerus mempunyai landasan kuat secara intelektual sehingga mampu menganalisa peluang-peluang bisnis serta memandang dunia secara makro dan berpandangan jauh ke depan.
Semakin baik pendidikan yang diterima, semakin besar pula kemungkinan mereka mendapatkan relasi yang baik di masa depan. Juga mereka mendapatkan pelajaran terbaik tentang tren-tren di masa depan. Dari awal, mereka belajar bahwa selain pendidikan yang baik memberikan pengakuan sosial, ini juga merupakan kesempatan networking seumur hidup.
Spirit entrepreneurship yang dimiliki dibarengi dengan kemampuan mengenali tren serta kapitalisasinya, perlu diasah sejak dini. Cukup banyak keluarga pebisnis menerapkan sistem apprenticeship (magang) bagi generasi muda dengan melibatkan mereka dari awal. Tertanam jiwa yang sadar akan "tidak ada sukses yang mudah, semua perlu ketekunan dan mental baja".
Bisa dimengerti mengapa bisnis mereka melesat di seantero dunia. Pola pikir dan kebiasaan membentuk karakter sukses. Keadaan sosial, kemiskinan dan minimnya rasa aman menjadi pemicu kerja. Itu saja. Tapi, ...... apakah benar hanya itu saja?
HURU-HARA 10 MEI 1963
Pada tahun 1963, tanggal 10 bulan Mei di Sukabumi terjadi pembakaran, pengrusakan rumah-rumah orang Cina dan juga sekolah Tjung Hua-Tjung Hui. Rumah kawan-kawan sekolah saya dari etnis Cina seluruhnya dirusak, dilempari batu dan ada yang dibakar sehingga lebih dari 3 tahun di setiap rumah orang Cina di Sukabumi jendelanya ditutup kayu pengganti kaca jendela yang pecah. Peristiwa itu pada awalnya terjadi di kota Bandung dan merembet ke Sukabumi, Tasikmalaya, Cianjur, Garut dan beberapa kota lainnya di Jawa Barat. Masih teringat di kepala saya ketika saya melewati sekolah Tjung Hua-Tjung Hui saya melihat kepala Barongsai tergeletak di halaman sekolah yang sudah hancur diobrak-abrik masa, kemudian Barongsai itu saya bawa pulang untuk dijadikan mainan bersama kawan tetangga belakang rumah.
Huru-hara 10 Mei 1963 menjadi kerusuhan rasialis pertama dan terbesar di kota Bandung. Sentimen anti Cina yang 'menjangkiti' sebagian kalangan mahasiswa dan warga Bandung ketika itu dipandang sebagian pihak sebagai manifestasi kejengkelan 'warga pribumi' terhadap situasi ekonomi yang 'morat-marit' dimasa Demokrasi Terpimpin. Dan kejengkelan itu termanifestasi dalam kekerasan terhadap etnis Cina di Indonesia yang memang kebanyakan 'bernasib lebih baik' secara ekonomi karena dominan di sektor perdagangan di Bandung. Jadi problem ketimpangan dalam struktur ekonomi berbuah antipati terhadap etnis Cina di Indonesia.
CINA DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
Sekarang, kita lihat di Indonesia zaman Soeharto. Cina diberi previledge dan kemudahan karena sepertinya Soeharto kuatir jika banyak orang Indonesia yang kaya bisa mengancam rezim-nya secara politik. Kendati Soeharto dengan sangat selektif memperkenankan beberapa orang Indonesia untuk kaya. Jadi etnis Cina di Indonesia sangat diuntungkan dalam masa Soeharto.
Golongan Cina di era modern sekarang begitu berkembang di Indonesia. Populasi mereka bisa dikatakan sangat kecil, hanya 2,1% dari seluruh populasi. Namun, kekuatan ekonomi yang mereka kuasai mencakup kurang lebih 75% modal swasta dalam negeri (Redding, 1988).
Bustanil Arifin dalam Pacific Business Forum (John Naisbitt, 1997) mengatakan bahwa perusahaan kecil dan menengah memperkerjakan separuh tenaga kerja di banyak negara Asia dan etnis Cina memiliki 99% dari perusahaan-perusahaan tersebut. Khususnya di Indonesia, populasi etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia. Etnis Cina di Indonesia menjadi salah satu masyarakat keturunan Cina perantauan yang hidup dan tinggal di luar negara asalnya. Jaringan kerja etnis Cina perantauan sejak kegiatan ekonomi tahun 1990-an hingga kini mendominasi kegiatan ekonomi wilayah Asia, termasuk Indonesia.
