“Kenapa makan juga?!” tanya Pak Irwan.
“Lho, yang tidak boleh kan bawa makanan, Pak. Saya tidak bawa makanan. Saya cuma ikut menghabiskan makanan dia,” jawab anak itu.
Pak Irwan yang juga guru bahasa Indonesia itu bukannya marah, eh, malah tertawa dan berterima kasih telah diingatkan kesalahannya dalam membuat pengumuman. Pengumuman itu langsung diganti. Tapi tetap saja masih ada anak yang sembunyi-sembunyi membawa dan makan di perpustakaan.
“Kamu kenapa sih, Rid?” tanya Helga sambil berharap Helga akan mau berbagi kesedihannya.
Hanya sunyi.
“Mungkin aku tak bisa membantu kamu menyelesaikan masalahmu, Rid. Tapiiii... paling tiiiiiidak, paling tidak nih, Rid. Kamu akan merasa lega jika kamu ceritakan masalahmu padaku. Sahabatmu ini, Rid,” kata Helga sambil menekan kata sahabat agar Rida merasa nyaman.
“Benar, Ga?” akhirnya Rida membuka mulutnya juga.
Helga mengangguk. Dengan memberi sorot mata tanda kepercayaan. Helga memang lain. Lebih tahu tentang perasaan sahabat-sahabatnya. Seperti saat ini, Helga tak mau banyak kata. Justru sorot mata yang ia tumpahkan sebagai isyarat kepercayaan seorang sahabat.
“Terima kasih, Ga,” kata Rida sambil memeluk Helga. Erat. Erat sekali. Lama. Lama sekali. Sampai-sampai Helga sendiri agak sulit bernafas.
“Terus kapan kamu ceritanya?” kata Helga.
Rida melepas pelukannya.