Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tak Semua Orang Bisa Dikibuli

19 Juli 2015   15:18 Diperbarui: 19 Juli 2015   15:18 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pasti hanya iseng.   Biasa.  Awal-awalnya pura-pura salah mencet nomor.  Kemudian minta kenalan.  Terus minta pulsa.  Terus minta alamat.  Terus.... Pokoknya, penipuan itu selalu memiliki beribu cara untuk memperdaya orang yang mau diperdaya.

Sebaiknya dibiarkan saja.  Biar bingung sendiri.  Biar kapok.  Tak semua orang bisa dikibuli.  Tak usah dihiraukan.  Villa langsung menarik selimut. Villa mencoba memejamkan matanya.  Masih malam. Untuk apa harus mengurusi sms nyasar segala.

“Twing!”

Masuk lagi sebuah SMS.  Modus alias modal dusta deh.  Para penipu sekarang memang rata-rata pekerja keras.  Tak kenal patah harapan.  Tak jera untuk menjerat calon korbannya.  Villa menarik selimut lebih ke atas.  Hingga kepala Villa tertutup.  Memang, hasilnya tak sesuai harapan.  Bukannya nyaman, malah tak bisa nafas.

“Twing!”

Betul kan?  Tapi, siapa tahu ada informasi penting.  Villa mulai sedikit tergoda.  Bagaimana kalau ada informasi yang harus segera diketahui.  Misalnya saja ada keluarga yang masuk rumah sakit atau ada kerabat yang meninggal? Kalau ada informasi penting, biasanya orang memang akan mencoba menghubungi seseorang berulang-ulang. 

Ah... tapi tak mungkin!  Villa membantah sendiri apa yang dipikirkannya.  Kalau ada kabar berita yang penting, pasti orang tersebut akan meneleponnya.  Yang ditelepon juga pasti bukan Villa.  Ayah atau ibunya yang akan dihubungi.

Namun, Villa mulai penasaran.  Ya, rasa penasaran itu diam-diam mulai merasuki kalbu Villa.  Hitungan.  Villa jadi ingat teman satu kelasnya.  Dia sangat trauma dengan hitung-hitungan.  Dia meyakini bahwa hitungan segala hal memang tak boleh lebih dari angka tiga. 

Kalau melebihi angka keramat tersebut, yang muncul justru celaka.  Teman satu kelas Villa itu bernama Fina.  Fina bukan hanya teman sekelas, bahkan teman sebangku Villa.  Fina sakit dua hari gara-gara kentut yang keempat.  Padahal, seharusnya tidak seperti itu jika Fina tak mencoba membantah kata-kata Galang.  Manusia paling kumal di kelas delapan tiga. 

“Pokoknya jangan sampai ada yang mencoba melakukan perlawanan.  Terutama setelah aku menyampaikan sabda ini,” kata Galang yang di antara kami selalu disebutnya sebagai dukun santet.  Memang terasa agak kejam julukan itu.  Tapi Galang sendiri malah bangga dengan julukan “dukun santet”. 

Memang kebiasaan Galang yang selalu menyantet teman-temannya.  Terutama saat istirahat dan sedang ramai makan di kantin.  Jarang sekali manusia berbaju kumal ini beli jajan.  Galang lebih suka menyantet makanan teman-temannya.  Misalnya saja tiga sendok mi goreng milik Arif amblas ke dalam rongga mulutnya.  Satu bakso milik Radar juga terhempas telak ke dalam perut Galang.  Atau satu mangkok bubur ayam yang sudah tak diminati Vivi karena disantet mulut Galang lebih dulu.

“Takhayul!” kata Fina sambil monyongin bibirnya.

“Kamu boleh membuktikannya, tapiiii kamu juga harus siap dengan resikonya,” kata Galang dengan gaya percaya diri yang dipaksa-paksakan.  Berdiri sambil menyelempangkan tangan di dada.  Sebetulnya lebih mirip gaya Parto di acara Opera Van Java.  Karena Galang memang sangat mengidolakan pelawak dengan logat Tegalnya itu.

