Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Rahasia

11 Juli 2015   07:05 Diperbarui: 11 Juli 2015   07:05 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Kenapa kamu taruh majalah begituan di musola sekolah, Far?” tanya Pak Wirman sambil menahan amarah.  Matanya melotot seakan hendak meloncat.  Suaranya keras.

“Untuk dibaca, Pak!” jawab Mudofar sambil terus mencoba mengusir rasa takutnya .

“Kenapa bukan kamu beli al-Quran.  Malah beli majalah.  Emangnya musola tempat baca majalah!” kata Pak Wirman yang tak tahu alur pikiran Mudofar.  Setahu Pak Wirman, musola itu hanya tempat membaca al-Quran, bukan tempat membaca majalah  cerpen atau majalah remaja lainnya.

“Anak-anak tak ada yang mau baca al-Quran, Pak!” Modofar berusaha meyakinkan.  Walaupun kemungkinan akan berhasil hanya satu persen saja.  Tak apalah, yang penting sudah berusaha.

“Kamu yang ajari dong!  Bukan malah mengajak anak-anak membaca majalah!” gelegar suara Pak Wirman betul-betul menciutkan nyali Mudofar untuk terus mempertahankan pendapatnya.

“Tapi, Pak!”  sisa-sisa keberanian Mudofar masih ada.

“Tak usah pakai tapi-tapi.  Bereskan majalah, dan buang jauh-jauh dari musola sekolah! Titik!!!” Pak Wirman langsung balik kanan.  Meninggalkan Mudofar yang tepekur sendirian.  Menahan tangis yang hendak membuncah keluar dari sela-sela matanya.

Mudofar sedih.  Sedih sekali.  Saat mendengar hardikan dari Pak Wirman.  Sebetulnya bukan, bukan karena hardikannya itu, tapi karena Mudofar tak diberi kesempatan untuk menjelaskan maksud dari apa yang dilakukannya.  Mudofar membeli majalah-majalah itu dan menaruhnya di perpustakaan musola sekolah justru untuk menarik teman-temannya duduk di musola.  Paling tidak mereka mau duduk di musola.  Mau duduk, saja.  Tak perlu salat. Tak.  Harapan Mudofar.  Kalau mereka sudah mau duduk di musola, maka lama kelamaan akan mau solat juga.  Daripada musola selalu sepi.  Seperti kuburan saja.

Dan ternyata benar.  Sejak adanya majalah-majalah remaja di musola, musola menjadi kebanjiran peminat.  Selalu penuh pada saat istirahat.  Apalagi pulang sekolah.  Banyak yang sampai jam tiga duduk di musola hanya untuk menyelesaikan cerpen yang belum sempat diselesaikan membacanya di waktu istirahat tadi.

Memang belum semua yang duduk-duduk di musola solat.  Tapi sekali lagi, tak apalah mereka hanya duduk dan membaca majalah di musola.  Daripada sama sekali tak pernah menginjakkan kakinya di musola.  Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.  Bagaimana mereka mau salat, kalau datang ke musola saja tak tahu arahnya?

Dari duduk-duduk itulah diharapkan mereka mau salat.  Mereka pasti malu kalau duduk di musola dan ada orang lain salat kok dia belum salat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun