Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Rahasia

11 Juli 2015   07:05 Diperbarui: 11 Juli 2015   07:05 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Matahari seperti enggan untuk membuka mata.  Sinarnya hanya temaram.  Padahal tengah hari “bolong”.  Jam satu siang.  Biasanya kalau jam segitu, matahari sedang terik-teriknya. 

Cuaca saat ini memang sulit ditebak.  Kata Bu Indah, guru IPA di sekolah Mudofar,  memang iklim saat ini sedang kacau.  Gara-garanya juga ulah manusia.  Yang tak penah sadar akan akibat perbuatannya.  Hutan di banyak tempat sudah gundul.  Plontos seperti kepala Markus Horison si penjaga gawang Tim Sepakbola Nasional.

Sehabis salat Zuhur,  Mudofar tidak langsung pulang.  Seperti hari-hari biasanya.  Mudofar ingin membersihkan sampah dedaunan yang bertebaran di pelataran mushola sekolah.  Musola yang sekarang menjadi tanggung jawabnya.

Memang ada perbedaan.  Musola sekolah yang dulu lebih mirip gudang, sekarang sudah terlihat rapi dan bersih.  Setiap pagi, Mudofar berusaha untuk datang lebih pagi dari teman-temannya.  Tujuannya hanya satu, mengepel rumah Tuhan.

“Kalau rumah Tuhan kumuh, yang ada justru setan,” kata Mudofar suatu hari.

Tak apa kalau tak ada siswa yang salat di musola itu.  Mungkin juga karena musola tak pernah bersih sehingga banyak yang enggan ke musola.  Maka sekarang tugas Mudofar yang utama adalah membersihkan musola terlebih dahulu.

“Begitu dong, kalau menjadi ketua Rohis,” kata Bapak Badrudin, guru agama di sekolah Mudofar.

Mudofar hanya tersenyum.

“Tapi sayang, yang salat belum ada, Far,” lanjut Pak Badrudin.

Kata-kata Pak Badrudin betul-betul menusuk hati Mudofar.  Musola yang sudah bersih dan selalu dibersihkannya, belum mampu menarik teman-teman Mudofar untuk mampir ke musola yang memang tempatnya di pojok sekolah.  Mudofar berjanji, berjanji dalam hati, kalau dirinya akan berusaha, berusaha sekuat tenaga untuk membuat musola ramai.

Tentunya bukan ramai saja.  Tapi ramai oleh anak-anak yang salat.  Ramai oleh anak-anak yang mengkaji agama.  Mudofar memang prihatin.  Prihatin pada teman-temannya yang lebih suka nongkrong berlama-lama di warnet.  Sampai-sampai lupa waktu.  Magrib baru pulang ke rumah.

“Aku pasti bisa!” Mudofar menguatkan hati.

Sedang asik-asiknya menyapu, ada panggilan Salman.  Sepertinya ada yang penting sekali.  Soalnya, Salman terburu-buru.

 “Far,  Mudofar!” panggil Salman.

“Ada apa, Man?” tanya Mudofar sambil terus menyelesaikan pekerjaan menyapunya yang tinggal sedikit.

“Dipanggil Pak Wirman!” tambah Salman.

“Apa?” tanya Mudofar setengah tak percaya.  Baru kali ini dipanggil Pak Wirman sejak peristiwa dua bulan yang lalu.

“Dipanggil Pak Wirman!” seru Salman tepat di kupingnya.

“Ada apa?” tanya Mudofar.

“Meneketehe.  Cepat sana!  Kelihatannya dia sedang marah besar!  Hati-hati saja,” pesan Salman.

Pak Wirman, guru pembina OSIS ini pernah marah.  Tepatnya dua bulan yang lalu.  Bukan sembarang marah.  Pak Wirman sepertinya marah sekali dengan Mudofar.  Bahkan sampai diusulkan agar Mudofar dipecat dari jabatannya sebagai ketua Rohis kepada Pak Badrudin.  Untung Pak Badrudin,  sebagai guru agama membela Mudofar.  Dan tetap mempertahankan Mudofar sebagai ketua Rohis di SMP Putera Bangsa.

Peristiwa itu memang sudah lama.  Kejadiannya memang dua bulan yang lalu.  Tapi kejadian itu betul-betul membuat sok Mudofar.  Mudofar masih ingat persis penyebabnya.  Penyebab semua itu adalah saat Mudofar membeli majalah cerita remaja.  Dan majalah itu dijadikan penghuni perpustakaan musola dan diletakkan di Musola sekolah.  Sesuatu yang sebelumnya tak pernah dilakukan oleh siapa pun.

