“Terima kasih, Mama!” teriak Rida dengan senyum yang tak kalah dengan senyum pungguk saat bertemu bulan. Karena pungguk memang sudah tak bisa menghitung tahun menunggu pertemuannya dengan bulan. Ridal mencium pipi mama. Lama. Lama sekali. Lekat. Lekat sekali.
Ada mendung menggelayut di ujung mata Mama. Mama berusaha sekuat tenaga agar mendung itu tak berubah menjadi hujan. Apalagi sampai menjadi badai.
****
“Kemana saja kamu, Rid?” tanya Helga.
Rida tak menjawab pertanyaan Helga. Rida justru langsung beranjak meninggalkan Helga yang terpaku tak mengerti. Sendiri. Helga memang menangkap sebuah gelagat. Yang tak enak.
Sahabatnya ini betul-betul berubah dalam satu minggu terakhir. Bukan hanya tak bisa ditemui. Helga justru terlalu sering melihat Rida yang menangis sendiri.
Helga mengikuti langkah kaki Rida. Saat Rida masuk ke perpustakaan, Helga mengikuti duduk di pojok perpustakaan. Lama Helga diam di samping Rida. Tapi Rida tetap saja bungkam. Hanya sesekali terdengar isaknya.
“Aku mau kok dengerin apa pun yang ingin kamu katakan,” bujuk Helga.
Tak ada sahutan. Menengokkan muka pun tidak. Rida masih menunduk. Entah apa yang dilakukannya. Mungkin menghitung semut yang banyak muncul di perpustakaan. Akhir-akhir ini memang cukup banyak semut di perpustakaan. Gara-gara manusia bandel yang masih juga sembunyi-sembunyi membawa makanan ke perpustakaan. Padahal di pintu perpustakaan sudah dipasang pengumuman dengan huruf besar oleh Pak Irwan bahwa siapa pun dilarang membawa makanan ke perpustakaan. Tapi dasar anak bandel, masih saja bisa cari alasan.
“Kamu tak bisa baca?!” bentak Pak Irwan saat melihat anak sedang asik makan di dalam perpustakaan.
Bukannya takut, eh, anak itu malah menjawab, “Bisa, Pak!”