Di sebahagian ECI terdapat meerderwaardigheidsgevoel (bhs. Belanda: merasa lebih dari orang pribumi penduduk asli) sehingga tercermin didalam perilaku mereka yang sedikit sekali mau masuk agama Islam karena dianggap agama Islam itu adalah agama orang susah, miskin dan melarat, padahal Islam adalah agama mayoritas pribumi Indonesia. Anggapan ini sudah ada sejak penulis kecil ketika bergaul dengan mereka di tahun 1960 an.
Pada zaman Sukarno ada PP 10 tahun 1959. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1959 adalah sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tanggal yang berisi tentang larangan orang Cina berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.
Peraturan ini menjadi kontroversial karena pada penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan Cibadak dekat Sukabumi).
AKAR MASALAH
Penduduk asli Indonesia adalah orang yang terkenal ramah dalam menghadapi atau menerima orang asing. Dan tidak punya XENOPHOBIAÂ terhadap orang asing yang datang ke wilayah Indonesia. Buktinya, siapa saja yang datang ke Indonesia atau ke pulau Jawa selalu diterima dengan baik. Melihat dari beberapa fakta sejarah diatas, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya yang terjadi adalah Xenophobia "terbatas" pada ECI atau setidaknya KECURIGAAN yang memang sebenarnya mempunyai dasar atau alasan yang bisa diterima akal. Dan yang menjadi INTI MASALAH nya adalah "GAYA HIDUP". Â Yang terjadi bukan "pertentangan kelas", tetapi gaya hidup ECI yang membuat pihak pribumi menjadi marah dan akhirnya berujung kerusuhan anti Cina. Dan satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan atas terjadinya "pertentangan" ini, ialah kelompok ASONG, meminjam istilah Muhammad Hatta Taliwang, yaitu orang pribumi yang memegang tampuk kekuasaan meng-ASONG-kan (mengasongkan/menjajakan/menawarkan sumber daya alam Indonesia) kekuasaannya kepada pihak ASING (ASING yang mengincar kekayaan sumber daya alam Indonesia) dan ASENG (istilah Sri Bintang Pamungkas bagi ECI Konglomerat Hitam yang tamak dan merusak ekonomi Indonesia dan semula ditujukan kepada konglomerat hitam pelaku BLBI.)
LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN
Saat ini Indonesia sudah memasuki kehidupan yang lebih maju dan modern. Sehingga menghadapi tantangan yang lebih kompleks dan rumit hari ini dan di masa depan, maka mau tidak mau kita juga harus mempersiapkan diri kita, mempersiapkan kesatuan, membangun Imagined Communities (Anderson's book, Imagined Communities, published in 1983.).
Pancasila sebagai Dasar Membangun Imagined Communities
Pancasila harus dijadikan sebagai diskusi umum (public discourse) sehingga terjadi pemaknaan nilai-nilai Pancasila di dalam habitus-habitus dari kebhinnekaan bangsa Indonesia. Seorang individu adalah anggota dari berbagai jenis habitus dan lapangan-lapangan (field). Habitus dan lapangan tersebut diisi dengan antara lain nilai-nilai kebersamaan yang dirasakan bermanfaat oleh anggota komunitas sehingga terjadilah ikatan yang erat di antara anggotanya. Dengan demikian mulai terbentuk apa yang disebut modal sosial dan modal kultural di dalam komunitas itu. Nilai-nilai Pancasila dengan demikian dapat ditafsirkan dan diperagakan di dalam berbagai jenis habitus sehingga melekat di dalam tingkah laku para anggotanya.
Kita lihat kehidupan masyarakat Indonesia seakan-akan berada pada tahapan disintegrasi karena tidak ada nilai-nilai yang dijadikan sebagai pegangan bersama. Dalam perumusan UUD 1945 telah kita lihat bagaimana perjuangan founding fathers untuk merumuskan nilai-nilai yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang kemudian nilai tersebut kita kenal sebagai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila hendaknya dijadikan sebagai suatu topik diskursus publik yang terus menerus karena tujuannya ialah untuk diterapkan di dalam tingkah laku yang tampak di dalam habitus setiap pribadi. Dengan mewujudkan hal tersebut maka lama-kelamaan akan terbina suatu identitas bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pancasila dinyatakan sebagai platform untuk membangun identitas bangsa Indonesia yang merupakan proses yang berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan platform dengan nilai-nilai Pancasila tersebut kita berupaya untuk membangun suatu masyarakat yang dicita-citakan, suatu imagined communities.
Nasionalisme akan tampak di dalam kenyataan apabila rakyat biasa sebagai penyandang identitas membayangkan dirinya sebagai anggota dari suatu komunitas bangsanya yang abstrak. Inilah yang dimaksud oleh Benedict Anderson dengan Imagined Communities (Anderson's book, Imagined Communities, published in 1983.). Bangsa yang menggambarkan adanya Imagined Communities menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa di dalam satu kesatuan. Persatuan dan kesatuan hanya dapat terwujud ketika seluruh masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat dengan tanpa memiliki rasa etnosentris yang berlebihan yang dapat memicu perpecahan. Inilah yang akan menimbulkan loyalitas nasional.
Bahasa, budaya, dan pendidikan merupakan faktor penting yang terlibat dalam perbincangan mengenai nasionalisme. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah mampu mempersatukan seluruh elemen masyarakat Indonesia dan menjadi pemicu tumbuhnya nasionalisme. Namun kini bahasa Indonesia telah mengalami banyak tantangan sebagai bahasa persatuan. Budaya-budaya daerah sebagai kekayaan yang dimiliki bangsa mampu menjadi penumbuh semangat nasionalisme masyarakat. Semangat nasionalisme ini mendorong masyarakat untuk menjaga budayanya tersebut. Ini berarti, nasionalisme pada akhirnya dapat menjadi pemicu kebangkitan kembali dari budaya yang telah memberikan identitas sebagai anggota dari suatu masyarakat bangsa. Pendidikan juga tidak kalah penting dalam menumbuhkan nasionalisme. Pendidikan mampu mentransmisikan nilai-nilai nasionalis kepada setiap anak didik. Melalui pendidikan yang terkelola dengan baik, akan tertanam nasionalisme kepada generasi penerus bangsa.
Suatu Imagined Communities perlu dibangun berdasarkan suatu platform. Indonesia memiliki Pancasila sebagai platform untuk membangun identitas bangsa. Nilai-nilai Pancasila dapat ditafsirkan dan diperagakan di dalam berbagai jenis habitus sehingga melekat di dalam tingkah laku para anggotanya.
Semua pihak bermuhasabah kembali, introspeksi diri, melakukan refleksi diri....... merenung atas hakekat sebagai WARGA NEGARA INDONESIA. Jangan ACUH TAK ACUH!