“Iya, Pak.”
“Sekarang tak ada lagi yang salat, Far.”
Ada kekecewaan yang menggelayut bersama kata-kata Pak Badrudin. Mungkin, ia kecewa pada siswanya yang tak mau ke musola. Pada Tuhannya. Bagaimana bisa menjadi baik, kalau sama Tuhan saja lupa?
“Iya, Pak. Saya juga sedih.”
“Saya sudah protes sama Pak Wirman. Ini semua karena kamu tidak aktif lagi di sini. Lihat, musola kita sudah jadi gudang lagi. Debu di mana-mana. Sepertinya kita tak mengenal arti kebersihan. Padahal saya sendiri selalu mengajarkan arti kebersihan bagi keimanan seseorang,” kata Pak Badrudin. Orang yang selalu membela gagasan Mudofar.
“Iya, Pak.”
“Kamu masih mau untuk mengelola musola kan, Far?” tanya Pak Badrudin.
“Insya Allah, Pak. Tapi permintaan saya, ya itu Pak, beri kebebasan saya untuk memajukan musola, Pak,” pinta Mudofar.
“Oke deh.”
***
Mudofar pun mulai kembali mengumpulkan ide untuk meramaikan musola yang pernah ramai tapi sekarang sepi. Mudofar memanggil teman-temannya yang masih mau datang ke musola untuk mencari cara agar musola sekolah dapat memiliki manfaat.