Sahabat seperjuangan saya sejak menjadi aktivis mahasiswa 77/78, yang bekas ketua dewan mahasiswa PTIQ (Perguruan Tinggi Al Qur'an) dan kemudian menjadi seorang sosiolog, Prof. DR. Musni Umar menulis di Kompasiana pada tanggal 8 Agustus 2015 sebagai tanggapan atas tulisannya tentang pembauran dalam artikelnya di Kompasiana tgl 5 Agustus dengan judul "70 Tahun RI, Pembauran Masih Masalah", sebagai berikut, "Masalah krusial yang dihadapi di Indonesia ialah kesenjangan sosial ekonomi antara golongan mayoritas yang pada umumnya pribumi dengan golongan minoritas yaitu Cina/Tionghoa. Ini terjadi akibat kebijakan politik Presiden Soeharto yang bekerja dengan para pengusaha Cina dalam bidang ekonomi seperti di masa penjajahan Belanda. Sejatinya kaum pribumi yang menderita sejak zaman penjajahan sampai revolusi pisik diberi affirmative action dan special treatment dalam pembangunan ekonomi seperti di Malaysia. Malangnya setelah reformasi tahun 1998, kebijakan Soeharto dan rezimnya dilanjutkan sampai saat ini. Apa yang sebaiknya dilakukan, silahkan curah pendapat supaya keadilan terwujud di negeri yang cintai ini.". Demikian Ustadz Musni Umar dalam menjawab pertanyaan pembacanya.
DE FACTO
Saya melihat bahwa secara de facto, kelompok Cina perantau sudah menguasai Indonesia. Sebanyak 80 persen ekonomi Indonesia telah mereka kuasai. Kemudian, kalau kita lihat penguasa-penguasa Indonesia mulai dari presiden, gubernur hingga tingkat bupati banyak dipengaruhi oleh kelompok konglomerat Cina. Sebab untuk maju dalam pemilihan saja mereka butuh modal yang sangat besar. Mau tidak mau mereka melakukan kolaborasi dengan konglomerat Cina itu.
Kalau selama ini kelompok Cina sudah menguasai kedaulatan ekonomi, sasaran mereka selanjutnya adalah menguasai kedaulatan politik. Terlihat jelas dari apa yang dilakukan Harry Tanu dengan mengambil partai Hanura kemudian mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia dan saat ini membentuk partai sendiri. Ada bos dari maskapai penerbangan besar Rudi Kirana yang menyusup kedalam partai besar. Gerakan dari Basuki Tjahaja Purnama atau Zhõng Wà nxué alias AHOK untuk ikut kembali mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 dinilai banyak pihak sebagai batu loncatan untuk menjadi Presiden RI di tahun 2019 atau setidaknya 2024.
PENGALAMAN MASA KECIL
Pada tahun 1960 an saya bersekolah di madrasah di kota Sukabumi, Jawa Barat. Â Selain menuntut ilmu di madrasah pada siang hari, di pagi harinya saya bersekolah di SD (Sekolah Dasar) di kota kecil yang sejuk tersebut. Â Di sekolah dasar itulah saya mempunyai banyak sekali kawan-kawan keturunan Cina. Saya bergaul dengan etnik Cina dari kecil, sehingga cukup tahu karakter mereka.
Ketika saya mengambil S2 di sebuah perguruan tinggi juga banyak bertemu dengan kawan-kawan keturunan Cina yang belajar disana bahkan mayoritas. Bahkan kawan saya sekelas, seorang keturunan peranakan Cina yang tinggal di Bandung pernah berkata kepada saya dengan logat Sunda nya yang kental, "Pak,..... saya ini bingung.... di Bandung sejak kecil saya sering di kata-katai dan di soraki... Eh CINA ...CINA...., padahal saya bisa berbahasa Indonesia dan Sunda. Saya tidak di aku sebagai orang Indonesia. Sementara jika saya pergi ke GLODOK di Kota, saya nggak dianggap sebagai orang Cina. Bagaimana bisa pak? Sementara saya tidak faham dan tidak mengerti berbahasa Cina atau Mandarin sedikitpun." jelasnya dengan sungguh-sungguh.
Saya juga pernah bekerja sebentar di sebuah perusahaan milik  keluarga Mas Agung yang Cina muslim di Jakarta sebelum akhirnya bergabung dengan sebuah BUMN yang bergerak di bidang telekomunikasi. Dan bahkan dikemudian hari setelah saya menyelesaikan kuliah di kampus syariah pada sebuah perguruan tinggi Islam, saya juga berkumpul dengan kaum muslimin keturunan Cina sampai akhirnya saya mempunyai jadwal tetap memberikan khotbah Jum'at di masjid yang didirikan oleh muslim etnis Cina di kawasan Pasar Baru di Jakarta.
Salah satu karakteristik orang Cina yang sangat kasat mata adalah kekayaan finansial yang dimilikinya. Ini menjadi stereotip yang sejak kecil saya alami. Walaupun tidak jarang kita temui orang Cina yang hidup sederhana, dan adapula yang bekerja sebagai petani.
Satu hal yang saya amati dari bertualang di mancanegara adalah karakter orang Cina pada umumnya yang progresif di luar keluarga namun konservatif di dalam. Dengan kata lain, orang Cina sangat menghargai ilmu pengetahuan terbaru dan tren-tren kultural terbaru yang merupakan bentuk kesempatan-kesempatan baru. Namun disamping itu, mereka sangat sayang dengan keluarga mereka dan memelihara tradisi.Â
Karakter "tahan banting" alias bermental baja dengan rasa iri yang minimal juga merupakan salah satu kunci sukses mereka. Berbagai masalah dihadapi dengan kepala dingin, bukan dengan rasa iri dan dengki karena dua hal ini tidak bisa memecahkan masalah bahkan memperkeruh. Sinergi seringkali dilakukan dengan kerjasama-bisnis sebagai salah satu bentuk pemecahan masalah. Mereka juga menggunakan kekalahan sebagai momentum untuk menukik ke atas dengan meng-adopsikan hal-hal dan strategi-strategi baru. Agresifitas disertai dengan realitas dan keberanian memulai dan follow through (meng-eksekusi-kan) membantu revitalitasi pasca-kegagalan.
Semboyan "nrimo" dan "mangan ora mangan asal ngumpul" tidak mereka kenal.  Bagi para pedagang Cina, dua karakter ini tidak membantu bisnis. Mereka berani kalah, berani memulai kembali, dan berstrategi agar konsumen senang dan belanja lagi. Juga berstrategi agar memenangkan kompetisi tanpa mengguncangkan persahabatan antar pedagang yang merupakan kunci keberhasilan bersama.