“Kenapa kamu taruh majalah begituan di musola sekolah, Far?” tanya Pak Wirman sambil menahan amarah.  Matanya melotot seakan hendak meloncat.  Suaranya keras.

“Untuk dibaca, Pak!” jawab Mudofar sambil terus mencoba mengusir rasa takutnya .

“Kenapa bukan kamu beli al-Quran.  Malah beli majalah.  Emangnya musola tempat baca majalah!” kata Pak Wirman yang tak tahu alur pikiran Mudofar.  Setahu Pak Wirman, musola itu hanya tempat membaca al-Quran, bukan tempat membaca majalah  cerpen atau majalah remaja lainnya.

“Anak-anak tak ada yang mau baca al-Quran, Pak!” Modofar berusaha meyakinkan.  Walaupun kemungkinan akan berhasil hanya satu persen saja.  Tak apalah, yang penting sudah berusaha.

“Kamu yang ajari dong!  Bukan malah mengajak anak-anak membaca majalah!” gelegar suara Pak Wirman betul-betul menciutkan nyali Mudofar untuk terus mempertahankan pendapatnya.

“Tapi, Pak!”  sisa-sisa keberanian Mudofar masih ada.

“Tak usah pakai tapi-tapi.  Bereskan majalah, dan buang jauh-jauh dari musola sekolah! Titik!!!” Pak Wirman langsung balik kanan.  Meninggalkan Mudofar yang tepekur sendirian.  Menahan tangis yang hendak membuncah keluar dari sela-sela matanya.

Mudofar sedih.  Sedih sekali.  Saat mendengar hardikan dari Pak Wirman.  Sebetulnya bukan, bukan karena hardikannya itu, tapi karena Mudofar tak diberi kesempatan untuk menjelaskan maksud dari apa yang dilakukannya.  Mudofar membeli majalah-majalah itu dan menaruhnya di perpustakaan musola sekolah justru untuk menarik teman-temannya duduk di musola.  Paling tidak mereka mau duduk di musola.  Mau duduk, saja.  Tak perlu salat. Tak.  Harapan Mudofar.  Kalau mereka sudah mau duduk di musola, maka lama kelamaan akan mau solat juga.  Daripada musola selalu sepi.  Seperti kuburan saja.

Dan ternyata benar.  Sejak adanya majalah-majalah remaja di musola, musola menjadi kebanjiran peminat.  Selalu penuh pada saat istirahat.  Apalagi pulang sekolah.  Banyak yang sampai jam tiga duduk di musola hanya untuk menyelesaikan cerpen yang belum sempat diselesaikan membacanya di waktu istirahat tadi.

Memang belum semua yang duduk-duduk di musola solat.  Tapi sekali lagi, tak apalah mereka hanya duduk dan membaca majalah di musola.  Daripada sama sekali tak pernah menginjakkan kakinya di musola.  Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.  Bagaimana mereka mau salat, kalau datang ke musola saja tak tahu arahnya?

Dari duduk-duduk itulah diharapkan mereka mau salat.  Mereka pasti malu kalau duduk di musola dan ada orang lain salat kok dia belum salat.

Contohnya Rino.  Dia mulai mau salat Zuhur.  Dia mungkin malu kalau baca majalah, terus ada yang jamaah.  Pasti dia akan ikut salat jamaah juga.

“Bagaimana, Far?” tanya Pak Badrudin saat melihat wajah murung Mudofar waktu itu.  Pak Badrudin belum tahu kalau Mudofar baru dimarahi Pak Wirman sebagai guru pembina OSIS gara-gara membeli majalah remaja untuk perpustakaan musola.

“Kenapa, Pak?” Mudofar balik bertanya karena tadi sedang melamun.

“Sekarang sepertinya banyak yang datang ke musola?”

“Hanya duduk-duduk, Pak.”

“Tak apalah,” kata Pak Badrudin.  Manusia penuh senyum itu.  Kalau ada Pak Badrudin, hati Mudofar seakan disiram es.  Padahal hari sedang terik.  Begitu nyaman.  Begitu menyejukkan.  Pantaslah kalau Pak Badrudin mengajar agama.  Karena dia juga tidak fanatik seperti Pak Wirman.

“Agama itu untuk menyejukkan.  Untuk menyejahterakan.  Untuk menjadikan manusia semakin manusiawi.  Contohnya, banyaklah tersenyum.  Dan jangan marah-marah, “ kata-kata Pak Badrudin yang selalu diingat Mudofar. 

Karena itulah, Mudofar senang sekali waktu Pak Badrudin memintanya untuk menjadi ketua Rohis di sekolahnya.  Dengan menjadi ketua Rohis, Mudofar bisa lebih memahami agamanya juga menimba ilmu dari Pak Senyum, Pak Badrudin itu.

Mudofar bingung. 

Akankah ia ceritakan apa yang telah diperintahkan Pak Wirman?  Karena tak tahu apa yang harus dilakukannya, Mudofar pun bercerita tentang larangan Pak Wirman terhadap majalah di musola.

“Sabar saja, Far,  biar Bapak yang akan menjelaskan kepada Pak Wirman,” kata Pak Wirman sambil membelai rambut Mudofar.

“Baiklah,” hati Mudofar lega.  Hari berikutnya Pak Badrudin memanggil dan mengatakan kepada Mudofar kalau majalah yang ada di musola tak perlu dikemasi.  Biar saja.  Pak Wirman sudah memahaminya.

Tapi sejak itu, Pak Wirman tak pernah memanggil Mudofar.  Atau mengajak kumpul-kumpul sebagai anggota OSIS.  Salman yang sering ditunjuk sendiri oleh Pak Wirman sebagai pengurus Rohis.  Tak apalah.

Sekarang Pak Wirman memanggil lagi.  Pasti ada yang mengganjal di hati Pak Wirman lagi.

“Kamu ini apa-apaan sih, Far!” baru sampai di hadapan Pak Wirman, Mudofar langsung mendapat suguhan kemarahan.

“Kenapa, Pak?” dengan kaki yang gemetar, Mudofar masih mencoba memahami kata-kata Pak Wirman.

“Katanya di musola kamu sediakan gitar segala!  Tiap siang genjrang genjreng di musola.  Masa iya, sih, musola dijadikan tempat main gitar?!”

“Memangnya salah, Pak?”

“Ya iyalah!  Musola itu tempat salat, bukan tempat main gitar dan bernyanyi-nyanyi.  Masjid dan musola itu tempat untuk mengaji!” suaranya penuh dengan beban kemarahan.  Mudofar tidak tahu, kenapa Pak Wirman ini lebih sering marah daripada senyum.  Pak Wirman juga selalu kaku dalam memaknai agamanya. 

Tidak seperti Pak Badrudin.  Betul-betul berkebalikan dua orang ini.  Yang satu begitu menyukai kemarahan, yang satunya lagi begitu santun, begitu menyejukkan.  Yang satu seperti matahari.  Yang membakar dan penuh gejolak.  Yang satu bagai bulan purnama.  Menyejukkan dan penuh keindahan.

“Tempat mengaji memang betul, Pak.  Sekarang sudah bertambah anak yang mengaji.  Tapi kalau mereka ingin bernyanyi, kan tak apa-apa juga Pak,” Mudofar sepertinya tak mau kalau harus menurut begitu saja kata-kata Pak Wirman.  Mudofar tak menginginkan agama yang kaku.  Mudofar menginginkan agama yang seperti purnama.

Mudofar merindukan Pak Badrudin.  Merindukan purnama.

“Buang itu gitar! Atau...” hardik Pak Wirman.

Untung ada Pak Badrudin.  Lagi-lagi Pak Badrudin inilah yang menyelamatkan Mudofar.  Setelah dijelaskan Pak Badrudin sebagai guru agama, barulah Pak Wirman mau memmahami.  Atau lebih tepatnya terpaksa memahami.  Soalnya, muka Pak Wirman masih bersungut-sungut.  Masih ada sisa-sisa kemarahannya.

“Teruskan ide kamu, Far.  Saya setuju dengan apa yang kamu lakukan.  Agama tak perlu dianggap menjadi sesuatu yang menakutkan.  Agama justru harusnya menjadi tempat yang menyenangkan.  Kalau kamu anggap dengan gitar di musola itu membuat anak-anak mau datang ke musola, ya teruskan saja, ya,” kata Pak Badrudin.

“Ya, Pak.”

Tapi sayang.  Anak-anak ada yang nakal juga.  Imron, anak kelas sembilan satu ternyata merokok di musola.  Lebih parahnya lagi.  Pas saat Imron merokok, pas pula Pak Wirman melihatnya.  Maka senjata baru pasti akan dipergunakan oleh Pak Wirman.

Mudofar hanya pasrah saat mendapat berita Imron merokok di musola sekolah dan ditangkap langsung oleh pak Wirman.  Paling-paling dia akan dipecat sebagai ketua Rohis.

Dan betul.  Salman yang menyampaikan kalau ketua Rohis sekarang adalah dirinya.  Mudofar pun menyingkir.  Tak ingin,  Mudofar berselisih dengan Salman.

Mudofar pun seperti biasa lagi.  Hari-harinya dipergunakan untuk membaca buku di perpustakaan.  Tiada hari tanpa perpustakaan.

***

Mudofar masih selalu ke musola.  Terutama saat salat Zuhur tiba.  Tapi sudah berbeda lagi.  Musola sekarang sepi lagi.  Tak ada anak-anak yang sekadar duduk di musola.  Hanya Mudofar sendiri yang salat.  Salman pun sepertinya sudah enggan datang ke musola.

“Salat, Far,” tanya Pak Badrudin yang hendak salat juga.

“Iya, Pak.”

“Sekarang tak ada lagi yang salat, Far.”

Ada kekecewaan yang menggelayut bersama kata-kata Pak Badrudin.  Mungkin, ia kecewa pada siswanya yang tak mau ke musola.  Pada Tuhannya.  Bagaimana bisa menjadi baik, kalau sama Tuhan saja lupa?

“Iya, Pak.  Saya juga sedih.”

“Saya sudah protes sama Pak Wirman.  Ini semua karena kamu tidak aktif lagi di sini.  Lihat, musola kita sudah jadi gudang lagi.  Debu di mana-mana.  Sepertinya kita tak mengenal arti kebersihan.  Padahal saya sendiri selalu mengajarkan arti kebersihan bagi keimanan seseorang,” kata Pak Badrudin.  Orang yang selalu membela gagasan Mudofar.

“Iya, Pak.”

“Kamu masih mau untuk mengelola musola kan, Far?” tanya Pak Badrudin.

“Insya Allah, Pak.  Tapi permintaan saya, ya itu Pak, beri kebebasan saya untuk memajukan musola, Pak,” pinta Mudofar.

“Oke deh.”

***

Mudofar pun mulai kembali mengumpulkan ide untuk meramaikan musola yang pernah ramai tapi sekarang sepi.  Mudofar memanggil teman-temannya yang masih mau datang ke musola untuk mencari cara agar musola sekolah dapat memiliki manfaat.

“Bagaimana kalau kita putar Film?”  usul Ramli.

“Ah, tidak setuju.  Nanti malah jadi kacau,” bantah Fahmi.

“Bagaimana kalau musola kita jadikan untuk tempat bisnis?” usul Rida.

“Apa?  Bisnis?” tanya Mudofar yang cukup tertarik pada usul Rida.

“Iya.  Bisnis! “ Rida pun bertambah semangat saat usulnya ditanggapi Mudofar.

“Memangnya boleh?” Fahmi yang selalu hati-hati mencoba mempertanyakan.

“Kalau niatnya baik, pasti disiapkan pahala untuk kita,” jawab Rida.

“Bukan hanya pahala, kita juga bisa membantu teman-teman kita yang kurang mampu,” tambah Mudofar.

“Ini baru ide yang bagus.”

“Mari kita mulai.”

“Modalnya?” tanya Fahmi.

“Minjam Bank,” jawab Ramli.

“Bank Mbahmu?”  Rida juga tidak setuju.

“Terus?” Ramli yang giliran bertanya.

“Bagaimana kalau kita sisihkan dari uang jajan kita?” usul Rida.

“Lama.”

“Yang penting kita mulai,” kata Rida dengan semangat membara.  Inilah yang disukai Mudofar dari Rida.  Semangat.  Rida selalu semangat.  Juga memberi semangat pada yang lain.

Mulailah bisnis itu. 

Di samping musola dibuat sebagai tempat untuk menjual alat-alat tulis.  Alat tulis yang bentuknya lucu-lucu.  Kebetulan Tante Rida jualan alat-alat tulis seperti itu.  Rida bisa mengambil dulu, bayarnya kemudian, kalau sudah laku.  Untungnya lumayan juga.

“Bagus juga ide kamu, Far,” puji Pak Badrudin seperti biasa dengan senyum khasnya.

“Iya, Pak.  Karena dukungan Bapak juga,” jawab Mudofar.

Musola juga ramai lagi.  Ada senyum yang terus merekah.  Di bibir Mudofar.  Melihat musolanya banyak yang mendatangi.