Harian KOMPAS 27 September 2015 di halaman 1 berita Ketua Umum World Chinese Entrepreneurs Convention (WCEC) KIKI BARKI saat menyebutkan bahwa warga keturunan Cina yang tersebar di banyak negara diperkirakan berjumlah 60 juta orang dan sekitar 21 juta orang di antaranya terdata tinggal di Indonesia.
Warta Ekonomi juga memberitakan bahwa daftar orang terkaya di ASEAN termasuk Indonesia, di dominasi oleh warga non-pribumi, terutama golongan Cina. Kekuatan ekonomi golongan ini bisa ditelusuri hingga masa kolonial.
Di Indonesia, Hindia Belanda ketika itu, Belanda membagi masyarakat berdasarkan etnis. Orang Eropa menjadi elite politik warga negara kelas satu atau De Eerste Klasse , sosial dan ekonomi orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen yaitu Cina, Arab, India) sebagai warga negara kelas dua atau De Tweede Klasse. Dan orang INLANDER atau PRIBOEMI sebagai warganegara kelas tiga atau De Derde Klasse (orang Indonesia kecuali Priyayi, kaum bangsawan atau De Gestuudeerde Familie keluarga yang terpelajar dan sempat mengenyam pendidikan di Eerste Europese School). Inlander atau Priboemi inilah berada dalam lapisan bawah dengan fungsi sebagai produsen hasil bumi.
Walaupun Cina merupakan golongan menengah, Cina memiliki peran penting sebagai distributor antara Pengusaha Ekonomi Besar (Multinasional Barat) dan penduduk PRIBOEMI. Kedudukan golongan Cina sebagai penengah antara kepentingan ekonomi Barat dan pribumi ini dicapai melalui usaha tahap demi tahap bukan karena desain Belanda. Mereka mengisi sektor ekonomi swasta mulai dari berdagang barang eceran, distributor barang hingga mendirikan konglomerasi multinasional. Tidak salah bila Yoshihara Kunio (1986) akhirnya menyatakan bahwa pertumbuhan kapitalisme Cina di negara-negara ASEAN tersebut sebagai ersatz capitalism.
Tesis yang diajukan Yoshihara Kunio dalam buku tersebut, di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya tidak ada kapitalisme murni jika mengacu pada praktik yang lazim di negara-negara maju. Di Jepang misalnya, dia mengatakan, para kapitalis di sana lebih mengandalkan inovasi dan kompetisi, dan dalam banyak hal merupakan pelaku modernisasi ekonomi. Sementara praktik yang berlangsung di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya adalah munculnya kapitalisme semu (ersatz capitalism).
Para pengusaha besar (kapitalis) di Indonesia tidak mampu berdiri sendiri dan bersaing dengan kompetitornya tanpa bantuan pemerintah. Kebanyakan dari mereka, kata Kunio, adalah para pemburu rente (rent seekers) yang mencoba mencari keuntungan melalui jalinan koneksi dengan pemerintah. Mereka mencari peluang menerima rente dengan memanfaatkan proteksi, lisensi bisnis, atau monopoli kegiatan bisnis tertentu dari pemerintah.
Kunio menyebutkan, para pemburu rente tersebut sangat dekat atau masuk dalam lingkaran kekuasaan. Mereka antara lain anggota keluarga presiden, para konco atau kroni presiden, bekas birokrat atau tentara yang banting setir menjadi pengusaha, serta para politisi (Kunio, 1990: 91-134). Intinya, kata Kunio, para kapitalis semu tersebut hanya bisa hidup dengan bersandar pada kekuasaan politik.
Golongan Cina yang saya maksud dalam paparan ini adalah kumpulan Cina yang berada di Indonesia. Untuk mudahnya saya pinjam istilah DR. Sri Bintang Pamungkas dalam bukunya tersebut diatas, yaitu ECI, Etnis Cina di Indonesia. Sejak jaman kerajaan, Cina sudah mulai berimigrasi ke Indonesia. Di Jawa ada pembedaan untuk Cina yang datang langsung dari daratan Cina yang disebut Cina Totok dan Cina yang merupakan keturunan dari blasteran Cina-Jawa dan disebut Cina Peranakan. Peranakan yang sudah beberapa generasi hidup di Jawa akan mulai kehilangan ke-Cina-an-nya (Chineseness) dan banyak yang sudah tidak bisa lagi membaca bahasa Cina. (Ong Hok Ham 2008)
Cina sudah menjadi negara yang maju pada abad ke 15. Pengaruh kebudayaannya bisa dilihat di banyak negara lain. Dalam politik pun Cina lebih modern dibanding negara lain karena berani merombak Konfusianisme yang telah sangat lama melekat di masyarakat dengan Marxisme. Marco Polo yang menjelajah dunia pada abad ke 13 menyatakan bahwa Cathay atau Cina telah memiliki kedudukan tinggi di antara kalangan cendekiawan Barat, para misionaris, pengusaha dan sebagainya. Bahkan muncul istilah Chinoiserie yang berarti penjiplakan segala sesuatu yang berasal dari Cina oleh Barat dengan versinya sendiri kedalam bentuk seni dan budaya mereka. Level kebudayaan Cina memudahkan mereka untuk beradaptasi di daerah baru dan sukses di daerah perantauan. Cina perantauan (Overseas Chinese) yang merupakan kelompok Cina yang berada di luar Cina Daratan merupakan konsep yang dikemukakan oleh Redding. Ke-Cina-an mereka bukan karena negara tapi karena bangsa atau kaum.
Kesamaan mereka adalah dalam sudut pandang ekonomi. Redding menyatakan bahwa mereka akan tetap mempertahanakan ke-Cina-an nya meskipun tetap memilih menjadi koloni Inggris. Penyebaran mereka ke berbagai penjuru daerah memudahkan mereka untuk membangun kongsi-kongsi multinasional.
Perkembangan Kapitalisme Cina sejak kehadiran mereka di Jawa pada zaman kerajaan, Cina menyumbang banyak hal terutama dalam sistem ekonomi yang dibangun saat itu. Hingga pada masa kedatangan kolonial Eropa, mereka menjadi bagian terpenting dalam rantai distribusi, perdagangan eceran maupun sebagai pembeli hasil pertanian untuk kemudian dijual keoada perusahaan Eropa. Peran Cina sebagai perantara bukan karena pemberian peran atau adanya proteksi dari pihak kolonial, melainkan karena Eropa memang pada dasarnya datang ke kawasan Asia Tenggara hanya untuk berdagang dan mereka merasa dipermudah dengan adanya Cina yang telah mengisi sektor penyambung tersebut. Pada masa itu, VOC (Veerenigde Oost Indische Compagnie) datang dengan uang logam yang besar sedangkan uang yang beredar di masyarakat adalah uang picisan yang banyak dikuasai oleh Cina. Hal itu menggambarkan pentingnya posisi Cina dalam menyambung hasil pertanian dari kerajaan ke pedagang Eropa.
Pada jaman kolonial, VOC membangun infrastruktur untuk membangun sistim ekonomi. VOC merangkul orang Cina untuk pekerjaan-pekerjaan fisik seperti pembangunan gedung, tembok kota, kanal-kanal dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena orang Cina memiliki teknologi pertukangan yang sangat tinggi, and last but not least.... memiliki modal serta ketrampilan manajerial. Saat itu orang Cina sulit masuk sektor swasta karena VOC melakukan monopoli dalam perdagangan (OngHok Ham 2008).
Setelah VOC bangkrut dan kolonial meninggalkan sistem perdagangan monopoli, Cina mengantisipasi perubahan tersebut dan masuk kedalam sektor bisnis swasta.
Kelompok Cina mulai memasuki usaha Onderneming atau perkebunan, pabrik gula dan tekstil. Bahkan muncul konglomerat non-Barat pertama yang berpusat di Semarang, yaitu NV Kian Gwan, lebih dikenal sebagai Oei Tiong Ham Concern (OTHC) atau Kian Gwan Kong Si, yang memiliki cabang di berbagai kota di dunia.
Setelah itu bermunculan juga konglomerat yang lebih kecil diberbagai daerah seperti Be Kwat Koen, Kwee Koo Tong, Tjoa, Han, dan syarikat Tjong A Fie. Cina saat itu berpartisipasi dalam membangun abad ke-20 menjadi jaman modern yang berhubungan dengan kapitalisme internasional.
Pasca Perang Dunia Kedua Indonesia meraih kemerdekaannya dan Belanda meninggalkan daerah koloninya. Cina mendapatkan porsi besar dibidang ekonomi karena PRIBUMI lebih sibuk mengambil alih sektor administrasi, birokrasi dan kekuasaan politis. Namun, bukan tanpa masalah karena ternyata pribumi juga memberikan reaksi yang pada dasarnya cukup memandang penting masalah ekonomi. Hal ini terungkap dalam tiga gejala, yaitu muncul sosialisme yang termanifestasi dalam koperasi sebagai alternatif terhadap bisnis swasta; memberikan proteksi kepada golongan ekonomi lemah dan menyediakan peluang bisnis bagi pejabat; dan keberadaan BUMN yang bertugas untuk mengumpulkan devisa dan merupakan bagian kegiatan bisnis tersendiri. Usaha Cina juga terancam oleh nasionalisasi perusahaan asing.
Perusahaan-perusahaan swasta milik Eropa dan Cina pada masa kolonialisme mengalami proses nasionalisasi, termasuk Oei Tiong Ham Concern, dan diberikan kepada pejabat, baik sipil maupun militer, dalam kebijakan birokratis.
Memasuki era Orde Baru, Cina kembali mendapatkan angin segar dalam menumbuhkan kapitalisme.
ECI MENJADI MITRA PEMERINTAH ORDE BARU SEKALIGUS ECONOMIC ANIMAL
Indonesia mulai memikirkan pembangunan dan hal ini dimanfaatkan oleh Cina untuk menjadi mitra pemerintah untuk melakukan pembangunan fisik maupun sektor perdagangan dan ekonomi. Bisa dikatakan Cina Perantauan merupakan golongan yang paling terlibat dalam sektor perekonomian sehingga mendapatkan banyak keuntungan. Di sisi lain, kebijakan Orde Baru membentuk golongan Cina menjadi "manusia ekonomi" atau secara kasar disebut economic animal.
Disamping kesempatan luar biasa Cina untuk mendominasi sektor perekonomian, mereka mendapatkan tekanan dari kebijakan pemerintah ORDE BARU berupa Cultural Exorcism yang merepresi terhadap unsur-unsur kebudayaan Cina seperti arak-arakan Barongsay, upacara-upacara penguburan yang mewah, kuburan-kuburan yang monumental, dan sebagainya.
Bahkan ada kebijakan "pembauran" kepada golongan Cina, salah satunya dengan mengganti nama Cina nya menjadi nama yang tidak berbau Cina. Proses itu disebut "ganti nama".
ECI juga mendapat tekanan di bidang politik karena tidak diberi kesempatan sama sekali untuk memiliki jabatan seperti menteri atau atau petinggi partai.
Tekanan tersebut mendorong Cina untuk memaksimalkan satu-satunya kesempatan untuk berekspresi, yaitu di bidang ekonomi. Biaya yang besar dalam upacara Cina dialihkan menjadi modal ekonomi. Inilah yang membentuk golongan Cina menjadi economic animal pada masa itu.
Perkembangan ekonomi di luar negeri pun sangat menguntungkan golongan Cina di Indonesia. Jepang sebagai negara industri yang banyak berinvestasi di Asia Tenggara beraliansi dengan golongan ECI karena merekalah yang banyak berperan dalam ekonomi.
Kehadiran Newly Industrialized Countries (NICs) seperti Hongkong, Taiwan, Singapura dan Korea Selatan juga membawa keuntungan bagi golongan Cina. Koneksi pengusaha Cina Perantauan di berbagai negara mendorong Cina Indonesia untuk ikut berkembang menggelorakan ekonomi sektor swasta di Indonesia. Misalnya dapat dilihat pada hubungan antara Liem Sioe Liong dari Indonesia dan Tan Piak Chin dari Thailand dalam menyelesaikan hutang-hutang Pertamina dalam kasus kapal tanker pada tahun 1970-an.
ECI memiliki prospek besar dalam mengembangkan kapitalisme di Indonesia. Mereka memliki peran ekonomi dan finansial yang kongkrit. Pusat-pusat perdagangan di berbagai daerah didominasi toko-toko milik keturunan Cina. Pribumi yang masuk ke berbagai sektor di beberapa tahun terakhir keturunan Cina masih menguasai inti ekonomi pasar modern. Pengalaman Orde Baru menyadarkan mereka mengenai akses politik yang dibatasi sehingga akses pada kebijakan akan dicari melalui uang atau dengan jalan korupsi. (Inilah AWAL mula korupsi di pemerintahan, yaitu di masa ORBA)
Tidaklah berlebihan apabila saya menyatakan kecewa atas apa yang terjadi di Indonesia pasca Soeharto. Tidak hanya saya, tetapi banyak orang; bahkan seluruh rakyat Indonesia. Kalau melihat garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sejak 3-4 tahun ini, yaitu sebagai pendapatan seorang sehari sebesar 2 USD atau sekitar 20-24 ribu Rupiah, di bawah itu ada separuh jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta; maka kekecewaan saya itu sangat beralasan. Dan tentunya seratus juta lebih rakyat Indonesia yang miskin itu pasti mendukung kekecewaan saya itu, dan kekecewaan banyak orang lain.
Dan lalu ada penelitian yang menghasilkan kenyataan kontradiktif, bahwa ada 50 orang warga negara Indonesia yang kekayaannya pada tahun 2013 ini mencapai 95 milyar US Dolar. Hampir 100 persen dari mereka adalah Etnis Cina Indonesia, ECI, yang memperoleh kekayaannya itu secara tidak bersih dan jujur, bahkan kotor dan jahat; selain mereka memang piawai untuk berbuat seperti itu, juga didukung oleh pejabat Negara kita sendiri. Angka itu bertambah dari tahun sebelumnya ke tahun berikutnya.
Ketika masih dibawah Rezim Soeharto, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 120 juta dengan garis kemiskinan 1000 Rupiah pengeluaran seorang sehari (penelitian DR. Sri Bintang Pamungkas di tahun 1993 berdasarkan data 1992, penerbit El Bisma 2014). Jadi, sesudah bertahun-tahun keadaan rakyat Indonesia, pastilah mereka Pribumi, tidak berubah. Jelas bukan Indonesia seperti itu yang menjadi cita-cita kita semua, ataupun cita-cita Soekarno-Hatta tatkala mereka berjuang melawan penjajahan dan kemudian berhasil memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. (Sri Bintang Pamungkas, penerbit El Bisma 2014)
Status golongan Cina yang perbedaannya dipelihara sejak jaman kolonial lama-kelamaan menjadi lebur. Golongan menengah yang banyak dikuasai keturunan Cina masa Orde Baru kurang diakui tetapi setelah ada deregulasi dan debirokratisasi peranan golongan pengusaha tersebut menjadi absah.
Untuk membangun Imagined Community yang lebih kuat sebagai bangsa Indonesia, perlu dilakukan evaluasi kembali atas konsep "minoritas", "keturunan", dan sebagainya.
KENAPA ECI SELALU MENJADI VICTIM ?
Ini pertanyaan yang selalu menggelitik dan mengundang pertanyaan. Apakah benar seperti yang diutarakan oleh DR. Musni Umar bahwa, "Masalah krusial yang dihadapi di Indonesia ialah kesenjangan sosial ekonomi antara golongan mayoritas yang pada umumnya pribumi dengan golongan minoritas yaitu Cina/Tionghoa..."?
Apakah benar-benar hanya karena persoalan kesenjangan ekonomi semata?
Seandainya antara ECI (Etnis Cina di Indonesia) dan PRIBUMI tidak ada kesenjangan ekonomi maka apakah penduduk pribumi akan "ridho" dan rela hatinya dan yang datang dari lubuk hati sanubarinya yang paling dalam jika ECI atau disebut juga Cina Perantauan menurut istilah Ong Hok Ham itu menjadi Presiden Republik Indonesia? Apakah pribumi akan benar-benar ridho dan rela hatinya jika Wakil Presiden Republik Indonesia dijabat oleh ECI? Apakah pribumi akan benar-benar ridho dan rela hatinya jika ECI menjadi Panglima TNI? Dan sederet lagi pertanyaan yang mengganjal di dalam dada kita......?
Sederet pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang tidak dijawab oleh DR. Musni Umar dalam tanggapannya atas pertanyaan sehubungan dengan artikelnya di Kompasiana tgl 5 Agustus dengan judul "70 Tahun RI, Pembauran Masih Masalah".
XENOPHOBIA
Xenophobia berarti ketakutan irasional terhadap orang asing atau hal-hal asing. Istilah ini berasal dari kata Yunani, xenos yang berarti asing dan phobos yang berarti takut. Nah, jika melihat hal ini, dari 3 etnik Vreemde Oosterlingen yaitu Cina, Arab dan India, hanya kepada ECI saja terjadi kecurigaan yang berujung pada kerusuhan? Kita lihat satu persatu.
Etnis Arab di Indonesia, lebih diterima di Indonesia karena faktor agama Islam. Apalagi dengan bercampur baurnya antara orang Arab dengan pribumi di masjid, 5 kali sehari paling kurang shalat di masjid dan terjadi setiap hari dalam setahun penuh. Tentunya hal ini membuat cairnya suasana. Dengan mudah orang keturunan Arab di Indonesia berbaur dengan pribumi.
Bagaimana dengan orang India di Indonesia? Mereka mayoritas beragama Hindu dan cenderung ekslusif namun karena jumlah mereka sedikit dan tidak pernah ada sejarah ekspansi maka itu sebabnya tidak menjadikan mereka menjadi obyek kecurigaan, apalagi sebagai korban kekerasan atau serangan. Sementara orang Pakistan yang dulunya menjadi bagian dari India terkadang bagi orang awam pribumi dianggap sebagai orang Arab. Untuk orang Cina perantauan di Indonesia ini kita terpaksa merunut ke belakang, ke abad 12.
KERAJAAN TIONGKOK KHUBILAI KHAN PERNAH PUNYA SEJARAH EKSPANSI KE INDONESIA
Kerajaan Singosari di Jawa berhasil membangun sebuah kestabilan politik dan militer yang menempatkan posisi Singosari sebagai kerajaan yang cukup disegani di Nusantara. Puncak kejayaan Singosari terjadi pada masa pemerintahan Sri Maharaja Kertanegara.
Sementara itu di daratan Cina, cucu Jengis Khan yang bernama Khubilai Khan berhasil membangun sebuah kekuasaan ke kaisaran yang ditopang dengan kekuatan militer yang besar dan tangguh. Kaisar Khubilai Khan yang menamakan pemerintahannya dengan nama Sung berkeinginan untuk menundukkan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan Asia Timur lewat menggunakan kekuatan militer dan politik. Caranya dengan meminta para penguasa lokal untuk mengakui kaisar Khubilai Khan di daratan Cina sebagai penguasa tunggal dan mengharuskan raja-raja lokal tersebut mengirim upeti (tribute) kepada Kaisar Cina. Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Sri Maharaja Kertanegara dari Kerajaan Singosari.
Demi tujuan tersebut diatas, pada tahun 1289 Khubilai Khan mengirimkan utusannya ke Singosari. Pengiriman utusan ini telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh Kaisar Khubilai Khan. Namun utusan yang terakhir inilah yang mengalami insiden yang pada akhirnya memicu sebuah konfrontasi terbuka.
Utusan itu bernama Meng Chi, datang membawa pesan dari Kaisar Khubilai Khan supaya Singosari tunduk dibawah kekuasaannya. Sri Maharaja Kertanegara merasa tersinggung, lalu mencederai wajah dan memotong telinga Meng Chi dan mengirimnya pulang ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan Cina. Perlakuan Sri Maharaja Kertanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan kepada Kaisar Khubilai Khan. Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia saat itu, ia merasa terhina dan berniat ntuk menghancurkan Jawa yang menurutnya telah mempermalukan bangsa Cina.
Jawa (Indonesia) dapat menghindar dari serangan Tiongkok.
Raden Wijaya bersiasat menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan, sebagai wujud penyerahan dirinya. Ike Mese utusan Khubilai Khan mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, bukannya mempersiapkan upeti, Wijaya dan pasukannya malah menghabisi kedua perwira dan para pengawal dari Mongol yang menyertainya. Setelah itu, dengan membawa pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya memimpin pasukan tempurnya menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa di Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan.
Pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari meninggalkan banyak korban. Serangan mendadak yang tidak disadari itu membuat Ike Mese kaget tidak kepalang tanggung.
Tiga ribu pasukan Kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, dan memaksa mereka keluar dari Pulau Jawa dengan meninggalkan banyak korban.
Kekalahan balatentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya, mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kubilai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi, kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporak-porandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di dalamnya.
Menurut Pararaton, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese diusir dari Pulau Jawa. Pertempuran berakhir di Pelabuhan Ujunggaluh (Tanjung Perak sekarang) dengan kemenangan pasukan Raden Wijaya.
Pada pertempuran ini dicatat dalam sejarah Majapahit, Sang Saka Gula Kelapa dikibarkan bersama umbu-umbul calon kerajaan yang akan lahir di atas kepala para prajurit Jawa. Peristiwa itu sebagai kemenangan besar pasukan Raden Wijaya yang dibantu rakyatnya mengusir tentara Tartar, yang merupakan peristiwa terbebasnya kepulauan Nusantara dari penjajahan atau intervensi tentara asing.
Berkibarnya Sang Såkå Gulå-Kêlåpå, yang disebut juga Sang Saka Merah-Putih atau Sang Såkå Gêtih-Gêtah sebagai bendera pada tahun 1292 itu disebut dalam Piagam Butak atau Prasasti Butak yang kemudian dikenal sebagai Piagam Merah Putih. Pertempuran terakhir dan peristiwa pengusiran pasukan tentara Mongol itu diduga terjadi pada tanggal 31 Mei 1293, yang ditandai dengan sesanti surå ing bhåyå yang berarti “keberanian menghadapi bahaya” yang diambil dari babak dikalahkannya pasukan tentara Cina Khubilai Khan oleh pasukan tentara Jawa pimpinan Raden Wijaya. Akhirnya tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Lahir Kota Surabaya, dan diperingati hingga sekarang.
Indoleaks membocorkan salinan dokumen dari Gedung Putih berkode Top Secret/Sensitive berupa percakapan antara mantan Presiden Soeharto dengan mantan Presiden Amerika Serikat Richard M NIxon dan mantan menteri luar negeri AS Henry Kissinger.
Dokumen bertanggal 26 Mei 1970 berisi berbagai hal soal perkembangan Indonesia setelah lepas dari peristiwa G-30-S. Tercatat isu soal Partai Komunis Indonesia, investasi dan utang asing, serta pertahanan Indonesia.
Dalam pembicaraan lanjutan, Soeharto mengungkapkan kekhawatirannya terhadap militer Cina.
Keterangan-keterangan diatas hanyalah suatu fakta sejarah penyebab saja atas kekuatiran "bahaya kuning" seperti yang juga disampaikan oleh Joyoboyo. seorang raja dari kerajaan Kadiri, nama lengkapnya adalah “Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita".
BEBERAPA STIGMA
Ada beberapa stigma negatif yang menempel pada sebahagian ECI, antara lain menghalalkan segala cara demi uang.
Tukang sogok pejabat, bahkan dianggap ECI lah yang mengajarkan budaya SOGOK di Indonesia.
Dalam budaya Cina, main judi itu bagian dari ritual buang sial, tidak dilarang. Judi adalah budaya dalam komunitas Cina. .
Warga Cina di seluruh dunia selalu merasa punya kaitan dengan asal muasal leluhurnya di Tiongkok dan diakomodir dengan ius sanguinis RRC.
Sangat jarang ditemukan contoh akulturasi dan asimilasi kaum etnis Cina di seluruh negara di dunia. Mereka selalu memisahkan diri dan menganggap berbeda. Mungkin itu sebabnya di seluruh dunia di luar RRC dan Taiwan selalu ada China Town, lengkap dengan budaya dan tradisi Cina aslinya.
Di Indonesia, sebahagian besar ECI terlalu menonjolkan kehebatan dan gaya hidup mewah mereka. Secara demonstratif membuat pemukiman bahkan kuburan yang dihuni oleh kelompok mereka saja.
Di sebahagian ECI terdapat meerderwaardigheidsgevoel (bhs. Belanda: merasa lebih dari orang pribumi penduduk asli) sehingga tercermin didalam perilaku mereka yang sedikit sekali mau masuk agama Islam karena dianggap agama Islam itu adalah agama orang susah, miskin dan melarat, padahal Islam adalah agama mayoritas pribumi Indonesia. Anggapan ini sudah ada sejak penulis kecil ketika bergaul dengan mereka di tahun 1960 an.
Pada zaman Sukarno ada PP 10 tahun 1959. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1959 adalah sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tanggal yang berisi tentang larangan orang Cina berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.
Peraturan ini menjadi kontroversial karena pada penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan Cibadak dekat Sukabumi).
AKAR MASALAH
Penduduk asli Indonesia adalah orang yang terkenal ramah dalam menghadapi atau menerima orang asing. Dan tidak punya XENOPHOBIA terhadap orang asing yang datang ke wilayah Indonesia. Buktinya, siapa saja yang datang ke Indonesia atau ke pulau Jawa selalu diterima dengan baik. Melihat dari beberapa fakta sejarah diatas, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya yang terjadi adalah Xenophobia "terbatas" pada ECI atau setidaknya KECURIGAAN yang memang sebenarnya mempunyai dasar atau alasan yang bisa diterima akal. Dan yang menjadi INTI MASALAH nya adalah "GAYA HIDUP". Yang terjadi bukan "pertentangan kelas", tetapi gaya hidup ECI yang membuat pihak pribumi menjadi marah dan akhirnya berujung kerusuhan anti Cina. Dan satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan atas terjadinya "pertentangan" ini, ialah kelompok ASONG, meminjam istilah Muhammad Hatta Taliwang, yaitu orang pribumi yang memegang tampuk kekuasaan meng-ASONG-kan (mengasongkan/menjajakan/menawarkan sumber daya alam Indonesia) kekuasaannya kepada pihak ASING (ASING yang mengincar kekayaan sumber daya alam Indonesia) dan ASENG (istilah Sri Bintang Pamungkas bagi ECI Konglomerat Hitam yang tamak dan merusak ekonomi Indonesia dan semula ditujukan kepada konglomerat hitam pelaku BLBI.)
LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN
Saat ini Indonesia sudah memasuki kehidupan yang lebih maju dan modern. Sehingga menghadapi tantangan yang lebih kompleks dan rumit hari ini dan di masa depan, maka mau tidak mau kita juga harus mempersiapkan diri kita, mempersiapkan kesatuan, membangun Imagined Communities (Anderson's book, Imagined Communities, published in 1983.).
Pancasila sebagai Dasar Membangun Imagined Communities
Pancasila harus dijadikan sebagai diskusi umum (public discourse) sehingga terjadi pemaknaan nilai-nilai Pancasila di dalam habitus-habitus dari kebhinnekaan bangsa Indonesia. Seorang individu adalah anggota dari berbagai jenis habitus dan lapangan-lapangan (field). Habitus dan lapangan tersebut diisi dengan antara lain nilai-nilai kebersamaan yang dirasakan bermanfaat oleh anggota komunitas sehingga terjadilah ikatan yang erat di antara anggotanya. Dengan demikian mulai terbentuk apa yang disebut modal sosial dan modal kultural di dalam komunitas itu. Nilai-nilai Pancasila dengan demikian dapat ditafsirkan dan diperagakan di dalam berbagai jenis habitus sehingga melekat di dalam tingkah laku para anggotanya.
Kita lihat kehidupan masyarakat Indonesia seakan-akan berada pada tahapan disintegrasi karena tidak ada nilai-nilai yang dijadikan sebagai pegangan bersama. Dalam perumusan UUD 1945 telah kita lihat bagaimana perjuangan founding fathers untuk merumuskan nilai-nilai yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang kemudian nilai tersebut kita kenal sebagai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila hendaknya dijadikan sebagai suatu topik diskursus publik yang terus menerus karena tujuannya ialah untuk diterapkan di dalam tingkah laku yang tampak di dalam habitus setiap pribadi. Dengan mewujudkan hal tersebut maka lama-kelamaan akan terbina suatu identitas bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pancasila dinyatakan sebagai platform untuk membangun identitas bangsa Indonesia yang merupakan proses yang berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan platform dengan nilai-nilai Pancasila tersebut kita berupaya untuk membangun suatu masyarakat yang dicita-citakan, suatu imagined communities.
Nasionalisme akan tampak di dalam kenyataan apabila rakyat biasa sebagai penyandang identitas membayangkan dirinya sebagai anggota dari suatu komunitas bangsanya yang abstrak. Inilah yang dimaksud oleh Benedict Anderson dengan Imagined Communities (Anderson's book, Imagined Communities, published in 1983.). Bangsa yang menggambarkan adanya Imagined Communities menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa di dalam satu kesatuan. Persatuan dan kesatuan hanya dapat terwujud ketika seluruh masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat dengan tanpa memiliki rasa etnosentris yang berlebihan yang dapat memicu perpecahan. Inilah yang akan menimbulkan loyalitas nasional.
Bahasa, budaya, dan pendidikan merupakan faktor penting yang terlibat dalam perbincangan mengenai nasionalisme. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah mampu mempersatukan seluruh elemen masyarakat Indonesia dan menjadi pemicu tumbuhnya nasionalisme. Namun kini bahasa Indonesia telah mengalami banyak tantangan sebagai bahasa persatuan. Budaya-budaya daerah sebagai kekayaan yang dimiliki bangsa mampu menjadi penumbuh semangat nasionalisme masyarakat. Semangat nasionalisme ini mendorong masyarakat untuk menjaga budayanya tersebut. Ini berarti, nasionalisme pada akhirnya dapat menjadi pemicu kebangkitan kembali dari budaya yang telah memberikan identitas sebagai anggota dari suatu masyarakat bangsa. Pendidikan juga tidak kalah penting dalam menumbuhkan nasionalisme. Pendidikan mampu mentransmisikan nilai-nilai nasionalis kepada setiap anak didik. Melalui pendidikan yang terkelola dengan baik, akan tertanam nasionalisme kepada generasi penerus bangsa.
Suatu Imagined Communities perlu dibangun berdasarkan suatu platform. Indonesia memiliki Pancasila sebagai platform untuk membangun identitas bangsa. Nilai-nilai Pancasila dapat ditafsirkan dan diperagakan di dalam berbagai jenis habitus sehingga melekat di dalam tingkah laku para anggotanya.
Semua pihak bermuhasabah kembali, introspeksi diri, melakukan refleksi diri....... merenung atas hakekat sebagai WARGA NEGARA INDONESIA. Jangan ACUH TAK ACUH!
Jadi benar apa yang diucapkan oleh BUNG HATTA bahwa "Tujuan utama revolusi nasional adalah mengangkat posisi ekonomi pribumi sehingga terbebas dari tekanan dan penghisapan".
Benar apa yang dikatakan oleh BUNG KARNO bahwa:
“Kamu tahu? Sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini. Soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka. Jadi, Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme, tapi berhadapan dengan MODAL ASING yang MEMPERBUDAK bangsa Indonesia. Aku ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken dengan kekuatan RAKYAT, kekuatan BANGSA sendiri. Bangsaku harus bisa maju, harus BERDAULAT di segala bidang, apalagi minyak kita punya. Coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini MERDEKA dalam pengelolaan MINYAK.” (Bung Karno kepada Menkeu Djuanda, soal KEDAULATAN ENERGI, 1960)
"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak." (Pidato Bung Karno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1963)
“Firman Tuhan inilah Gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu: "innallaha laa yughai-yiru maa biqaumin hatta yughai-yiruu maa bianfusihim." (Al Qur'an surah 13:11). Yang artinya, 'Tuhan tidak mengubah nasib sesuatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya.'” (Pidato Bung Karno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1964).
Selamat Ulang Tahun ke-70 Negara Kesatuan Republik Indonesia. DIRGAHAYU INDONESIA! MERDEKA!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H