Mohon tunggu...
HME Irmansyah
HME Irmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Ipoleksosbud

Institute for Studies and Development of Thought (ISDT)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa yang Salah? Sebuah Refleksi di 70 Tahun Kemerdekaan RI

17 Agustus 2015   08:58 Diperbarui: 15 Desember 2018   12:52 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia mulai memikirkan pembangunan dan hal ini dimanfaatkan oleh Cina untuk menjadi mitra pemerintah untuk melakukan pembangunan fisik maupun sektor perdagangan dan ekonomi.  Bisa dikatakan Cina Perantauan merupakan golongan yang paling terlibat dalam sektor perekonomian sehingga mendapatkan banyak keuntungan. Di sisi lain, kebijakan Orde Baru membentuk golongan Cina menjadi "manusia ekonomi" atau secara kasar disebut economic animal.

Disamping kesempatan luar biasa Cina untuk mendominasi sektor perekonomian, mereka mendapatkan tekanan dari kebijakan pemerintah ORDE BARU berupa Cultural Exorcism yang merepresi terhadap unsur-unsur kebudayaan Cina seperti arak-arakan Barongsay, upacara-upacara penguburan yang mewah, kuburan-kuburan yang monumental, dan sebagainya.

Bahkan ada kebijakan "pembauran" kepada golongan Cina, salah satunya dengan mengganti nama Cina nya menjadi nama yang tidak berbau Cina. Proses itu disebut "ganti nama".

ECI juga mendapat tekanan di bidang politik karena tidak diberi kesempatan sama sekali untuk memiliki jabatan seperti menteri atau atau petinggi partai.
Tekanan tersebut mendorong Cina untuk memaksimalkan satu-satunya kesempatan untuk berekspresi, yaitu di bidang ekonomi. Biaya yang besar dalam upacara Cina dialihkan menjadi modal ekonomi. Inilah yang membentuk golongan Cina menjadi economic animal pada masa itu.

Perkembangan ekonomi di luar negeri pun sangat menguntungkan golongan Cina di Indonesia.  Jepang sebagai negara industri yang banyak berinvestasi di Asia Tenggara beraliansi dengan golongan ECI karena merekalah yang banyak berperan dalam ekonomi. 

Kehadiran Newly Industrialized Countries (NICs) seperti Hongkong, Taiwan, Singapura dan Korea Selatan juga membawa keuntungan bagi golongan Cina. Koneksi pengusaha Cina Perantauan di berbagai negara mendorong Cina Indonesia untuk ikut berkembang menggelorakan ekonomi sektor swasta di Indonesia. Misalnya dapat dilihat pada hubungan antara Liem Sioe Liong dari Indonesia dan Tan Piak Chin dari Thailand dalam menyelesaikan hutang-hutang Pertamina dalam kasus kapal tanker pada tahun 1970-an.

ECI memiliki prospek besar dalam mengembangkan kapitalisme di Indonesia. Mereka memliki peran ekonomi dan finansial yang kongkrit.  Pusat-pusat perdagangan di berbagai daerah didominasi toko-toko milik keturunan Cina.  Pribumi yang masuk ke berbagai sektor di beberapa tahun terakhir keturunan Cina masih menguasai inti ekonomi pasar modern. Pengalaman Orde Baru menyadarkan mereka mengenai akses politik yang dibatasi sehingga akses pada kebijakan akan dicari melalui uang atau dengan jalan korupsi. (Inilah AWAL mula korupsi di pemerintahan, yaitu di masa ORBA)

Tidaklah berlebihan apabila saya menyatakan kecewa atas apa yang terjadi di Indonesia pasca Soeharto. Tidak hanya saya, tetapi banyak orang; bahkan seluruh rakyat Indonesia. Kalau melihat garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sejak 3-4 tahun ini, yaitu sebagai pendapatan seorang sehari sebesar 2 USD atau sekitar 20-24 ribu Rupiah, di bawah itu ada separuh jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta; maka kekecewaan saya itu sangat beralasan. Dan tentunya seratus juta lebih rakyat Indonesia yang miskin itu pasti mendukung kekecewaan saya itu, dan kekecewaan banyak orang lain.
Dan lalu ada penelitian yang menghasilkan kenyataan kontradiktif, bahwa ada 50 orang warga negara Indonesia yang kekayaannya pada tahun 2013 ini mencapai 95 milyar US Dolar. Hampir 100 persen dari mereka adalah Etnis Cina Indonesia, ECI, yang memperoleh kekayaannya itu secara tidak bersih dan jujur, bahkan kotor dan jahat; selain mereka memang piawai untuk berbuat seperti itu, juga didukung oleh pejabat Negara kita sendiri. Angka itu bertambah dari tahun sebelumnya ke tahun berikutnya.
Ketika masih dibawah Rezim Soeharto, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 120 juta dengan garis kemiskinan 1000 Rupiah pengeluaran seorang sehari (penelitian DR. Sri Bintang Pamungkas di tahun 1993 berdasarkan data 1992, penerbit El Bisma 2014). Jadi, sesudah bertahun-tahun keadaan rakyat Indonesia, pastilah mereka Pribumi, tidak berubah. Jelas bukan Indonesia seperti itu yang menjadi cita-cita kita semua, ataupun cita-cita Soekarno-Hatta tatkala mereka berjuang melawan penjajahan dan kemudian berhasil memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. (Sri Bintang Pamungkas, penerbit El Bisma 2014)

Status golongan Cina yang perbedaannya dipelihara sejak jaman kolonial lama-kelamaan menjadi lebur. Golongan menengah yang banyak dikuasai keturunan Cina masa Orde Baru kurang diakui tetapi setelah ada deregulasi dan debirokratisasi peranan golongan pengusaha tersebut menjadi absah.
Untuk membangun Imagined Community yang lebih kuat sebagai bangsa Indonesia, perlu dilakukan evaluasi kembali atas konsep "minoritas", "keturunan", dan sebagainya.

KENAPA ECI SELALU MENJADI VICTIM ?

Ini pertanyaan yang selalu menggelitik dan mengundang pertanyaan. Apakah benar seperti yang diutarakan oleh DR. Musni Umar bahwa, "Masalah krusial yang dihadapi di Indonesia ialah kesenjangan sosial ekonomi antara golongan mayoritas yang pada umumnya pribumi dengan golongan minoritas yaitu Cina/Tionghoa..."?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun