Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dengan Mata yang Entah

20 Juli 2015   08:59 Diperbarui: 20 Juli 2015   08:59 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Suara Glen Fredly betul-betul menyayat.  Bukan hanya menyayat, tapi sudah meluluh lantakkan.  Hati Rida.  Yang sedang luka.  Serta melipat gandakan sebuah kerinduan.  Kerinduan yang sudah lama terpendam.  Juga memecah kesunyian malam.  Kesunyian malam yang sering menemani malam-malam Rida. 

Rida memang masih saja diam.  Tak beranjak dari meja belajarnya.  Bukan.  Bukan sedang membaca buku.  Rida sedang menahan rasa rindu.  Pada ibu.

Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu
Ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
tak tega biarkan kau sendiri
Meski  kau asyik sendiri
Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang menjadi juaranya

Rida masih ingat.  Mamanya selalu mencoba menghindar. Menghindar.  Dan menghindar.  Setiap kali Rida meminta.  Bahkan memohon.  Dengan air mata yang menderas.  Dengan semangat yang terus mengeras.

“Bukan.  Bukan mama tak mau, Rid,” kata Mama Rida dengan wajah risau.  Dengan sorot mata yang penuh khawatir.  Kekhawatiran yang amat dan amat besar.  Yang tak mungkin disembunyikan lagi.

“Terus?” sementara Rida tak bisa berhenti memohon.

“Kamu sudah siap menghadapi semua kenyataan?  Mama rasa, kamu belum bisa, Rid.”

“Kan Rida sudah bilang dari tadi, Ma,” Rida tak mau melangkah mundur lagi.

“Kata-kata tak selalu mencerminkan hati, Rid.  Kadang-kadang sebuah kata hanya mewakili emosi dari orang yang mengatakannya,” nasihat Mama.

“Tapiiiii Rida yakin kalau Rida sudah siap, Ma.  Kan mama pernah bilang kalau Rida sudah siap pasti akan Mama antarkan,” bujuk Rida.

“Betul, tapi ...”

“Kok sekarang pakai tapi sih, Ma?” potong Rida.

Mama ingin membelai rambut Rida.  Tapi Rida menghindar.  Mama hanya menatap manusia yang sudah sepuluh tahun lebih mengisi hari-harinya.  Sejak suaminya meninggal, Mama hanya hidup bersama Rida.  Hidup Mama hanya untuk kebahagiaan Rida. 

Sekarang mungkin sudah waktunya.  Untuk memberitahu orang yang akan menjadi saingannya di hati Rida.  Mama terkadang tak rela berbagi.  Tapi, tak mungkin.  Karena Rida memang punya hak untuk tahu.  Tak salah kalau sekarang, Rida memaksa.

Mama ragu pada kesiapan hati Rida sendiri.  Kalau belum siap, nanti malah akan retak.  Sulit untuk mengobati hati yang terlanjur retak.

“Rida akan tetap sayang Mama, kok,” kata Rida setiap kali mengungkapkan satu keinginannya itu.

“Bukan masalah itu, sayang,” kata Mama selalu dengan hati-hati.

“Terus apa lagi, Ma?”

“Mama takut kalau hati kamu nanti retak.”

“Emangnya kaca, pakai retak segala.”

Kalau sudah begitu, Rida pun akan mengurung dirinya dalam kamar.  Sampai Mama menjanjikan waktu lagi.  Tapi selalu diulur oleh Mama sendiri.

“Kalau begitu, okelah!  Sana kamu ganti baju!” Mama pun memutuskan.

“Terima kasih, Mama!” teriak Rida dengan senyum yang tak kalah dengan senyum pungguk saat bertemu bulan.  Karena pungguk memang sudah tak bisa menghitung tahun menunggu pertemuannya dengan bulan.  Ridal mencium pipi mama.  Lama.  Lama sekali. Lekat.  Lekat sekali.

Ada mendung menggelayut di ujung mata Mama.  Mama berusaha sekuat tenaga agar mendung itu tak berubah menjadi hujan.  Apalagi sampai menjadi badai.

****

“Kemana saja kamu, Rid?” tanya Helga.

Rida tak menjawab pertanyaan Helga.  Rida justru langsung beranjak meninggalkan Helga yang terpaku tak mengerti.  Sendiri.  Helga memang menangkap sebuah gelagat.  Yang tak enak.

Sahabatnya ini betul-betul berubah dalam satu minggu terakhir.  Bukan hanya tak bisa ditemui.  Helga justru terlalu sering melihat Rida yang menangis sendiri.

