Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Saat Malam Memunculkan Purnama

22 Juli 2015   05:48 Diperbarui: 22 Juli 2015   05:48 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang begitu terik.  Panas membakar.  Jangan-jangan, neraka sudah bocor karena ulah manusia yang selalu mengotori lapisan angkasa bumi ini.  Bukan hanya cerobong pabrik yang memuntahkan begitu banyak polutan, tapi juga kendaraan bermotor yang selalu memacetkan kota-kota dan menyemburkan kotoran dari dalam knalpotnya. 

Betul kata kakak.  Kata kakak, kebahagiaan seseorang itu akan menular pada temannya. 

“Iya benar.  Sangat benar.  Belum percaya juga?,” kata Kak Risya kepada Iksan.  Kak Risya mencoba meyakinkan Iksan yang belum percaya juga.

“Contohnya?” tanya Iksan waktu itu.

“Kemarin di sekolah.  Temanku ada yang berbahagia.  Karena hari kemarin adalah hari ulang tahunnya yang keenambelas,” kata Kakak.

“Terus apa hubungannya?” tanya Iksan yang tak paham dengan maksud cerita kakaknya.

“Karena temanku itu bahagia, maka dia membelikan semua temannya bakso.  Sehingga, kami ketularan bahagia juga,” tambah kakak.

“Ah, itu sih maunya kakak saja,” kata Iksan hendak berlalu.

“Masih belum percaya juga?” tanya kakak sambil bangkit mengikuti langkah Iksan.

“Kakak mau ke mana?” tanya Iksan yang bingung karena diikuti kakaknya.

“Tuh kan, kakak jadi bingung karena ketularan kamu yang bingung.  Kamu mau ke mana?” kata kakak sambil mengingat tujuan langkahnya.

“Ke kamar mandi,” jawab Iksan sambil tersenyum.

“Benar, kamu belum percaya?”

“Sudah.  Tapi baru agak percaya.  Belum seratus persen,” jawab Iksan.

“Sekarang kakak lagi bahagia.   Kakak punya coklat.  Kamu mau?  Nih,  biar kamu juga bahagia,” kata kakak sambil menyodorkan sebungkus coklat yang baru diambil dari kulkas. Yang sudah pasti Iksan sambut dengan penuh suka cita.

Aku pun percaya sekali sejak saat itu.  Percaya jika kebahagiaan akan menular. Juga kebingungan.  Mungkin juga kesedihan.

Saat ini, Iksan sedang senang.  Senang sekali.  Dan Iksan teringat kata-kata kakak.  Walaupun Iksan pernah merasa paling senang saat Ayahnya pulang kerja dengan membawa sepeda baru untuknya, tapi peristiwa masa kecil yang tak pernah Iksan lupakan itu sekarang tak ada apa-apanya.  Ya, Iksan senang karena segala persiapan untuk acara Pentas Seni sudah hampir final.  Iksan juga melihat, semua temannya juga ikut senang.  Tak ada wajah tanpa hiasan senyum hari ini. 

Hanya Linda saja yang dari pagi sampai kini masih cemberut.  Mukanya dilipat-lipat.  Itu juga gara-gara sakit gigi.  Sakit gigi Linda kambuh karena kemarin dia lupa diri saat melihat Rino membawa cokelat.  Selain Linda, semua memamerkan senyum dikulum.

“Alhamdulillah,” sebuah kata yang sudah lama tak hinggap di mulut Iksan.

“Pasti akan spektakuler,” kata Budi.

“Apa itu spekuler?”  tanya Maria.

“Spektakuler.  Masa tak tahu?” ledek Budi.

“Makanya aku tanya!  Kalau sudah tahu, ngapain nanya segala!” teriak Maria sewot.

“Lihat di kamus donk!” kata Budi menirukan gaya Pak Irwan, guru bahasa Indonesia yang tak mau menjawab langsung setiap pertanyaan siswa.  Pak Irwan selalu memberikan jalan bagaimana menjawab pertanyaan itu.  Sehingga kita terkadang malah mendapat banyak ilmu saat melewati jalan yang ditunjukkan oleh Pak Irwan itu.

Kami pun lama berbincang.  Di ruang OSIS yang letaknya di pojokkan.  Dulu bekas gudang.  Tak ada yang berani melewati depan tempat itu jika berjalan sendirian.  OSIS yang sudah sekian lama tak punya ruang, akhirnya diserahi untuk membersihkan ruang kosong tempat nongkrong hantu dan teman-temannya itu. 

Sekarang ruang itu sudah rapi.  Bukan hanya rapi, tapi juga wangi.  Pengharum ruangan selalu mengharumi hari-harinya.  Sehingga pengurus OSIS pun betah berlama-lama tinggal di situ.

Hingga datang sebuah berita.  Berita yang langsung menghajar seluruh semangat hidup Iksan hingga uHadgnya yang paling dalam.  Dunia terasa luluh lantak laksana baru saja terkena tsunami.

“Apa?”  tanya Iksan dengan rasa gugup yang mengemuruh.  Mendengar berita itu.

Beberapa orang hanya melongo.  Tak percaya dengan apa yang didengarnya.  Bukan hanya itu, mereka juga belum bisa menerima kenyataan. Kenyataan yang selama ini tak pernah diharapkan.

“Pak Joko sendiri yang mengatakannya,” jelas Sabrina.

Waktu seakan begitu lambat.  Waktu bahkan seakan diam.  Bersama detak jantung mereka yang mendadak gagap memompa darah.  Mata-mata mereka pun berada di antara melotot tak percaya dan penuh ledakan tangisan kecewa.

“Kapan?” tanya Sasa.

“Kemarin,” jawab Sabrina.

Mereka masih belum percaya.  Bahkan mereka menjeritkan hati, memohon pada Tuhan agar segala yang didengar hanyalah sebuah mimpi.

“Bukannya kamu pulang duluan mau tidur?  Kamu ngimpi kaliiiii....” kata Sasa lagi.

“Kemarin memang aku mau pulang duluan, tapi sampai di pos satpam, aku dipanggil Pak Joko.”

“Terus.”

“Terus dia minta maaf pada kalian.  Terus dia sampaikan kalau acara Pentas Seni ini harus dibatalkan,” jelas Sabrina dengan suara yang lirih.

“Dibatalkan atau ditunda?”  Iksan mencoba mencari harapan.

“Dibatalkan. Be-a-te-a-el. Titik.”

Semua diam.  Semua terbungkam.  Bahkan telisik angin sepoy pun terasa begitu jelas di telinga mereka.  Sedangkan hati. Berdebam penuh dentuman.  Bagai ada petir menggelegar di siang robek.  Seperti kejatuhan durian runtuh.  Menyakitkan.  Semua diam karena tak tahu apa yang harus dilakukan.  Betul-betul sebuah kejutan di awal Maret.  Sebuah Maret mop.

“Kalau begitu, rapat hari ini dibubarkan!” kata Iksan menahan marah.  Segalanya tampak menjadi sia-sia.  Kebahagiaan yang baru saja diraih, melayang entah ke mana.

“Bagaimana dengan kertas-kertas ini?” tanya Trisa.

“Bakar!” kata Iksan sambil melangkah hendak pulang.  Tak perlu lama-lama untuk terus merasakan kecewa.

Tapi Trisa mengumpulkan kertas-kertas itu bukan untuk dibakar.  Trisa tahu perasaan Iksan.  Sang Ketua OSIS yang kemarin tak berani mengadakan acara apa pun.  Kemudian didesak oleh Trisa.  Akhirnya berani membuat acara.  Pentas Seni sekolah.  Sebuah acara yang baru kali ini diadakan.

“Masa OSIS kaya pembantu doang.  Tak punya inisiatif apa-apa!” kata Trisa dengan penuh semangat.  Trisa memang manusia paling berhasrat agar anak-anak OSIS lebih baik.  Bukan hanya menjadi anak-anak beo.  Yang selalu menurut segala yang sudah dirancang oleh pembina OSIS. 

“Tapi...”

“Apalagi kau San.  Kau ini ketua.  Pemimpin.  Kalau kau sebagai pemimpin berwatak loyo, bagaimana dengan anak buahmu?”  bakar Trisa.

“Iya, San.  Sekali saja,”  tambah Sabrina.

Karena Sabrina juga mendukung Trisa, maka Iksan tak bisa menolak lagi.  Selama ini, Sabrina memang selalu membantu segala pekerjaan OSIS, maka keraguan Iksan mulai terkikis.

“Ya sudah, besok ...” kata Iksan.

“Kenapa besok? Sekarang saja.  Nanti kan kita tak ada acara?” usul Trisa.  Trisa memang penyemangat teman-temannya.  Dan semangat besar Trisa ini yang selalu menular kepada teman-temannya sehingga menjadi semangat organisasi.

“Ehm...” Iksan masih ragu.

“Oke?” desak Trisa.

Akhirnya diputuskan untuk mengadakan acara pentas seni.  Mementaskan segala kreativitas siswa.  Pasti ramai.  Untuk lebih memeriahkan suasana, sebelum acara pentas seni akan diadakan lomba.

“Iya. Untuk siswa SD,” kata Trisa si penggagas acara.

“Lomba baca puisi,” usul Sabrina.

“Tapi pesertanya pasti sedikit.”

“Tambahin lomba cerdas cermat,” usul Sabrina lagi.

“Kayaknya masih belum meriah.  Untuk pentas seni pertama ini, kita harus mengadakan acara yang paling meriah,” kata Sasa.

“Bagaimana kalau ada pertandingan futsal antar-SD?” usul Trisa.

“Nah itu dia,” Iksan ikut bersemangat.

Persiapan dilaksanakan.  Iksan yang ketua OSIS didaulat menjadi ketua panitia.  Sabrina yang menjadi sekretaris.  Dan Trisa menjadi seksi lomba.

“Hai malah melamun!” bentak Trisa.

“Terus bagimana?  Anak-anak langsung mengkeret. Semangatnya betul-betul pupus,” jawab Sabrina tertunduk lesu.

“Kita harus mencari jalan keluar!” kata Trisa. Masih menyisakan semangat membara.

“Iksan mana?” tanya Trisa.

“Sedang ke ruang kepala sekolah.  Memastikan informasinya.”

Dan tak begitu lama, datang Iksan.  Dengan muka yang dilipat-lipat.  Seperti Yudistira yang kalah main dadu.  Seperti kakeknya Mamad yang rugi dagang ayam.

“Betul, San?”

Hanya anggukan sebagai jawaban.  Ada mendung yang begitu pekat menggelayuti mata Iksan.  Mungkin dia akan menangis meraung-raung seandainya tak malu pada teman-temannya.  Segala kerja keras dia dan teman-temannya seperti terbuang percuma.

“Apa alasannya?” tanya Trisa.

“Tak ada biaya,” jawab Iksan lirih nyaris tak terdengar.

Sudah pernah terpikirkan.  Kepala sekolah memang belum secara tegas mengatakan akan memberikan uang biaya pentas seni.  Kepala sekolah hanya mengatakan akan mencoba membantu program OSIS.  Itu pun kata-kata kepala sekolah lama. 

Jika kepala sekolah yang baru meminta agar acara ini dibatalkan, harusnya bukan sesuatu yang mustahil.  Hanya kami saja yang terlalu yakin dengan segalanya.  Maka, sebaiknya, kita memang selalu memikirkan segala hal dalam dua sisi.  Sisi keberhasilan dan kemungkinan kegagalan. 

“Selalulah berharap dengan segala yang terbaik, Nak.  Tapi kamu juga harus selalu bersiap diri menghadapi yang terburuk,” itulah kata-kata Ayah Iksan waktu menasihati.  Sekarang baru Iksan tahu maksud nasihat ayahnya. 

“Berarti bukan dilarang dong?!” teriak Trisa.  Sebuah teriakan yang langsung mengagetkan teman-temannya.  Seluruh temannya yang ada di ruang OSIS langsung menghujani Trisa dengan sejuta pertanyaan melalui sorot mata harap yang begitu nyaris sekarat.

“Kalau tak ada biaya, otomatis ya harus dibatalkan,” kata Iksan.

“Oh, tiiiidak! Jangan diartikan begitu.  Langit belum runtuh.  Harapan masih terbuka,” kata Trisa dengan wajah cerianya.

“Maksudmu?” tanya Iksan dengan harapan yang sebetulnya masih terselip di hatinya.

“Kita cari sendiri biayanya!” kata Trisa sambil melonjak.  Gayanya untuk membangkitkan semangat temannya yang nyaris padam.

Masih ada.  Masih ada seberkas harapan.  Harapan yang terlihat hanya berkelip di tengah malam gelap.  Namun lumayan.  Selama masih ada harapan, segelap apa pun dunia ini, seberkas cahaya adalah sebuah berkah.

“Minta sama nenek moyangmu?” kata Sabrina.

“Eit, jangan pesimis begitu, Bro.  Kita ini manusia yang diberi Tuhan anugrah Otak,” suara ceria Trisa terus bergema.

“Udah, tak usah bertele-tele.  Maksudmu apa?” tanya Iksan.

“Kalau kita bisa mencari biaya, kita bisa terus melaksanakan acara ini, San.”

“Iya, tahu.  Tapi bagaimana caranya kita dapat uang?” tanya Iksan yang dalam hatinya masih berharap pentas seni dapat terlaksana.

“Aku juga belum tahu,” jawab Trisa.

“Terus?” Sabrina tak sabar.

“Kita kumpulkan teman-teman.  Pasti di antara kita banyak yang punya otak einstein,” usul Trisa.

Dan semua panitia langsung diundang rapat.  Diberitahu apa yang telah terjadi.  Dan diharapkan bisa ikut memberikan jalan.  Agar pentas seni bisa tetap dilaksanakan.

“Saya bilang apa?  Percuma kan?”  kata Jalil.

“Sabar.  Dengarkan dulu penjelasan Iksan,” kata Trisa.

“Masih ada jalan keluar.  Pentas Seni bisa terlaksana, jika kita bisa mencari biaya sendiri,” jelas Iksan.

“Terus?”

“Makanya sekarang saya kumpulkan kalian.  Siapa tahu kalian punya ide yang aneh.”

“San. Sebetulnya  saya sudah lama ingin usul, tapi malu.  Takut dikira hanya ingin untung sendiri,” kata Balqis.

“Apa?”

“Bagimana kalau dalam acara pentas seni, juga dilaksanakan bazar?” usul Balqis.

“Maksudmu?”

“Kita buka outlet.  Kita sewakan.  Kita bisa dapat uang.”

“Siapa yang mau menyewa?” tanya Sabrina.

“Kita tawarkan saja dulu pada teman-teman.  Saya saja pengin jualan mainan,” kata Trisa.

“Iya, saya juga pengin jualan kue.  Boleh?” kata Balqis.

“Tetanggaku juga pasti mau.  Boleh?” tanya Sasa.

Diskusi berjalan seru.  Dan diputuskan untuk melakukan pendaftaran peserta bazar.  Ternyata bukan hanya para siswa, beberapa orangtua siswa yang bekerja di beberapa perusahaan bersedia membuka outlet di pentas seni sekolah.

“Lumayan.  Tapi belum cukup,” kata Iksan.

“Berati kita harus memeras otak lagi,” kata Trisa.

“Kamu aja, saya tak mau.”

“Lho?”

“Nanti jadi bodoh kalau diperas-peras.  Hehehehee....”

Malam memunculkan purnama.  Tak biasanya.  Iksan duduk tepekur di teras rumah sambil menikmati purnama nan cantik.  Bulan, kasihan kau kini.  Tak ada yang memperhatikanmu lagi.  Anak-anak sudah terlalu sibuk dengan acara televisi dan meningggalkanmu sendiri.

“Tapi belum cukup.”

“Terus?”

Plak!  Nyamuk yang sedang asik menikmati darah segar Iksan langsung tersuruk. 

“Sialan!” kata Iksan sambil memencet nyamuk yang sudak setengah pingsan itu.

“Siapa yang sialan?” tanya Kak Risya yang mendadak sudah ada di samping Iksan.

“Kakak!”

“Lho, kenapa?”

“Datang kok tidak bilang-bilang!”

“Kamu tahu kenapa kakak datang?”

Iksan menggeleng.

“Karena dia takut kalau sampai adiknya gila.  Bengong sendiri melihat bulan.  Tanpa kedip.  Malah komat kamit sendiri.”

“Ih, kakak.  Tak mungkin orang ganteng kok gila.”

“Ada apa?” tanya Kakak.

“Bagaimana cara mencari uang ya, Kak?”

“Minta saja sama bokap atau nyokap.”

“Ih, itu sih bukan jalan keluar.”

“Ada jalan lain. Mau?”

“Apa, Kak?” tanya Iksan antusias.

“Rampok bank.  Hehehehee....”

“Ih, kakak.  Yang serius dong, Kak!.”

“Kamu butuh uang untuk apa?”

“Kami kan mau ngadain Pentas Seni.  Tapi sekolah tak punya uang.  Terpaksa kami harus mencari uang sendiri.”

“Langkah pertama, kamu harus analisis peluang.  Apa saja yang dibutuhkan oleh teman-temanmu.  Kamu jual barang kebutuhan mereka.  Kamu pasti akan dapat untung.”

“Langkah kedua?”

“Langkah kedua, kamu bagi kakak hasilnya.”

“OK deh.”

“Apanya?”

“Ide Kakak.  Makasih Kak.”

Tapi apa yang dibutuhkan teman-temannya dan dapat menghasilkan uang ya?  Bikin stiker sekolah.  Kita jadikan karcis masuk sekaligus untuk pengambilan kudapan.  Dan ternyata manjur.  Baru disampaikan langsung banyak yang pesan.

“Bagaikan semut.  Banyak sekali yang memesan.  Lumayan,” kata Trisa yang menangani pemesanan stiker.

“San, bagaimana kalau mading bikin program DU-DU?” tanya Anisa.

“Apa itu?” tanya Iksan.

“Dari untuk.  Semacam pesan-pesan untuk teman, gitu.  Siapa yang pasang DU, harus pesan dan harus bayar,” jelas Anisa.

“Boleh juga.”

Tak terasa.  Uang sudah terkumpul lumayan.  Semoga Pentas Seni pun dapat terlaksana dengan baik.

“Tapi belum cukup, Kak,” kata Iksan.

“Oh iya.  Aku pernah baca buku Ayah.”

“Yang mana?”

“Tuh!”

“Wira Usaha mandiri?”

“Bet.”

Ternyata tak salah juga ayah suka buku.  Buku ayah sudah segunung.  Tapi tetap saja dalam satu minggu mesti sekali mengunHadgi Gramedia.  Beli buku baru.  Karena memang dalam buku ada banyak ide.

“Ada apa, Kak?”

“Kenapa kamu tidak jual pulsa saja?”

“Modalnya?”

“Tak usah pakai modal.”

“Kok?”

“Kan ada Om Ep.  Dia punya konter pulsa.  Kamu yang promosiin.  Hasilnya bagi dua.”

Mantap.   Aku langsung telepon Om Ep.  Setelah Hada menjelaskan maksudnya, Om Ep setuju.

Paginya, di sekolah langsung Hada kumpulkan teman-temannya.  Mereka semua dijadikan agen.  Kalau membeli pulsa harus ke Om Ep.  Daaaaannnnn, apakah yang terjadi?

“Had.  Kamu bisa ke rumah, Om?”

“Ada apa Om?”

“Bagi hasil.  Udah lumayan nih.  Banyak temanmu yang beli pulsa.  Sampai Om kelabakan ngelayaninnya.”

Hanya dalam seminggu, sudah mampu terkumpul untung satu juta.  Dibagi dua, berarti masing-masing lima ratus ribu rupiah.

Suasana pensi meriah sekali.

“Aku bangga.  Terutama kepada Sang Ketua OSIS sekolah ini.  Telah berusaha dengan giat hingga acara ini dapat terlaksana dengan baik,” kata kepala sekolah dalam sambutannya.

Hada tersenyum.  Tak ada persoalan kalau tak disertai jalankeluar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun