Mereka masih belum percaya. Bahkan mereka menjeritkan hati, memohon pada Tuhan agar segala yang didengar hanyalah sebuah mimpi.
“Bukannya kamu pulang duluan mau tidur? Kamu ngimpi kaliiiii....” kata Sasa lagi.
“Kemarin memang aku mau pulang duluan, tapi sampai di pos satpam, aku dipanggil Pak Joko.”
“Terus.”
“Terus dia minta maaf pada kalian. Terus dia sampaikan kalau acara Pentas Seni ini harus dibatalkan,” jelas Sabrina dengan suara yang lirih.
“Dibatalkan atau ditunda?” Iksan mencoba mencari harapan.
“Dibatalkan. Be-a-te-a-el. Titik.”
Semua diam. Semua terbungkam. Bahkan telisik angin sepoy pun terasa begitu jelas di telinga mereka. Sedangkan hati. Berdebam penuh dentuman. Bagai ada petir menggelegar di siang robek. Seperti kejatuhan durian runtuh. Menyakitkan. Semua diam karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Betul-betul sebuah kejutan di awal Maret. Sebuah Maret mop.
“Kalau begitu, rapat hari ini dibubarkan!” kata Iksan menahan marah. Segalanya tampak menjadi sia-sia. Kebahagiaan yang baru saja diraih, melayang entah ke mana.
“Bagaimana dengan kertas-kertas ini?” tanya Trisa.
“Bakar!” kata Iksan sambil melangkah hendak pulang. Tak perlu lama-lama untuk terus merasakan kecewa.