Helga mengikuti langkah kaki Rida.  Saat Rida masuk ke perpustakaan, Helga mengikuti duduk di pojok perpustakaan.  Lama Helga diam di samping Rida.  Tapi Rida tetap saja bungkam.  Hanya sesekali terdengar isaknya.

“Aku mau kok dengerin apa pun yang ingin kamu katakan,” bujuk Helga.

Tak ada sahutan.  Menengokkan muka pun tidak.  Rida masih menunduk.  Entah apa yang dilakukannya.  Mungkin menghitung semut yang banyak muncul di perpustakaan.  Akhir-akhir ini memang cukup banyak semut di perpustakaan.  Gara-gara manusia bandel yang masih juga sembunyi-sembunyi membawa makanan ke perpustakaan.  Padahal di pintu perpustakaan sudah dipasang pengumuman dengan huruf besar oleh Pak Irwan bahwa siapa pun dilarang membawa makanan ke perpustakaan.  Tapi dasar anak bandel, masih saja bisa cari alasan.

“Kamu tak bisa baca?!” bentak Pak Irwan saat melihat anak sedang asik makan di dalam perpustakaan.

Bukannya takut, eh, anak itu malah menjawab, “Bisa, Pak!”

“Kenapa makan juga?!” tanya Pak Irwan.

“Lho, yang tidak boleh kan bawa makanan, Pak.  Saya tidak bawa makanan.  Saya cuma ikut menghabiskan makanan dia,” jawab anak itu.

Pak Irwan yang juga guru bahasa Indonesia itu bukannya marah, eh, malah tertawa dan berterima kasih telah diingatkan kesalahannya dalam membuat pengumuman.  Pengumuman itu langsung diganti.  Tapi tetap saja masih ada anak yang sembunyi-sembunyi membawa dan makan di perpustakaan.

“Kamu kenapa sih, Rid?” tanya Helga sambil berharap Helga akan mau berbagi kesedihannya.

Hanya sunyi.

“Mungkin aku tak bisa membantu kamu menyelesaikan masalahmu, Rid.  Tapiiii... paling tiiiiiidak, paling tidak nih, Rid.  Kamu akan merasa lega jika kamu ceritakan masalahmu padaku.  Sahabatmu ini, Rid,” kata Helga sambil menekan kata sahabat agar Rida merasa nyaman.

“Benar, Ga?” akhirnya Rida membuka mulutnya juga.

Helga mengangguk.  Dengan memberi sorot mata tanda kepercayaan.  Helga memang lain.  Lebih tahu tentang perasaan sahabat-sahabatnya.  Seperti saat ini, Helga tak mau banyak kata.  Justru sorot mata yang ia tumpahkan sebagai isyarat kepercayaan seorang sahabat.

“Terima kasih, Ga,” kata Rida sambil memeluk Helga.  Erat.  Erat sekali.  Lama.  Lama sekali.  Sampai-sampai Helga sendiri agak sulit bernafas.

“Terus kapan kamu ceritanya?” kata Helga.

Rida melepas pelukannya.

***

Pagi masih menyelimuti bumi.  Rida menghela nafas lega.  Belum ada siapa-siapa.  Rida menulis beberapa kalimat lagi ke dalam buku hariannya.  Akhir-akhir ini, tak ada yang bisa diajak bicara Rida, kecuali buku hariannya itu.

Sampai saat ini, kepada Helga pun Rida belum berani bercerita.  Takut.  Kalau nanti Helga merendahkannya.  Ternyata Rida anak dari seorang ibu yang .... Rida tak bisa meneruskan apa yang ada dalam pikirannya.  Rida ngeri sendiri. 

Sudah beberapa kali Helga meminta agar Rida mau bercerita tentang resah hatinya.  Namun, tetap saja Rida merasa belum bisa.

“Ke kantin yuk!” ajak Helga saat melihat Rida duduk sendiri.

“Memangnya sudah ada yang buka?” tanya Rida.

“Kalau belum ada yang buka, ya kita duduk saja sambil nunggu ada yang buka.  Tadi tak sempat minum susu nih,” kata Helga.

“Buru-buru?”

“Bukan aku, nyokap yang buru-buru.  Katanya ada rapat di kantornya.  Terpaksa harus berangkat buru-buru, deh!” jawab Helga.

Rida ingin banget diantar sekolah sama seorang yang bernama Ibu.  Tapi tak mungkin.  Jangankan mengantar sekolah Rida.  Dengan dirinya sendiri saja, Ibunya tak hirau.

“Hei, kok ngelamun!” bentak Helga.

