Cina sudah menjadi negara yang maju pada abad ke 15. Pengaruh kebudayaannya bisa dilihat di banyak negara lain. Dalam politik pun Cina lebih modern dibanding negara lain karena berani merombak Konfusianisme yang telah sangat lama melekat di masyarakat dengan Marxisme. Marco Polo yang menjelajah dunia pada abad ke 13 menyatakan bahwa Cathay atau Cina telah memiliki kedudukan tinggi di antara kalangan cendekiawan Barat, para misionaris, pengusaha dan sebagainya. Bahkan muncul istilah Chinoiserie yang berarti penjiplakan segala sesuatu yang berasal dari Cina oleh Barat dengan versinya sendiri kedalam bentuk seni dan budaya mereka. Level kebudayaan Cina memudahkan mereka untuk  beradaptasi di daerah baru dan sukses di daerah perantauan.  Cina perantauan (Overseas Chinese) yang merupakan kelompok Cina yang berada di luar Cina Daratan merupakan konsep yang dikemukakan oleh Redding. Ke-Cina-an mereka bukan karena negara tapi karena bangsa atau kaum.
Kesamaan mereka adalah dalam sudut pandang ekonomi. Redding menyatakan bahwa mereka akan tetap mempertahanakan ke-Cina-an nya meskipun tetap memilih menjadi koloni Inggris. Penyebaran mereka ke berbagai penjuru daerah memudahkan mereka untuk membangun kongsi-kongsi multinasional.
Perkembangan Kapitalisme Cina sejak kehadiran mereka di Jawa pada zaman kerajaan, Cina menyumbang banyak hal terutama dalam sistem ekonomi yang dibangun saat itu. Hingga pada masa kedatangan kolonial Eropa, mereka menjadi bagian terpenting dalam rantai distribusi, perdagangan eceran maupun sebagai pembeli hasil pertanian untuk kemudian dijual keoada perusahaan Eropa. Peran Cina sebagai perantara bukan karena pemberian peran atau adanya proteksi dari pihak kolonial, melainkan karena Eropa memang pada dasarnya datang ke kawasan Asia Tenggara hanya untuk berdagang dan mereka merasa dipermudah dengan adanya Cina yang telah mengisi sektor penyambung tersebut. Pada masa itu, VOC (Veerenigde Oost Indische Compagnie) datang dengan uang logam yang besar sedangkan uang yang beredar di masyarakat adalah uang picisan yang banyak dikuasai oleh Cina. Hal itu menggambarkan pentingnya posisi Cina dalam menyambung hasil pertanian dari kerajaan ke pedagang Eropa.
Pada jaman kolonial, VOC membangun infrastruktur untuk membangun sistim ekonomi. VOC merangkul orang Cina untuk pekerjaan-pekerjaan fisik seperti pembangunan gedung, tembok kota, kanal-kanal dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena orang Cina memiliki teknologi pertukangan yang sangat tinggi, and last but not least.... memiliki modal serta ketrampilan manajerial. Saat itu orang Cina sulit masuk sektor swasta karena VOC melakukan monopoli dalam perdagangan (OngHok Ham 2008).
Setelah VOC bangkrut dan kolonial meninggalkan sistem perdagangan monopoli, Cina mengantisipasi perubahan tersebut dan masuk kedalam sektor bisnis swasta.
Kelompok Cina mulai memasuki usaha Onderneming atau perkebunan, pabrik gula dan tekstil. Bahkan muncul konglomerat non-Barat pertama yang berpusat di  Semarang, yaitu NV Kian Gwan, lebih dikenal sebagai Oei Tiong Ham Concern (OTHC) atau  Kian Gwan Kong Si, yang memiliki cabang di berbagai  kota di dunia.
Setelah itu bermunculan juga konglomerat yang lebih kecil diberbagai daerah seperti Be Kwat Koen, Kwee Koo Tong, Tjoa, Han, dan syarikat Tjong A Fie. Cina saat itu berpartisipasi dalam membangun abad ke-20 menjadi jaman modern yang berhubungan dengan kapitalisme internasional.
Pasca Perang Dunia Kedua Indonesia meraih kemerdekaannya dan Belanda meninggalkan daerah koloninya. Cina mendapatkan porsi besar dibidang ekonomi karena PRIBUMI lebih sibuk mengambil alih sektor administrasi, birokrasi dan kekuasaan politis. Namun, bukan tanpa masalah karena ternyata pribumi juga memberikan reaksi yang pada dasarnya cukup memandang penting masalah ekonomi. Hal ini terungkap dalam tiga gejala, yaitu muncul sosialisme yang termanifestasi dalam koperasi sebagai alternatif terhadap bisnis swasta; memberikan proteksi kepada golongan ekonomi lemah dan menyediakan peluang bisnis bagi pejabat; dan keberadaan BUMN yang bertugas untuk mengumpulkan devisa dan merupakan bagian kegiatan bisnis tersendiri. Usaha Cina juga terancam oleh nasionalisasi perusahaan asing.
Perusahaan-perusahaan swasta milik Eropa dan Cina pada masa kolonialisme mengalami proses nasionalisasi, termasuk Oei Tiong Ham Concern, dan diberikan kepada pejabat, baik sipil maupun militer, dalam kebijakan birokratis.
Memasuki era Orde Baru, Cina kembali mendapatkan angin segar dalam menumbuhkan kapitalisme.
ECI MENJADI MITRA PEMERINTAH ORDE BARU SEKALIGUS ECONOMIC ANIMAL