“Iksan mana?” tanya Trisa.
“Sedang ke ruang kepala sekolah. Memastikan informasinya.”
Dan tak begitu lama, datang Iksan. Dengan muka yang dilipat-lipat. Seperti Yudistira yang kalah main dadu. Seperti kakeknya Mamad yang rugi dagang ayam.
“Betul, San?”
Hanya anggukan sebagai jawaban. Ada mendung yang begitu pekat menggelayuti mata Iksan. Mungkin dia akan menangis meraung-raung seandainya tak malu pada teman-temannya. Segala kerja keras dia dan teman-temannya seperti terbuang percuma.
“Apa alasannya?” tanya Trisa.
“Tak ada biaya,” jawab Iksan lirih nyaris tak terdengar.
Sudah pernah terpikirkan. Kepala sekolah memang belum secara tegas mengatakan akan memberikan uang biaya pentas seni. Kepala sekolah hanya mengatakan akan mencoba membantu program OSIS. Itu pun kata-kata kepala sekolah lama.
Jika kepala sekolah yang baru meminta agar acara ini dibatalkan, harusnya bukan sesuatu yang mustahil. Hanya kami saja yang terlalu yakin dengan segalanya. Maka, sebaiknya, kita memang selalu memikirkan segala hal dalam dua sisi. Sisi keberhasilan dan kemungkinan kegagalan.
“Selalulah berharap dengan segala yang terbaik, Nak. Tapi kamu juga harus selalu bersiap diri menghadapi yang terburuk,” itulah kata-kata Ayah Iksan waktu menasihati. Sekarang baru Iksan tahu maksud nasihat ayahnya.
“Berarti bukan dilarang dong?!” teriak Trisa. Sebuah teriakan yang langsung mengagetkan teman-temannya. Seluruh temannya yang ada di ruang OSIS langsung menghujani Trisa dengan sejuta pertanyaan melalui sorot mata harap yang begitu nyaris sekarat.