Sepertinya ia sedang berbicara dengan seseorang. Entah siapa. Mungkin. Melalui HP-nya.
“Tapi saya kasihan,” terdengar lagi suara Bibi. Kali ini disertai sebuah isak. Bibi menangis. Mungkinkah ada yang membuatnya sedih? Atau mungkin dirinya yang telah membuatnya sedih? Mungkin. Mungkin sekali.
“Ya sudah, saya besok bilang sama majikan saya,” seperti ada yang memaksa Bibi untuk melakukan sesuatu. Entah apa? Villa mengurungkan niatnya. Kembali ke kamar.
“Bibi besok mau pulang, Vil,” kata Bunda saat sarapan pagi tiba.
“Kenapa?” Villa pura-pura tak tahu apa-apa.
“Anak Bibi gagal ginjal.”
“Apa?”
“Gagal ginjal. Dua ginjalnya sudah tak berfungsi. Sehingga Bibi harus menungguinya.”
“Berarti Bibi tak ke sini lagi?”
Bunda mengangguk. Villa tahu, Bunda sedih. Bibi punya anak yang tak jauh beda umurnya dengan Villa. Hanya beda dua tahun. Sekarang anak Bibi ikut neneknya. Setelah suaminya jatuh dari gedung bertingkat yang sedang dibangunnya, Bibi bekerja di rumah Villla. Hingga sekarang. Enam bulan sekali, bahkan kadang satu tahun sekali Bibi pulang kampung jika anaknya sudah datang ke Jakarta.
Ada mutiara-mutiara bening yang menumpuk di pelupuk mata Bunda. Bunda memang sayang sekali pada Bibi. Sudah beberapa kali, Bunda meminta Bibi untuk membawa anaknya ke Jakarta. Tapi Bibi selalu menolaknya. Mungkin Bibi lebih tahu tentang Villa. Villa pasti akan lebih sering menyakiti Bibi kalau Bibi tak bisa menyediakan seluruh waktunya untuk dia.