***

Pagi masih begitu segar.  Matahari baru separuh.  Sinarnya menghangatkan.  Mudofar baru sampai di musola, hendak menyepu dan mengepel lantai musola.   Tiba-tiba Rida datang dengan mata berbinar.

“Ada apa, Rid?” tanya Mudofar penuh penasaran.

“Pak Wirman dipindah, Far.  Syukur deh.  Jadi kegiatan musola tak dihalang-halangi lagi.  Selama ini kan Pak Wirman yang selalu jadi halangan.  Kalau beliau sudah dipindah, kita bisa lebih bebas,” jawab Rida sambil tertawa.

“Kenapa dengan Pak Wirman?” tanya Mudofar dengan nada sedih yang begitu mendalam.

Tak ada.  Tak ada yang tahu.  Kecuali Mudofar.  Sendiri.  Tentunya hanya berdua dengan Pak Wirman.  Suatu siang.  Pak Wirman datang.  Ke musola sekolah.  Lalu memanggil Mudofar.  Agar ke ruang OSIS.  Ya, Pak Wirman sendiri yang memanggil Mudofar.  Bukan orang lain.  Pasti ada sesuatu yang penting.  Yang tak boleh orang lain tahu.  Kecuali berdua, Pak Wirman dan Mudofar saja.

Sekolah memang sudah sepi.  Di ruang OSIS juga tak ada siapa-siapa.

“Duduk, Far,” kata Pak Wirman dengan suara lembut.

Tumben juga.  Biasanya Pak Wirman bersuara keras.  Apalagi kalau sudah membentak.  Pasti akan terdengar seperti gelegar.  Tapi sekarang lain.  Lain sekali.  Suaranya terasa begitu lembut.  Sejuk.

“Terima kasih, Pak,” jawab Mudofar.

“Begini, Far.  Saya mau minta maaf sama kamu.  Selama ini saya banyak menentang usaha kamu untuk membuat musola sekolah banyak dikunjungi anak-anak.  Ternyata saya salah,” ada perasaan yang berat dan tertahan di dalam suara Pak Wirman.  Seperti sebuah penyesalan.

“Tidak apa-apa, Pak,” kata Mudofar.

“Saya dengar, kamu mau jualan di musola, ya? “ tanya Pak Wirman.

Mudofar agak takut juga.  Jangan-jangan, gagasan teman-temannya untuk bisnis di musola akan ditentang oleh Pak Wirman.  Hati Mudofar ketar-ketir juga.

“Iya, Pak,” jawab Mudofar agak pelan.

“Saya ingin membantunya.  Ini uang saya sendiri.  Bukan dari OSIS.  Tapi tolong jangan bilang siapa-siapa.  Anggaplah ini sebagai penebus kesalahan saya selama ini.  Tak seberapa,” kata Pak Wirman sambil mengeluarkan uang dari dompetnya.

Ternyata baik juga Pak Wirman ini.  Tak disangka-sangka. 

“Terima kasih, Pak,” kata Mudofar sambil etrus mengucap syukur dalam hati.

“Kebetulan saya juga punya gitar, tuh.  Bukan gitar baru sih.  Tapi masih bisa dimanfaatkan.  Kamu bawa ke musola aja ya, Far,” kata-kata Pak Wirman betul-betul mengeutkan hatinya.

“Terima kasih, Pak,” kata Mudofar.

Dan yang tahu itu semua hanya Mudofar dan Pak Wirman.  Teman-teman Mudofar tak ada yang tahu.  Dan Pak Wirman sendiri yang menyuruh Mudofar untuk tak bercerita tentang kejadian ini.

“Hai..! kok malah bengong!” bentak Rida.

“Ada apa, Rid?  Kok ramai-ramai?” tanya Fahmi yang baru datang.

“Kita mesti bersyukur, Mi.  Pak Wirman dipindah,” kata Rida dengan penuh semangat.

“Alhamdulillah,” kata Fahmi.

Mudofar serba salah.  Antara ingin bercerita dan tidak bercerita.  Mudofar hanya bisa sedih.

“Kenapa kamu malah sedih, Far?  Harusnya kamu kan senang dengan berita ini,” kata Fahmi.

Tak.  Mudofar tak ingin menceritakan rahasia ini.  Biar dia pendam sendiri.  Mudofar ingin memenuhi janjinya pada Pak Wirman.  Beliau tak menginginkan ada yang tahu peristiwa itu.  Ya, biarlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun