“Buang itu gitar! Atau...” hardik Pak Wirman.
Untung ada Pak Badrudin. Lagi-lagi Pak Badrudin inilah yang menyelamatkan Mudofar. Setelah dijelaskan Pak Badrudin sebagai guru agama, barulah Pak Wirman mau memmahami. Atau lebih tepatnya terpaksa memahami. Soalnya, muka Pak Wirman masih bersungut-sungut. Masih ada sisa-sisa kemarahannya.
“Teruskan ide kamu, Far. Saya setuju dengan apa yang kamu lakukan. Agama tak perlu dianggap menjadi sesuatu yang menakutkan. Agama justru harusnya menjadi tempat yang menyenangkan. Kalau kamu anggap dengan gitar di musola itu membuat anak-anak mau datang ke musola, ya teruskan saja, ya,” kata Pak Badrudin.
“Ya, Pak.”
Tapi sayang. Anak-anak ada yang nakal juga. Imron, anak kelas sembilan satu ternyata merokok di musola. Lebih parahnya lagi. Pas saat Imron merokok, pas pula Pak Wirman melihatnya. Maka senjata baru pasti akan dipergunakan oleh Pak Wirman.
Mudofar hanya pasrah saat mendapat berita Imron merokok di musola sekolah dan ditangkap langsung oleh pak Wirman. Paling-paling dia akan dipecat sebagai ketua Rohis.
Dan betul. Salman yang menyampaikan kalau ketua Rohis sekarang adalah dirinya. Mudofar pun menyingkir. Tak ingin, Mudofar berselisih dengan Salman.
Mudofar pun seperti biasa lagi. Hari-harinya dipergunakan untuk membaca buku di perpustakaan. Tiada hari tanpa perpustakaan.
***
Mudofar masih selalu ke musola. Terutama saat salat Zuhur tiba. Tapi sudah berbeda lagi. Musola sekarang sepi lagi. Tak ada anak-anak yang sekadar duduk di musola. Hanya Mudofar sendiri yang salat. Salman pun sepertinya sudah enggan datang ke musola.
“Salat, Far,” tanya Pak Badrudin yang hendak salat juga.