“Kamu belum pernah mengalaminya sih?” kata Rida.

“Apa?” giliran Helga bingung.  Tak tahu maksud pembicaraan Rida.  Apa yang belum pernah dialaminya?  Tahu-tahu kok Rida bicara seperti itu?

Rida malah menatap kosong ke arah kantin.

“Ada apa, Rid?”

“Tak ada apa-apa?”

“Kamu ngelihat hantu?” tanya Helga agak sedikit panik.

“Apa yang aku alami,” jelas Rida.

“Udah kamu ceritakan saja.  Dari kemarin kan aku sudah bilang.  Aku mungkin tak akan bisa memberimu jalan keluar, tapi ... dengan kamu bercerita, beban yang kamu tanggung akan sedikit berkurang,” bujuk Helga.

Ada sedikit ragu.  Rida mencoba sedikit menguatkan diri.  “Seminggu yang lalu, Mama mengajakku menemui ibu.”

“Mama...... ibu....., maksud kamu?”

“Aku punya mama, juga punya ibu.  Selama ini aku dibesarkan mama.  Tapi mama bukan ibuku.  Ada perempuan lain yang telah melahirkanku tapi tak membesarkanku,” jelas Rida.

“Enak dong punya mama dan ibu,” kata Helga mencoba melucu agar tak kaku.

“Mungkin.  Tapi aku lain.”

“Kenapa?”

“Mamaku kamu tahu sendiri.  Tak usah ditanya tentang rasa sayangnya.  Tapi mungkin aku sendiri yang salah.  Karena aku juga selalu menyimpan harapan tentang ibu yang juga menyayangiku.”

“Terus?”

“Ibuku, Hel.  Ibuku ternyata .....” Rida tak sanggup menceritakannya.  Tapi langsung menyerahkan buku harian pada Helga.

 

Sabtu, 3 Juli 2013

Setelah aku berhasil  memaksa Mama untuk mengantarkanku kepada Ibu, aku senang sekali.  Aku memakai baju yang terbaik yang kumiliki, biar Ibu bangga pada anaknya.  Sepanjang perjalanan, aku tak mau melepas senyum.  Mungkin itulah senyumku paling lama.  Kalau aku daftarkan ke muri aku bisa dapat hadiah karena telah memecahkan senyum terpanjang di dunia.  Karena senyumku memang kuulur dari rumah hingga ke sebuah tempat.

Tempat itu tempat Ibuku.  Kamu mungkin akan seperti aku juga.  Tak mengira tempat Ibuku berada saat ini.  Aku berharap, Ibu berada di tempat yang indah.  Aku berharap ada seorang Ibu yang sedang menunggu kedatanganku.  Tapi aku hanya berjumpa dengan rasa kecewa.  Betul-betul kecewa.  Aku diajak Mama ke sebuah panti.

Harusnya aku sudah dapat menebak.  Jika saja aku tak terlarut dalam bahagia yang tak terkira.  Tapi aku terlalu bahagia.  Sehingga aku tak sadar kalau aku diajak Mama ke rumah panti tempat perawatan orang gila.

Dan Ibuku ada di situ.  Bukan sedang menungguku.  Dia sedangh duduk di bawah pohon.  Dengan wajah murung.  Dengan mata yang entah.  Aku tak dapat menuliskannya di sini.  Aku terlalu kecewa.  Hatiku retak.  Bahagia yang sudah kususun berantakan semua.  Menjadi rasa kecewa tiada tara.

Ibuku gila.  Ibuku gila.  Ibuku gilaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.............

Helga tak bisa bicara apa-apa.  Helga menangis.  Merasakan betul apa yang dirasakan Rida. 

“Terus?” tanya Helga.

“Apanya?”

“Kamu mau apa, Rid?”

“Aku bingung.  Aku takut pada teman-teman.”

”Kenapa takut, Rid?”

“Apa kata mereka?”

“Kenapa takut pada kata-kata mereka?”

“Mereka pasti akan meledekku.  Karena aku anak orang gila.”

“Mereka sudah tahu?”

“Hanya kamu.”

“Mereka meledekmu?”

“Belum.”

“Kamu tahu, Rid?”

“Apa, Ga?”

“Banyak orang yang terlalu cepat menilai.”

“Maksudmu?”

“Seperti kamu ini, Rid.  Kamu sudah memberi penilaian pada teman-temanmu, sebelum mereka sendiri melakukan penilaian,” kata Helga.

“Terus aku harus bagaimana, Ga?”

“Sudah berapa lama kamu berharap bertemu dengan ibumu, Rid?”

“Sejak aku ingat akan Ibu.”

“Kenapa kamu tak bahagia justru setelah kamu menemukannya?”

“Karena ...”

“Gila?”

Rida hanya diam.

“Banyak orang yang tak mau melihat kenyataan.  Orang-orang seperti itu tak layak hidup di dunia.  Karena dunia ini selalu nyata.  Orang seperti itu hanya layak hidup dalam mimpi.  Kenyataan itu terkadang menyakitkan.  Jika kita mengingkarinya.  Kenyataan itu indah kalau kita mensyukurinya,” jelas Helga sambil mengutip beberapa kata dari Mario Teguh.

Rida masih tetap terpaku.

“Harusnya kamu bersyukur.  Karena sudah menemukan ibumu.  Kamu bisa berbakti.”

Rida masih diam. Tapi di dalam sorot matanya sudah tampak ada sebuah sinar temaram.  Harapan yang mulai muncul.

***

Panas.  Matahari benar-benar sedang menguji nyali semua penghuni bumi.  Tak tanggung-tanggung.  Panasnya seperti nyaris di ujung kepala.  Tapi niat itu tak mungkin diurungkannya.

“Mau sekarang?” tanya Rida.

“Aku bilang Fifi dulu,” jawab Helga sambil berlari menuju ruang ekskul.

“Kenapa?”

“Aku tak bisa ikut kumpul padus hari ini.”

“Kalau begitu besok saja, Ga?”

“Tak apa.  Baru mau bikin persiapannya, Rid.”

Mereka berdua pun langsung naik mikrolet.  Sudah seminggu Rida selalu datang ke Panti tempat ibunya dirawat.  Rida yang menyuapi ibunya.  Kadang-kadang memandikannya.  Ibu Rida memang belum tahu kalau Rida itu anaknya.  Tapi Rida yakin kalau ibunya bisa merasakan cinta dan kasih yang diberikan.

“Aku senang bisa berbakti,” kata Rida.

“Ibumu juga pasti bisa merasakan kasih sayangmu, Rid.”

“Bayangan ibu masih sedikit aku ingat.  Saat menyuapi aku, juga saat menyanyikan lagu menjelang tidurku.”

“Kamu memang harus melakukan semua itu.”

“He-eh.  Stop, Bang!  Sudah sampai, Ga.”

Mereka berdua masuk ke Panti.  Tapi... ada yang aneh.  Ada apa? Biasanya banyak orang panti yang berkeliaran.  Mereka yang berkeliaran adalah mereka yang dianggap sudah nyaris sembuh.  Termasuk Ibu Rida.

Tapi siang ini panti terlihat sepi.  Bahkan petugas pun tak ada.  Pada kemana?  Tanya Rida dalam hati.  Sambil matanya berkeliling mencari orang yang bisa ditanya.

“Ada apa, Bu?” tanya Rida saat menjumpai seorang petugas.

“Ada yang ngamuk.”

“Yang lain ke mana?”

“Ke aula.”

Rida menuju aula.  Orang-orang sudah berkumpul di sana.  Mata-mata mereka sembab.  Bahkan ada beberapa yang masih histeris.

“Ada apa, Bu?” tanya Helga pada seorang ibu yang berdiri di luar aula.

“Ada yang meninggal.”

“Siapa?”

“Bu Astuti.”

Dan bumi tempat pijakan Rida langsung bergoyang.  Membuat kaki Rida tak mungkin bisa menopang tubuhnya.  Rida betul-betul kaget.  Karena Astuti adalah nama ibunya.

Wajah itu begitu tenang.  Dibaringkan di atas meja.  Seperti ada seberkas senyum yang tertinggal di wajahnya.

“Hari-hari terakhir ini memang dia selalu tersenyum.  Kamu yang selalu menyuapinya, ya?” kata Bu Narsih.

Rida hanya mengangguk.

“Kamu siapanya?”

“Anaknya,” jawab Helga.

“Pantas.  Dia memang selalu bercerita tentang anaknya yang mungkin sudah sebesar kalian.  Dia selalu merasa kamu itu anaknya.  Dan dia selalu merasa siap mati karena sudah bisa ketemu kamu,” kata Bu Narsih.

“Tapi ....”

“Yang penting kamu sudah bisa berbakti, Rid,” hibur Helga.

Langit pun pecah.  Mendung yang dari tadi mengurung, mendadak tertumpah.  Bahkan petir terasa begitu aneh.  Tapi tak segemuruh hati Rida.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun