Mohon tunggu...
HME Irmansyah
HME Irmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Ipoleksosbud

Institute for Studies and Development of Thought (ISDT)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa yang Salah? Sebuah Refleksi di 70 Tahun Kemerdekaan RI

17 Agustus 2015   08:58 Diperbarui: 15 Desember 2018   12:52 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang, kita lihat  di Indonesia zaman Soeharto. Cina diberi previledge dan kemudahan karena sepertinya Soeharto kuatir jika banyak orang Indonesia yang kaya bisa mengancam rezim-nya secara politik. Kendati Soeharto dengan sangat selektif memperkenankan beberapa orang Indonesia untuk kaya. Jadi etnis Cina di Indonesia sangat diuntungkan dalam masa Soeharto.

Golongan Cina di era modern sekarang begitu berkembang di Indonesia. Populasi mereka bisa dikatakan sangat kecil, hanya 2,1% dari seluruh  populasi. Namun, kekuatan ekonomi yang mereka kuasai mencakup kurang lebih 75% modal swasta dalam negeri (Redding, 1988).

Bustanil Arifin dalam Pacific Business Forum (John Naisbitt, 1997) mengatakan bahwa perusahaan kecil dan menengah memperkerjakan separuh tenaga kerja di banyak negara Asia dan etnis Cina memiliki 99% dari perusahaan-perusahaan tersebut. Khususnya di Indonesia, populasi etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia. Etnis Cina di Indonesia menjadi salah satu masyarakat keturunan Cina perantauan yang hidup dan tinggal di luar negara asalnya. Jaringan kerja etnis Cina perantauan sejak kegiatan ekonomi tahun 1990-an hingga kini mendominasi kegiatan ekonomi wilayah Asia, termasuk Indonesia.

Harian KOMPAS 27 September 2015 di halaman 1 berita Ketua Umum World Chinese Entrepreneurs Convention (WCEC) KIKI BARKI saat menyebutkan bahwa warga keturunan Cina yang tersebar di banyak negara diperkirakan berjumlah 60 juta orang dan sekitar 21 juta orang di antaranya terdata tinggal di Indonesia.

Warta Ekonomi juga memberitakan bahwa daftar orang terkaya di ASEAN termasuk Indonesia, di dominasi oleh warga non-pribumi, terutama golongan Cina. Kekuatan ekonomi golongan ini bisa ditelusuri hingga masa kolonial.

Di Indonesia, Hindia Belanda ketika itu, Belanda membagi masyarakat berdasarkan etnis.  Orang Eropa menjadi elite politik warga negara kelas satu  atau De Eerste Klasse , sosial dan ekonomi  orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen yaitu Cina, Arab, India) sebagai warga negara kelas dua atau De Tweede Klasse.   Dan orang INLANDER atau PRIBOEMI sebagai warganegara kelas tiga atau De Derde Klasse (orang Indonesia kecuali Priyayi, kaum bangsawan atau De Gestuudeerde Familie keluarga yang terpelajar dan sempat mengenyam pendidikan di Eerste Europese School). Inlander atau Priboemi inilah berada dalam lapisan bawah dengan fungsi sebagai produsen hasil bumi.

Walaupun Cina merupakan golongan menengah, Cina memiliki peran penting sebagai distributor antara Pengusaha Ekonomi Besar (Multinasional  Barat) dan penduduk PRIBOEMI. Kedudukan golongan Cina sebagai penengah antara kepentingan ekonomi Barat dan pribumi ini dicapai melalui usaha tahap demi tahap bukan karena desain Belanda. Mereka mengisi sektor ekonomi swasta mulai dari berdagang barang eceran, distributor barang hingga mendirikan konglomerasi multinasional.    Tidak salah bila Yoshihara Kunio (1986) akhirnya menyatakan bahwa pertumbuhan kapitalisme Cina di negara-negara ASEAN tersebut sebagai ersatz capitalism.

Tesis yang diajukan Yoshihara Kunio dalam buku tersebut, di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya tidak ada kapitalisme murni jika mengacu pada praktik yang lazim di negara-negara maju. Di Jepang misalnya, dia mengatakan, para kapitalis di sana lebih mengandalkan inovasi dan kompetisi, dan dalam banyak hal merupakan pelaku modernisasi ekonomi. Sementara praktik yang berlangsung di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya adalah munculnya kapitalisme semu (ersatz capitalism).

Para pengusaha besar (kapitalis) di Indonesia tidak mampu berdiri sendiri dan bersaing dengan kompetitornya tanpa bantuan pemerintah. Kebanyakan dari mereka, kata Kunio, adalah para pemburu rente (rent seekers) yang mencoba mencari keuntungan melalui jalinan koneksi dengan pemerintah. Mereka mencari peluang menerima rente dengan memanfaatkan proteksi, lisensi bisnis, atau monopoli kegiatan bisnis tertentu dari pemerintah.

Kunio menyebutkan, para pemburu rente tersebut sangat dekat atau masuk dalam lingkaran kekuasaan. Mereka antara lain anggota keluarga presiden, para konco atau kroni presiden, bekas birokrat atau tentara yang banting setir menjadi pengusaha, serta para politisi (Kunio, 1990: 91-134). Intinya, kata Kunio, para kapitalis semu tersebut hanya bisa hidup dengan bersandar pada kekuasaan politik.

Golongan Cina yang saya maksud dalam paparan ini adalah kumpulan Cina yang berada di Indonesia. Untuk mudahnya saya pinjam istilah DR. Sri Bintang Pamungkas dalam bukunya tersebut diatas, yaitu ECI, Etnis Cina di Indonesia.  Sejak jaman kerajaan, Cina sudah mulai berimigrasi ke Indonesia. Di Jawa ada pembedaan untuk Cina yang datang langsung dari daratan Cina yang disebut Cina Totok dan Cina yang merupakan keturunan dari blasteran Cina-Jawa dan disebut Cina Peranakan. Peranakan yang sudah beberapa generasi hidup di Jawa akan mulai kehilangan ke-Cina-an-nya (Chineseness) dan banyak yang sudah tidak bisa lagi membaca bahasa Cina. (Ong Hok Ham 2008)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun