Dulu juga Pak Iwan sebetulnya melakukan pembuangan gas sebagai wujud pemberontakan. Sudah dua bulan Pak Iwan dilarang melakukan kegiatan renang. Padahal, Pak Iwan sedang butuh uang untuk beli sepatu baru. Dan setiap kali Pak Iwan ngotot ingin mengadakan kegiatan renang, ibu kepala sekolah juga ngotot melarang hal itu. Saking jengkelnya, Pak Iwan melakukan pembrontakan dengan melakukan pembuangan gas pada saat kepala sekolah menyampaikan amanat. Tadinya, hanya ingin meledek kepala sekolah kalau omongannya tak beda dengan suara dari jalan bawah, tapi tak disangka-sangka kalau suara kentutnya terlalu kencang dan bisa terdengar dari seantero lapangan.
“Masih boleh saya teruskan, Pak?” tanya Galang yang bingung dengan ekspresi puas dari wajah Pak Iwan. Sebuah ekspresi yang baru sekali ini dijumpai.
“Teruskan!”
“Itulah yang membuat kami tertawa, Pak.”
“Ya sudah kamu duduk!” kata Pak Iwan. Sebuah keputusan yang diiringi perasaan tak puas di wajah Fina. Fina ingin sekali Pak Iwan menyiksa manusia dukun santet itu. Sehingga keyakinannya akan angka empat bisa berubah. Tapi malah tak diapa-apakan. Bahkan wajah Pak Iwan malah mencerminkan sebuah sikap bangga mendengar penjelasan Galang.
“Siapa yang kentut!”
Fina langsung mengkerut. Hati Fina kecut. Petaka apa yang akan menimpa dirinya? Villa yang kebetulan duduk satu meja betul-betul bisa merasakan ketakutan yang begitu mendalam. Sorot mata Fina memancarkan perminta tolong agar Villa membelanya. Sorot mata sedih dan seperti dipenuhi air mata yang hendak tumpah ruah.
“Tolongin aku, Vil,” sebuah permintaan tolong yang mampu Villa baca dari sorot mata kalah Fina.
“Bagaimana caranya?” tanya Villa yang tak tahu harus berbuat apa.
“Saya, Pak!” aku Fina sebelum Villa sempat menemukan jalan untuk menolong teman paling dekatnya itu. Rupa-rupanya, sejarah telah mengajarkan pada Fina, bahwa kejujuran yang cepat disampaikan akan sedikit mengurangi hukuman yang mungkin akan dideritanya. Sehingga dalam waktu secepat kilat, Fina mengakui perbuatannya.
“Maju kamu!”