***
Pagi masih begitu segar. Matahari baru separuh. Sinarnya menghangatkan. Mudofar baru sampai di musola, hendak menyepu dan mengepel lantai musola. Tiba-tiba Rida datang dengan mata berbinar.
“Ada apa, Rid?” tanya Mudofar penuh penasaran.
“Pak Wirman dipindah, Far. Syukur deh. Jadi kegiatan musola tak dihalang-halangi lagi. Selama ini kan Pak Wirman yang selalu jadi halangan. Kalau beliau sudah dipindah, kita bisa lebih bebas,” jawab Rida sambil tertawa.
“Kenapa dengan Pak Wirman?” tanya Mudofar dengan nada sedih yang begitu mendalam.
Tak ada. Tak ada yang tahu. Kecuali Mudofar. Sendiri. Tentunya hanya berdua dengan Pak Wirman. Suatu siang. Pak Wirman datang. Ke musola sekolah. Lalu memanggil Mudofar. Agar ke ruang OSIS. Ya, Pak Wirman sendiri yang memanggil Mudofar. Bukan orang lain. Pasti ada sesuatu yang penting. Yang tak boleh orang lain tahu. Kecuali berdua, Pak Wirman dan Mudofar saja.
Sekolah memang sudah sepi. Di ruang OSIS juga tak ada siapa-siapa.
“Duduk, Far,” kata Pak Wirman dengan suara lembut.
Tumben juga. Biasanya Pak Wirman bersuara keras. Apalagi kalau sudah membentak. Pasti akan terdengar seperti gelegar. Tapi sekarang lain. Lain sekali. Suaranya terasa begitu lembut. Sejuk.
“Terima kasih, Pak,” jawab Mudofar.
“Begini, Far. Saya mau minta maaf sama kamu. Selama ini saya banyak menentang usaha kamu untuk membuat musola sekolah banyak dikunjungi anak-anak. Ternyata saya salah,” ada perasaan yang berat dan tertahan di dalam suara Pak Wirman. Seperti sebuah penyesalan.