Dan pada saat istirahat sudah usai, Fina pun mulai beraksi.  Badan gendutnya itu tak mulas, tapi sangat bisa untuk menyimpan gas lebih dari cukup.  Dan gas dalam perut Fina akan secara otomatis mendesak Fina agar segera mengeluarkannya.  Tak peduli waktu dan tempat.  Wajar.  Gas yang keluar pertama sangat wajar.  Tak bunyi.  Demikian juga untuk yang kedua dan ketiga.  Hanya sebuah desis belaka.  Meski agak panjang desisnya.

Namun, tantangan Galang sangat meresahkan Fina.  Mungkinkah hitungan keempat akan membuat seseorang celaka seperti disabdakan manusia paling urakan bernama Galang?  Omong kosong!  Dan Fina pun mulai beraksi.  Dengan satu hentakan nafas, penuh tekanan, juga penuh perasaan.  Maka bunyi itu pun nyaring sekali. 

“Duuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuttttttttttttttttttttttttttttttt......!”

Bukan hanya nyaring, tapi juga panjaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnngggg sekali.  Seluruh penghuni ruang kelas pasti mendengarnya.  Dengan jelas pula.  Karena sontak mendadak setelah Fina menghabiskan segala macam gas dalam perutnya, yang terdengar hanyalah suara bahak tawa seluruh isi kelas.

“Mantaappp...!” puji Galang yang selalu berminat pada segala yang aneh termasuk kentut Fina yang aneh itu.

Suara bahak itu mungkin tak masalah.  Karena kelas delapan tiga memang sering dianggap oleh hampir semua guru sebagai gudangnya ribut.  Selalu terbahak-bahak saat tertawa.  Siapa lagi dalangnya kalau bukan si manusia dukun santet, Galang?

Ah, tak masalah.  Yang menjadi masalah adalah karena pada saat yang sama, nongol wajah paling mencerminkan penjajah Belanda dalam hal kekejaman.  Bengis dan dingin.  Paling ditakuti di seluruh wilayah SMP Negeri 135.  Bahkan ada yang bilang, kalau harus memilih lari kemana jika di depan ada macan dan di belakang ada dia, maka semua siswa SMP N 135 akan memilih lari menghadapi macan.

Dia adalah Pak Iwan.  Guru olahraga yang benar-benar menghayati seluruh makna dari semboyan “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga” itu.  Sehingga, setiap kesalahan selalu harus ditebus dengan lima puluh kali push up atau lima puluh kali skot jump.

“Ada apa tertawa!”  kata Pak Iwan dari ambang pintu

Kami semua diam.  Mendadak tak ada suara.

“Ada apa tertawa!” ulang Pak Iwan.

Dan teriakan Pak Iwan benar-benar seperti tarikan terompet malaikat Isrofil.  Malaikat yang akan menghentikan segala aktivitas jagat raya hanya dengan tiupan terompet saktinya itu.  Segala suara menjadi hilang.  Bahkan dari mulut usil Galang.  Kelas senyap sesenyap-senyapnya.  Hanya tarikan nafas penuh ketakutan dari seisi kelas.

“Fina kentut, Pak,” jawab Galang yang kebetulan masih menyimpan sedikit keberanian untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.

“Galang, sini kamu!” panggil Pak Iwan.

Maka, Galang pun maju dengan penuh kepasrahan.  Diiringi sorotan mata kasihan dari teman-temannya yang sudah sedikit tahu nasib setiap siswa yang disuruh maju oleh Pak Iwan.

“Kenapa kamu tertawa dan tertawamu paling keras!”

“Fina kentut, Pak,” jawab Galang sambil membesar-besarkan hatinya bahwa apa yang sedang dilakukannnya saat ini bukanlah sebuah kesalahan.  Bahkan kata-kata Galang lebih mengandung sebuah kebenaran.  Mengungkap Fakta yang selama ini terselubungi kepalsuan, seperti sebuah semboyan acara infotainmen yang sering dikutip Galang kalau sedang kepepet.

“Memangnya kentut itu lucu?!”

“Memang tidak lucu sih Pak.  Tapi karena terdengar panjang dan sepertinya membawa semangat pemberontakan dari si pelaku yang membuat suara kentut itu lucu,” Galang mencoba menjelaskan sambil terus berdoa dalam hati agar alasan bisa diterima dengan baik dan sanggup menghindarkannya dari olahraga push up itu.

“Apa maksudnya pembrontakan segala?”

