Apakah benar-benar hanya karena persoalan kesenjangan ekonomi semata?
Seandainya antara ECI (Etnis Cina di Indonesia) dan PRIBUMI tidak ada kesenjangan ekonomi maka apakah penduduk pribumi akan "ridho" dan rela hatinya dan yang datang dari lubuk hati sanubarinya yang paling dalam jika ECI atau disebut juga Cina Perantauan menurut istilah Ong Hok Ham itu menjadi Presiden Republik Indonesia? Apakah pribumi akan benar-benar ridho dan rela hatinya jika Wakil Presiden Republik Indonesia dijabat oleh ECI? Apakah pribumi akan benar-benar ridho dan rela hatinya jika ECI menjadi Panglima TNI? Dan sederet lagi pertanyaan yang mengganjal di dalam dada kita......?
Sederet pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang tidak dijawab oleh DR. Musni Umar dalam tanggapannya atas pertanyaan sehubungan dengan artikelnya di Kompasiana tgl 5 Agustus dengan judul "70 Tahun RI, Pembauran Masih Masalah".
XENOPHOBIA
Xenophobia berarti  ketakutan irasional terhadap orang asing atau  hal-hal asing. Istilah ini berasal dari kata Yunani, xenos yang berarti asing dan phobos yang berarti takut. Nah, jika melihat hal ini, dari 3 etnik Vreemde Oosterlingen  yaitu Cina, Arab dan India, hanya kepada ECI saja terjadi kecurigaan yang berujung pada kerusuhan? Kita lihat satu persatu.
Etnis Arab di Indonesia, lebih diterima di Indonesia karena faktor agama Islam. Apalagi dengan bercampur baurnya antara orang Arab dengan pribumi di masjid, 5 kali sehari paling kurang shalat di masjid dan terjadi setiap hari dalam setahun penuh. Tentunya hal ini membuat cairnya suasana. Dengan mudah orang keturunan Arab di Indonesia berbaur dengan pribumi.
Bagaimana dengan orang India di Indonesia? Mereka mayoritas beragama Hindu dan cenderung ekslusif namun karena jumlah mereka sedikit dan tidak pernah ada sejarah ekspansi maka itu sebabnya tidak menjadikan mereka menjadi obyek kecurigaan, apalagi sebagai korban kekerasan atau serangan. Sementara orang Pakistan yang dulunya menjadi bagian dari India terkadang bagi orang awam pribumi dianggap sebagai orang Arab. Untuk orang Cina perantauan di Indonesia ini kita terpaksa merunut ke belakang, ke abad 12.
KERAJAAN TIONGKOK KHUBILAI KHAN PERNAH PUNYA SEJARAH EKSPANSI KE INDONESIA
Kerajaan Singosari  di Jawa  berhasil  membangun  sebuah kestabilan politik dan militer yang  menempatkan  posisi Singosari  sebagai  kerajaan yang cukup disegani  di Nusantara.  Puncak kejayaan Singosari terjadi  pada masa pemerintahan  Sri Maharaja Kertanegara.
Sementara itu di daratan Cina, cucu Jengis Khan yang bernama Khubilai Khan berhasil membangun sebuah kekuasaan ke kaisaran yang ditopang dengan kekuatan militer yang besar dan tangguh. Kaisar Khubilai Khan yang menamakan pemerintahannya dengan nama Sung berkeinginan untuk menundukkan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan Asia Timur lewat menggunakan kekuatan militer dan politik. Caranya dengan meminta para penguasa lokal untuk mengakui kaisar Khubilai Khan di daratan Cina sebagai penguasa tunggal dan mengharuskan raja-raja lokal tersebut mengirim upeti (tribute) kepada Kaisar Cina. Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Sri Maharaja Kertanegara dari Kerajaan Singosari.
Demi tujuan tersebut diatas, pada tahun 1289 Khubilai Khan mengirimkan utusannya ke Singosari. Â Pengiriman utusan ini telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh Kaisar Khubilai Khan. Namun utusan yang terakhir inilah yang mengalami insiden yang pada akhirnya memicu sebuah konfrontasi terbuka.
Utusan itu bernama Meng Chi, datang membawa pesan dari Kaisar Khubilai Khan supaya Singosari tunduk dibawah kekuasaannya. Sri Maharaja Kertanegara merasa tersinggung, lalu mencederai wajah dan memotong telinga Meng Chi dan mengirimnya pulang ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan Cina. Â Perlakuan Sri Maharaja Kertanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan kepada Kaisar Khubilai Khan. Â Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia saat itu, ia merasa terhina dan berniat ntuk menghancurkan Jawa yang menurutnya telah mempermalukan bangsa Cina.
Jawa (Indonesia) dapat menghindar dari serangan Tiongkok.
Raden Wijaya bersiasat menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan, sebagai wujud penyerahan dirinya. Ike Mese utusan Khubilai Khan mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, bukannya mempersiapkan upeti, Wijaya dan pasukannya malah menghabisi kedua perwira dan para pengawal dari Mongol yang menyertainya. Setelah itu, dengan membawa pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya memimpin pasukan tempurnya menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa di Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan.
Pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari meninggalkan banyak korban. Serangan mendadak yang tidak disadari itu membuat Ike Mese kaget tidak kepalang tanggung.