“Sesuatu yang tidak wajar pasti mengandung pemberontakan.  Misalnya saja masalah kentut.  Ka .....”

“Jangan kau bahas masalah kentut.  Kasih contoh yang lain!” potong Pak Iwan yang agak trauma dengan sesuatu yang bernama kentut pula. 

Oh iya, Pak Iwan memang pernah mengalami peristiwa yang tak mengenakkan karena kentut.  Peristiwanya begini.  Waktu itu, hari Senin pagi.  Semua tahu dong.  Setiap hari Senin pagi pasti ada kegiatan paling membosankan di seluruh sekolah di negeri ini.  Apalagi kalau bukan upacara bendera.

Pada saat kepala sekolah sedang memberikan sambutan, seluruh siswa pasti selalu diwajibkan diam sambil pura-pura mendengarkan segala omongan kepala sekolah yang tak penting itu.  Maka, selalu tercipta suasana hening saat kepala sekolah memberi sambutan.  Sekali lagi, bukan karena apa yang diomongkan kepala sekolah merupakan sesuatu yang penting dan sangat berguna.  Sama sekali bukan.  Omongan kepala sekolah masih seperti kaset rusak.  Mengulang kata-kata yang sudah dikatakan pada saat upacara hari Senin minggu kemarin dan kemarinnya lagi.  Tentunya ditambah dengan intonasi nenek-neneknya yang cempreng mirip panci ketendang kucing yang lari terbirit-birit sehabis berhasil mencuri sepotong ayam goreng.  Siswa diam lebih disebabkan takut pada guru olahraga yang berdiri di posisi paling belakang.  Siapa lagi kalau bukan Pak Iwan alias manusia push up itu.

Nah, pada saat suasana paling hening-heningnya itu, dari belakang terdengar jelas suara kentut.  Panjang dan cukup membahana.

“Duuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttttttttttttttt...!”

Segala muka pun menoleh ke belakang.  Dan di belakang seluruh siswa tak ada siapa pun kecuali Pak Iwan.  Mendadak sontak seluruh lapangan upacara bergetar dengan suara.  Suara yang jelas mencerminkan sebuah dendam yang sudah lama tak terbalaskan.  Dan tinggal Pak Iwan yang gelagapan.  Dengan wajah penuh kekalahan, beliau meninggalkan lapangan.  Dan itulah satu-satunya peristiwa yang membuat kami sering merasa rela jika kami harus nurut saat dihukum oleh Pak Iwan.  Karena kami sudah menertawakannya hingga panjang kali lebar sama dengan luas.

Sejak saat itu, Pak Iwan selalu tak suka dengan kata kentut.  Sejarah kelam yang terus dirawat dalam ingatannya.  Mungkin.

Galang pun menyadari sejarah gelap Pak Iwan dengan kentut.  Sehingga Galang berupaya menjelaskannya dengan memilih kata-kata lain yang lebih tak menyakitkan Pak Iwan.  Bagaimana pun juga, beliau ini adalah guru. 

“Begini, Pak.  Tadi ada suara pembuangan gas yang aneh dan menurut saya mengandung nuansa pemberontakan dari pelakunya.  Kami sebetulnya tak ingin dan tak pernah menertawai ken ..., eh, pembuangan gas tersebut.  Karena hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar.  Karunia Tuhan yang justru harus disyukuri.  Tapi, penggunaannya sebagai sarana pemberontakan, yang menurut saya dan teman-teman menjadi sangat kreatif dan inovatif.  Belum pernah ada dalam sejarah, terutama yang ditulis dalam buku sejarah, entah kalau sejarawan enggan menuliskan sejarah tentang hal ini, seseorang melakukan pembrontakan melalui ken..., eh maaf, pembuangan gas ini,” panjang lebar Galang menjelaskan.

Pak Iwan yang terkesan dengan bahasa Galang, tak sempat memotong penjelasan Galang.  Pak Iwan justru tertarik dengan penjelasan Galang yang lumayan ilmiah itu.  Karena, ini hanya ada dalam hati Pak Iwan, kata-kata Galang cukup mewakili dirinya saat dulu bermasalah dengan ken..., eh, pembuangan gas itu. 

Dulu juga Pak Iwan sebetulnya melakukan pembuangan gas sebagai wujud pemberontakan.  Sudah dua bulan Pak Iwan dilarang melakukan kegiatan renang.  Padahal, Pak Iwan sedang butuh uang untuk beli sepatu baru.  Dan setiap kali Pak Iwan ngotot ingin mengadakan kegiatan renang, ibu kepala sekolah juga ngotot melarang hal itu.  Saking jengkelnya, Pak Iwan melakukan pembrontakan dengan melakukan pembuangan gas pada saat kepala sekolah menyampaikan amanat.  Tadinya, hanya ingin meledek kepala sekolah kalau omongannya tak beda dengan suara dari jalan bawah, tapi tak disangka-sangka kalau suara kentutnya terlalu kencang dan bisa terdengar dari seantero lapangan.

“Masih boleh saya teruskan, Pak?” tanya Galang yang bingung dengan ekspresi puas dari wajah Pak Iwan.  Sebuah ekspresi yang baru sekali ini dijumpai.

“Teruskan!”

“Itulah yang membuat kami tertawa, Pak.”

“Ya sudah kamu duduk!” kata Pak Iwan.  Sebuah keputusan yang diiringi perasaan tak puas di wajah Fina.  Fina ingin sekali Pak Iwan menyiksa manusia dukun santet itu.  Sehingga keyakinannya akan angka empat bisa berubah.  Tapi malah tak diapa-apakan.  Bahkan wajah Pak Iwan malah mencerminkan sebuah sikap bangga mendengar penjelasan Galang.

“Siapa yang kentut!”

Fina langsung mengkerut.  Hati Fina kecut.  Petaka apa yang akan menimpa dirinya?  Villa yang kebetulan duduk satu meja betul-betul bisa merasakan ketakutan yang begitu mendalam.  Sorot mata Fina memancarkan perminta tolong agar Villa membelanya.  Sorot mata sedih dan seperti dipenuhi air mata yang hendak tumpah ruah.

“Tolongin aku, Vil,” sebuah permintaan tolong yang mampu Villa baca dari sorot mata kalah Fina.

“Bagaimana caranya?” tanya Villa yang tak tahu harus berbuat apa.

“Saya, Pak!” aku Fina sebelum Villa sempat menemukan jalan untuk menolong teman paling dekatnya itu.  Rupa-rupanya, sejarah telah mengajarkan pada Fina, bahwa kejujuran yang cepat disampaikan akan sedikit mengurangi hukuman yang mungkin akan dideritanya.  Sehingga dalam waktu secepat kilat, Fina mengakui perbuatannya.

“Maju kamu!”

Dengan langkah yang penuh beban, baik beban badan maupun beban fikiran, Fina maju.  Tapi, sebelum kakinya betul-betul sampai di depan kelas, badan gendutnya sudah tak mampu ditopang.  Fina limbung.  Kemudian jatuh pingsan.  Terus dua hari dirawat di rumah sakit.

Sejak saat itu, Fina sangat mempercayai angka tiga dan tak pernah menunggu angka empat muncul.  Menunggu kemunculan angka empat akan sama artinya dengan menunggu datangnya kesialan hidup.  Cukup sekali saja peristiwa angka empat itu muncul. 

Apakah Villa harus mempercayai omongan dukun santet Galang?  Villa tak ingin bernasib sial seperti Fina, tapi juga tak ingin percaya pada kata-kata Galang.  Villa bingung. 

Akhirnya, Villa mengambil hp-nya.  Membuka sms yang baru saja masuk.

“Sudahkah Anda melakukan sebuah kebaikan?”  tertulis dalam sebuah sms yang diterima Villa.  Villa membuka sms yang kedua dan ketiga.  Isinya sama persis.  Berarti hanya orang iseng belaka.  Mungkin juga dari teman satu kelasnya yang tak bisa tidur.  Mungkin dari Fina atau bahkan mungkin dari Galang. Tapi... kalau dari Fina tak mungkin.  Nomor Fina sudah ada dalam hp Villa.  Dari Galang?  Juga tak mungkin.  Galang tak pernah tahu nomor hp Villa.

“Nomor siapa ya?” batin Villa.

Ada rasa pengen iseng juga.  Maka Villa segera menulis.

“Emang kenapa?”

Trus Villa mencoba tidur lagi.

“Twing!”

Muncul jawaban.  Villa penasaran.

“Karena satu kebaikan akan menghilangkan segala bahaya yang akan menghampiri kita.”

“Emang kamu tahu dari mana?” tulis Villa.

“Buktikan saja, tak usah banyak tanya.”

“Emang kamu siapa?” tulis Villa lagi.

Tak ada jawaban.

“Emang kamu siapa sih? Sok tahu banget.” tulis Villa lagi.

Tapi tak ada jawaban.  Bahkan sampai setengah jam kemudian juga tak ada tanda-tanda akan ada jawaban.  Hingga Villa tertidur pulas kembali.  Pagi-pagi juga tak ada sms apa-apa.  Padahal, Villa ingin lebih tahu si pengirim sms iseng itu.

“Twing!”

Bunyi SMS di hp Villa saat sedang jajan di kantin.  Villa membuka hp-nya.  Tertulis kata-kata semalam.

“Sudahkan Anda melakukan sebuah kebaikan?”

“Emang kenapa?” tanya Villa.

“Karena satu kebaikan akan menghilangkan segala bahaya yang akan menghampiri kita.”

 “Kamu siapa sih?”

Tak ada jawaban.  Hingga bel masuk berbunyi.

“Ada apa, Vil?” tanya Fina yang melihat wajah Villa penuh misteri setelah menerima sms.

“Tak ada apa-apa, Fin,” jawab Villa.

“Tapi wajahmu beda?”

“Cuma sms iseng.”

“Coba lihat!”

Fina pun membaca dua kalimat yang sudah dua kali diterima Villa.

“Sudah dua kali kamu menerimanya?” tanya Fina penuh rasa penasaran sekaligus kekhawatiran.

“Iya.  Kenapa?”

“Jangan sampai kamu menerima yang keempat.  Malah lebih baik lagi kalau kamu sudah melakukan apa yang ada di sms itu sebelum muncul sms keempat,” kata Fina dengan nada memohon.  Fina tak ingin temannya mengalami nasib sial hanya karena mengabaikan angka tiga dan harus muncul angka empat.

“Terus aku harus bagimana, Fin?”

“Lakukan kebaikan!  Tak ada kata tawar-menawar lagi.  Cepatlah lakukan kebaikan.  Jangan sampai temanku yang baik hati ini tertimpa kesialan,” kata Fina.

“Segitunya, Fin.”

“Kalau kamu sial, siapa lagi yang bisa membagi makanan padaku ini?” kata Fina yang berakibat pada cubitan Villa.

“Ih, kamu Fin.  Cuma makanan saja yang kamu pikirin.  Lihat badanmu.  Kalau nambah lebar lagi, nanti Arif pindah ke lain hati lho?” ledek Villa.

“Jangan doain gitu dong, Vil,” rengek Fina yang sangat takut kalau sampai ditinggal Arif.

Sepulang sekolah Villa masih memikirkan sms itu.  Saking seriusnya memikirkan sms, Villa tak menyadari ada motor yang hendak berbelok.  Hampir saja Villa tersenggol.  Untung ada Fina yang langsung manarik tangan Villa.

“Jangan bengong!” kata Fina.

“Aku masih keingetan sms itu, Fin,” jawab Villa.

“Makanya, aku bilang juga apa?  Cepatlah lakukan satu kebaikan.  Misalnya saja membelikan pulsa untukku.  Kebetulan pulsaku sudah habis.  Dan uang pulsa dari bokap udah aku beliin kado buat Arif,” anjur Fina.

“Ah, kamu.  Bisa saja melihat peluang!”

Dengan terpaksa, Villa membelikan pulsa untuk sahabatnya itu. 

“Goceng aja ya?”

“Boleh.  Tapi menurut saya, nih Vil.  Sekali lagi menurut saya.  Kalau mau berbuat baik itu jangan tanggung-tanggung.  Jadi, membelikan pulsa dua puluh ribu itu lebih baik daripada hanya membelikan yang lima ribu rupiah.”

“Ih, maumu!”

Sebagai jalan kompromi, Villa membelikan pulsa yang sepuluh ribu.  Semoga satu kebaikan ini betul-betul akan menghindarkan dirinya dari segala macam mara bahaya.

“Twing!”

Lagi-lagi muncul sms.  Dan tepat pada saat Villa terbangun karena pengin pipis.  Villa cepat-cepat bangun.  Tentu bukan takut pada teror sms itu.  Villa tergopoh-gopoh ke kamar mandi karena desakan rasa pengin pipisnya lebih tak tertanggungkan daripada ketakutan Villa pada teror sms tersebut.

“Legaaaaa...!” ucap Villa setelah buang hajat.  Kenapa disebut buang hajat ya?  Pikir Villa.  Tapi pikiran itu segera ditendang keluar dari otak Villa.  Villa jelas tak ingin terbebani oleh utak atik bahasa seperti Pak Jamil, guru bahasa Indonesia yang lebih senang dengan gaya Betawinya itu.  Mentang-mentang orang Betawi, ngajarin bahasa Indonesia dengan logat Betawi yang tak mau dibuangnya.  Biarlah urusan bahasa Indonesia diurus sama dia.

Dan saat kembali ke kamar, Villa teringat pada sms itu.  Villa membuka hp.  Dan tertulis.

“Sudahkan Anda melakukan sebuah kebaikan?”

Buru-buru Villa menulis.

“Sudah!”

Villa dag dig dug menunggu jawaban.  Akankah ada jawaban?  Satu menit berjalan.  Tak ada jawaban.  Lima menit terlewati.  Tak juga muncul jawaban.  Sepuluh menit.  Juga belum.

Villa memutuskan untuk tidur kembali.  Mungkin tak akan ada jawaban.  Selesai.  Mungkin si pengirim sudah menganggapnya selesai.

“Twing!”

Tapi tak disangka-sangka.  Ada sms masuk.  Mata Villa yang nyaris terpejam pun mendadak sontak terbelalak.  Buru-buru Villa membuka sms yang barusan masuk.  Apakah jawabannya?

“Kamu udah ngerjain PR, Vil?”

Ah, sial!  Tak tahunya sms dari si gendut.  Mau-maunya dia kirim sms nanyain PR malam buta begini? 

“Sudah!” jawab Villa asal.

“Besok pagi-pagi aku pinjam, ya?” pertanyaan yang lebih tepat sebagai pemaksaan.

“Besok kan tak ada mata pelajaran matematika?”

“Bukan PR matematika?  Tapi PR IPS.”

Prakkkkkk...!  Bagaikan disambar bajaj.  Villa lupa.  Belum mengerjakan PR IPS.  Meringkas bab V, VI, VII, dan VIII.  Waduh!  Mati deh!  Belum satu huruf pun tertulis di buku IPS-nya.  Ah, memang aneh Bu Yati.  Bukulah suruh diringkas.  Tugas meringkas itu kan tugas anak malas belajar.  Masa anak rajin belajar juga mendapat tugas meringkas? 

Tapi... siapa yang berani melawan guru paling bawel sedunia itu.  Bisa-bisa kita diceramahi tiga hari tiga malam kalau sampai berani protes.  Itu  pun kalau kita protes dengan mengemukakan tiga kata.  Bagaimana kalau kita sampai memprotes perintahnya dengan satu kalimat?  Pasti selama dua tahun kita diceramahi tanpa henti.  Daripada diceramahi, maka kami pun selalu berusaha meringkas buku sebagaimana disabdakannya.

“Yaaaaah, belum, Fin.  Kenapa kamu tak bilang dari kemarin?” kata Villa gelagapan.  Villa memang murid kesayangan Bu Yati.  Selalu dipuji karena pekerjaannya selalu rapi.  Selalu menyelesaikan tugas pada saat yang tepat.  Villa tak ingin reoputasinya di hadapan Bu Yati runtuh.  Villa tak jadi tidur.  Mungkin masih ada waktu hingga fajar? Pikir Villa.

“Twing!”

“Pasti dari si gendut lagi.”

Dengan segala kemalasan yang tersisa, Villa membuka sms.

“Kebaikan yang datang dari hati.  Bukan kebaikan yang dipaksakan!”

“Emang kamu tahu?!!!!!!!!!!!!!!!!” kata Villa marah.  Sehingga Villa menaruh sebanyak mungkin tanda seru dalam sms-nya.

Tak ada jawaban.  Hingga azan subuh berkumandang dari musolah Miftahul Jannah.  Musolah yang tepat berada di depan rumahnya.  Untung, pada saat yang sama, PR IPS mampu diselesaikan Villa dengan sempurna.

“Dapet sms lagi, Vil?” tanya Fina sambil sibuk memindahkan PR IPS dari buku Villa.

“Iya.”

“Waduh...! Bahaya, Vil!” kata Fina sambil meloncat berdiri.

Villa yang tak menyangka aksi Fina langsung kaget.  Villa mengikuti gerakan loncat yang dilakukan Fina.  Untung tak membentur meja.

“Ada apa, Fin?”

“Berarti sms keempat?”

“Baru ketiga.”

“Tapi kamu kan sudah melakukan kebaikan?”

“Tak dihitung kebaikan rupanya.  Yang kemarin itu dihitungnya sebagai perampokan.”

“Lho kok?”

“Iya. Karena aku tak ikhlas.”

“Jadi...?”

“Dia menuntut kebaikan yang dilakukan secara ikhlas.”

“Kok dia tahu?”

“Entahlah.  Mungkin malaikat kaliii.”

“Masa malaikat pakai sms.  Emang malaikat punya HP?”

“Iya, sih.”

Hingga lima hari kemudian, tak ada satu pun sms datang.  Mungkin orang itu bosan.  Mungkin juga orang itu memang sedang memberi kesempatan kepada Villa untuk melakukan satu kebaikan.  Ya, hanya satu kebaikan.  Bukan kebaikan yang dipaksakan.  Tapi kebaikan yang tulus.

Villa memang tahu.  Tahu kalau dirinya memang belum pernah melakukan satu kebaikan yang tulus.  Villa lebih sering menuntut orang lain untuk melakukan apa yang dimauinya.  Jangan tanya pada Bibi.  Orang yang lebih sering dibentak Villa daripada dihargai karena telah banyak membantu Villa dalam seluruh hidupnya.  Bibi sudah ada di rumah Villa sebelum Villa lahir.  Selama ini, Bibi selalu menuruti apa pun yang dimaui Villa.  Bahkan sesuatu yang kadang tak masuk akal.

Mungkin permohonan maaf pada Bibi inilah yang dimaksud oleh sms itu.  Villa keluar kamar.  Tak ada tujuan lain kecuali menuju kamar Bibi di belakang.  Kamar itu tertutup rapat.  Villa berhenti tepat di depan pintu Bibi.  Ragu.  Tangannya seakan terpaku sebelum sampai mengetuk pintu yang lebih sering ditendangnya itu.

“Kok sepi?” kata hati Villa.

Villa pun berbalik.  Tapi pada saat bersamaan, pintu kamar Bibi berdecit.  Ada yang membuka pintu itu.  Villa berjingkat menuju ke balik kulkas.  Tak ada yang keluar.  Pintu itu hanya terbuka sedikit.

“Iya, iya....” ada suara bibi di kamarnya yang terdengar samar.

Sepertinya ia sedang berbicara dengan seseorang.  Entah siapa.  Mungkin.  Melalui HP-nya.

“Tapi saya kasihan,” terdengar lagi suara Bibi.  Kali ini disertai sebuah isak.  Bibi menangis.  Mungkinkah ada yang membuatnya sedih?  Atau mungkin dirinya yang telah membuatnya sedih?  Mungkin.  Mungkin sekali.

“Ya sudah, saya besok bilang sama majikan saya,” seperti ada yang memaksa Bibi untuk melakukan sesuatu.  Entah apa?  Villa mengurungkan niatnya.  Kembali ke kamar.

“Bibi besok mau pulang, Vil,” kata Bunda saat sarapan pagi tiba.

“Kenapa?” Villa pura-pura tak tahu apa-apa.

“Anak Bibi gagal ginjal.”

“Apa?”

“Gagal ginjal.  Dua ginjalnya sudah tak berfungsi.  Sehingga Bibi harus menungguinya.”

“Berarti Bibi tak ke sini lagi?”

Bunda mengangguk.  Villa tahu, Bunda sedih.  Bibi punya anak yang tak jauh beda umurnya dengan Villa.  Hanya beda dua tahun.  Sekarang anak Bibi ikut neneknya.  Setelah suaminya jatuh dari gedung bertingkat yang sedang dibangunnya, Bibi bekerja di rumah Villla.  Hingga sekarang.  Enam bulan sekali, bahkan kadang satu tahun sekali Bibi pulang kampung jika anaknya sudah datang ke Jakarta.

Ada mutiara-mutiara bening yang menumpuk di pelupuk mata Bunda.  Bunda memang sayang sekali pada Bibi.  Sudah beberapa kali, Bunda meminta Bibi untuk membawa anaknya ke Jakarta.  Tapi Bibi selalu menolaknya.  Mungkin Bibi lebih tahu tentang Villa.  Villa pasti akan lebih sering menyakiti Bibi kalau Bibi tak bisa menyediakan seluruh waktunya untuk dia. 

Villa diam.  Cukup lama.  Hanya matanya yang menerawang pada Bibi.  Kenapa Villa tak mau mengerti sedikit pun pada Bibi?

“Bunda, boleh usul, Bun?” kata Villa.

“Apa?”

“Boleh nggak kalau Villa berbagi ginjal dengan anak Bibi?”

“Maksud Villa?” tanya Bunda setengah kaget dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Villa ingin menyumbangkan salah satu ginjal Villa untuk anak Bibi.”

“Apaaaaa?” tanya Ayah yang juga tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Villa ingin menyumbangkan salah satu ginjal Villa untuk anak Bibi.” 

“Yakin?”

“Ayah dan Bundaku yang baik hati, Villa ingin menyumbangkan satu ginjal Villa untuk anak Bibi.”

Bunda langsung merangkul Villa.  Bunda tentu terkejut.  Masih ada kebaikan pada diri anaknya.  Bunda tak pernah memaksa.  Bundanya hanya kaget saja. 

“Bunda tak melarang jika itu datang dari nuranimu.”

“Ayah?”

“Ayah yang selalu mengajari kebaikan.  Masa Ayah melarang anaknya berbuat kebaikan?” jawab Ayah Villa.

“Tapi kamu sudah pikirkan betul, Vil?”

“Sudah, Bunda.  Beribu-ribu kali.  Dan ini sudah menjadi keputusan Villa.”

Bibi tak bisa menolak lagi.  Jannah, anak Bibi pun akhirnya diajak ke Jakarta.  Menunggu operasi dilakukan.  Hingga akhirnya kejadian itu benar-benar tak diduga.

Siang.  Villa baru pulang sekolah.  Beberapa orang datang.  Mendobrak pintu depan.  Masuk ke rumah.  Golok tajam mereka acungkan.  Ke Villa yang masih memakai baju sekolahnya.

“Diaaaaaamm!”

Villa tak bisa berbuat apa-apa.  Mendadak pula Jannah  datang.  Dengan golok ia menyerang perampok yang berjumlah tiga orang itu.  Gerakan mendadak Jannah mengagetkan para perampok.  Salah satu perampok terkena sabetan golok Jannah.  Terluka.  Kemudian membalas dengan satu sabetan yang langsung merobohkan Jannah.

Melihat Jannah roboh, Bibi langsung berteriak histeris.  Perampok pun kalang kabut.  Langsung melarikan diri sebelum tetangga datang.

Jannah tak bisa diselamatkan.  Jannah meninggal saat sampai di rumah sakit.  Villa menangis sedih.  Baru kali ini, Villa menangis sedih.  Jannah telah menyelamatkan Villa dengan satu-satunya harta paling berharga miliknya.  Nyawa.

Sejak saat itu, Villa percaya pada teror sms.  Satu kebaikan yang tulus akan selalu menghindarkan si pelaku kebaikan dari mara bahaya.  Seandainya Villa tak bersedia menyumbangkan ginjalnya dengan tulus, mungkin Jannah tak akan ke rumahnya,  Bibi juga akan pulang, sehingga Villa di rumah sendirian.  Bisa kalian semua bayangkan, apa yang terjadi jika pada saat perampokan itu terjadi, Villa di rumah hanya sendirian.

Villa tak peduli lagi pada rasa penasaran akan si pengirim sms.  Hingga kini, Villa berbuat kebaikan karena ketulusan bukan karena teror sms itu.  Kita doakan saja, semoga bisa menjadi jalan hidup Villa untuk selamanya.  Amiiin....!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun