Gusti tergerayap. Entah kenapa, malam terasa sudah begitu larut. Begitu sepi. Begitu sunyi. Begitu senyap. Seakan tak ada suara apa pun. Kecuali suara detak jantung Gusti sendiri. Juga detak jarum jam dinding yang serasa kepayahan. Terdengar begitu keras di tengah senyap malam.
"Hemmmmmm," Gusti mendesah. Resah.Â
Baru kali ini Gusti terbangun malam-malam. Mungkin karena tidur kesorean. Kecapaian di sekolah mengikuti acara Pentas Seni. Dan akibatnya, terbangun sebelum waktunya.
"Hemmmmmm," Gusti mendesah. Mencoba melepas resah.
Memang tidak sama. Sama sekali tidak sama. Beda. Beda banget. Banget sekali. Di rumah lama, sampai larut pun masih sering terdengar suara kendaraan. Juga pedagang makanan. Hampir setiap lima menit. Ada teriakan pedagang. Jadi, kalau malam-malam kelaparan, tinggal buka pintu saja.
Jakarta memang tak pernah sepi. Jakarta memang tak pernah mati. Selalu ramai. Dari pagi hingga pagi lagi.
Malam ini. Di rumah yang baru dua minggu dihuni. Gusti terbangun. Bukan karena suara berisik. Gusti bangun justru karena sepi. Aneh kan? Tapi itulah kenyataannya. Setengah terpejam, Gusti pun berdiri. Berdiri untuk menyalakan lampu. Â
"Mau apa ya?" tanya Gusti pada dirinya sendiri.
Diliriknya jam dinding. Masih seperti kemarin. Melekat di dinding. Namanya juga jam dinding, tak mungkin melekat di plafon. Kalau melekat di plafon berarti namanya harus diganti menjadi jam plafon. Tapi lucu juga ya?
Gusti tersenyum. Tapi jam didinding tak mau membalas senyum Gusti. Cuek.. Cuek sekali. Tak mau sekedar membalas senyum Gusti. Apalagi menyapa. Mungkin jam dinding sedang sibuk menyusun waktu. Biar matahari tetap terbit pada pukul enam. Tidak terlambat atau keduluan.
"Kasihan," kata Gusti saat melihat jarum panjang milik jam dinding yang terseok-seok mendaki angka sebelas. Sementara jarum pendeknya menunjuk dengan angkuh tepat ke angka dua belas. Berarti tepat tengah malam. Masih lama lagi mungkin baru akan terdengar azan Subuh.
"Hah...!" Gusti menghela nafas.Â
Gusti sudah tak mengantuk lagi. Di meja belajar, buku kesukaannya masih terbuka. Seakan menantang Gusti untuk segera menamatkannya. Gusti pun mengambil. Bimbang sesaat. Terus mencoba membaca novel karya Tere Liye yang baru dibelinya itu. Dua hari lalu. Hadiah dari ayah. Setelah Gusti mampu mendapat nilai bahasa Indonesia sembilan koma lima.  Â
Gusti memang senang membaca novel-novel karya Tere Liye. Sudah dua buah novel karya Tere Liye yang Gusti habiskan hanya dalam waktu satu minggu. Novel ini adalah novel ketiga yang nyaris ditamatkan Gusti.
"Sreeeeeek...sreeeeekkkk...srekkkkk...."
Baru beberapa lembar Gusti membaca novel itu. Saat terdengar suara itu di luar. Gusti mencoba tak peduli. Menyetel radio dengan suara pelan. Hanya sekedar menghilangkan suara yang mengganggu konsentrasinya itu.Â
Terdengar alunan suara Last Child feet Giseel dengan lagu "Seluruh Nafas Ini". Begitu menyentuh hati Gusti. Terbayang wajah Yoga. Ketua kelas yang ganteng dan sering mengajak ngobrol Gusti.
...
Saatku tertatih
Tanpa kau di sini
Kau tetap kunanti
Demi keyakinan ini
Jika memang dirimu dari tulang rusukku
Kau akan kembali pada tubuh ini
Kau akan tua dan mati dalam pelukku
Untukmu, seluruh nafas ini
---
Tapi tetap saja suara dari luar itu meneror Gusti. Gusti pun mulai berdebar. Benar-benar tak konsentrasi pada musik, apalagi buku yang dibacanya.
"Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Oca," batin Gusti.
Oca, adik satu-satunya yang memiliki rambut ikal dan sering menyebut dirinya sebagai Valentino Rossy serta bercita-cita menjadi pembalap nomor wahid di dunia itu kemarin bilang.Â
"Ada suara sreeek sreeek, Kak," kata Oca.
"Hmmmm," Gusti tak percaya.
"Betul, Kak. Saat Oca terbangun dengan tak sengaja. Oca tak tahu apa yang terjadi, karena Oca langsung menutup telinganya dengan bantal," tambah Oca.
"Hemmmm..."
"Syukur Oca bisa langsung tertidur lagi."
Gusti memang baru sekitar dua minggu meninggali rumah barunya. Rumah di pinggiran kota. Bahkan tak lagi masuk wilayah Jakarta, tapi sudah masuk wilayah Bekasi. Sebuah perumahan yang belum terlalu ramai dihuni. Menurut Mama Gusti, perumahan ini memang sudah cukup lama dibangun tapi penghuninya belum penuh. Masih ada beberapa rumah yang dibiarkan kosong. Sehingga beberapa rumah sampai hancur atapnya.
"Sudah ramai kok," kata Mama waktu Gusti menanyakan suasana di rumah baru yang akan ditinggalinya.
Saat pindah, Gusti baru tahu kalau rumah di sebelah kanan rumahnya masih kosong. Bahkan nyaris ambruk karena tak pernah diurus oleh pemiliknya. Rumah yang persis di depan rumahnya juga masih kosong. Tapi menurut berita, sebentar lagi akan dihuni. Maka Gusti pun sempat protes kepada Mamanya.
"Mama bohong!" protes Gusti waktu itu.
"Ya, kan tidak harus seramai di rumah lama yang di tengah kota, Gusti," jawab Mamanya mencoba menjelaskan.
Untung saja sudah pindah. Kalau belum pindah, Gusti pasti akan menolak pindah. Lebih enak tinggal di rumah lama. Di Jakarta. Di tengah kota.
Tapi Gusti juga kasihan dengan Ayahnya. Usaha Ayah Gusti yang semakin maju membutuhkan modal tambahan. Kalau harus meminjam modal ke bank, nanti harus membayar bunga segala. Setelah bermusyawarah, Gusti dan Oca pun menyetujui Ayahnya menjual rumah lama di tengah kota yang lebih besar terus pindah ke rumah di pinggiran kota yang agak lebih kecil. Selisih uangnya untuk tambah modal usaha Ayah.
"Demi masa depanku juga," batin Gusti.
"Sreeeek...sreeekkkkkkk...srekkkkkkk."
Suara itu terdengar lagi. Suara itu jelas terdengar karena malam memang sepi. Sunyi. Nyaris tak ada suara apa pun. Kecuali suara radio yang hanya samar-samar. Mana rumah di samping rumahnya, juga yang di depan rumahnya masih kosong pula.
"Mungkinkah itu maling?" batin Gusti.
Tapi tidak mungkin. Tak mungkin maling. Kalau maling, pasti akan mengecilkan atau bahkan menghilangkan suara apa pun. Tapi suara itu justru semakin sering berbunyi. Hingga Gusti pun tak mampu berkosentrasi membaca novelnya sama sekali.
Saat pagi tiba.
Gusti pun menceritakan apa yang di dengarnya semalam. Sebuah suara. Suara yang sebetulnya pernah diceritakan adiknya juga. Tentu cerita kepada adik semata wayang yang sedikit kribo itu.
"Betulkan?" kata Oca meledek karena kemarin saat dia bercerita hal yang sama, Gusti hanya tersenyum tak percaya.
"Kira-kira suara apa ya, Ca?" tanya Gusti.
"Suara srek...sreeekkkk," ledek Oca.
"Iiiiih," kata Gusti sambil mencubit pipi Oca yang menggemaskan itu.
"Hemmmmm. Yang jelas bukan pencuri," jawab Oca berlagak sedang berpikir.
"Kok kamu yakin kalau itu bukan pencuri?"
"Kalau itu suara pencuri, pasti kita sudah kecurian sejak kemarin karena aku mendengar suara itu kemarin malam. Nyatanya kita tidak kecurian, kan? Berarti itu bukan pencuri," jelas Oca sambil bergaya detektif ulung Conan yang menjadi idolanya itu.
"Terus suara apa ya, Ca?" tanya Gusti penasaran.
"Mungkin hantu."
"Apa?" tanya Gusti ketakutan. Seumur-umur Gusti memang belum pernah melihat hantu benaran. Hantu yang dilihat Gusti hanyalah hantu pocong dalam film. Tak lebih. Tapi setiap kali disebut kata hantu, Gusti pasti akan ketakutan setengah hidup.Â
"Muuuuuuunnngkin."
"Tak mungkin, ah!" Gusti mencoba menepis ketakutannya sendiri.
"Muuuuuuuuuuuuunnnnnnnngkin saja!"
"Taaaaaaaaaaaaaaaaak mungkin saja!"
"Muuuuunng..."
"Kenapa sih kalian ini? Dari tadi mungkin, tak mungkin, mungkin, tak mungkin?" tanya Ayah.
"Han ..."
"Hancur!" potong Gusti.
"Apa yang hancur, Gusti?" tanya Ayah penasaran.
Gusti bingung sendiri. Kenapa dia mengatakan hancur? Apanya yang hancur?
"Hati Kak Gusti, Yah," jawab Oca.
"Kok?" tanya Ayah lagi masih belum tahu maksud kata-kata Oca.
"Kak Gusti lagi jatuh cintrong," ledek Oca.
"Sama siapa?" Ayah penasaran.
"Sama Morgan."
"Siapa Morgan?"
"Personil Smash."
Tak ada suara Gusti. Diam-diam dia sudah berdiri di samping Oca. Akibatnya, pipi Oca terkena cubitan lagi. Sampai merah.
"Iiiih, Kak Gusti," teriak Oca.
"Itu balasan untuk anak kriting," kata Gusti.
"Memang apa salahnya punya rambut keriting?" bantah Oca.
"Suka jahil," kata Gusti sambil menghindar.
***
Malam berikutnya, saat Gusti terbangun tengah malam karena kebelet pipis, suara srek srek itu masih ada. Malah nyaring terdengar. Gusti pun menahan keinginannya buang hajat. Sampai perutnya terasa sakit.
Setelah tidak tahan, dan tak mungkin bertahan lebih lama lagi, Gusti pun lari. Bukan langsung lari ke kamar mandi. Gusti malah lari terbirit-birit ke kamar Oca. Buru-buru membangunkan Oca.  Agar segera mengantarkannya ke kamar mandi. Oca kaget. Oca hanya duduk tercenung. Gusti pun menarik tangan Oca sambil meringis menahan perutnya yang semakin sakit. Untung tidak kebobolan di tengah jalan.Â
"Haaaaah, lega juga," kata Gusti sambil menghirup udara melepas segala derita yang sudah berjam-jam menjangkiti perutnya.
"Ada apa sih, Kak?" tanya Oca setengah sadar.
"Suara itu, Ca."
"Kita cari sumbernya saja yuk!" Oca sok berani. Padahal Oca berani karena ada kakaknya. Kalau sendirian, Oca juga pasti akan lari terbirit-birit.  Bahkan terkencing-kencing seperti saat acara Persami di sekolah. Oca lari sambil berbasah-basah ria saat acara jurit malam dan ada hantu jadi-jadian di dekat tenda Oca.
"Kamu yang di depan," kata Gusti sambil mendorong tubuh Oca.
Dengan langkah pelan dan penuh perhitungan, Oca mencoba mendekati jendela. Tak ada siapa-siapa. Oca pun bertambah keberaniannya. Oca membuka gerendel jendela. Membuka jendela pelan-pelan. Hanya tampias bayangan dari lampu jalanan depan rumah. Oca teliti lagi. Gusti hanya berani mengintip dari balik punggung Oca.
"Ada apa, Ca?"
"Tak ada apa-apa."
"Perhatiin dong!"
"Awas!" kata Oca sambil melangkah mundur. Pelan-pelan sekali. Gusti penasaran. Tapi tak bisa berbuat apa-apa kecuali Gusti terpaksa ikut mundur. Masih dengan langkah pelan Oca kembali menuju kamarnya. Gusti ikut di belakangnya.
"Ngapain?" tanya Gusti.
"Mengambil senter."
Mereka berdua kembali ke jendela. Menyenter segala yang di luar. Tak ada masalah. Saat ada angin bertiup agak kencang, bunyi sreeek sreeek itu muncul lagi. Senter Oca langsung diarahkan ke sumber suara. Halah, ternyata hanya ranting pohon jambu yang tertiup angin dan menggesek papan bekas yang ada di teras. Oca mematahkan ranting itu. Tak ingin tidurnya terganggu lagi.
Setelah tahu sumber suara, mereka kembali ke kamar. Tidur. Nyaris pulas. Tapi suara itu muncul lagi. Gusti bangun. Oca juga bangun. Mereka berdua kembali ke teras.Â
"Awas!" teriak Oca sambil mundur katakutan.
"Jangan bergaya, Ca," Gusti menyangka Oca hanya menakut-nakutinya.
"Ada kucing hitam!" teriak Oca.
"Mana?" tanya Gusti.
Oca menyenter kucing hitam itu. Tepat di matanya. Mata kucing itu bersinar membalikkan cahaya senter. Seram sekali. Gusti pun ketakutan. Seperti ada sorot magis dari kedua mata kucing hitam itu.
Pelan-pelan Gusti menutup jendela.Â
Gusti ingat kucing hitam yang hampir tertabrak mobil Ayah waktu hari pindahan. Kucing itu tak beranjak. Berdiri tegak di tengah jalan seakan menantang. Sorot matanya. Sorot mata kucing itu seakan mengabarkan permusuhan.
Ada getar tak enak di hati Gusti. Tapi Gusti tak mempercayai apa yang dilihatnya. Kucing kan hanya binatang biasa. Seperti kucing peliharaan Hana. Selalu menyambut Hana saat si centil itu pulang.
Mereka berdua pun kembali ke kamar masing-masing. Mencoba tidur. Tapi mata tak bisa terpejam. Hingga pagi menghampiri.
***
Sudah dua hari. Ya, dua hari. Mama Gusti termenung. Karena mimpi. Mimpi yang sudah mengikutinya empat malam berturut-turut. Mimpi yang sama. Mama Gusti takut ada sesuatu yang buruk bakal terjadi terhadap keluarganya. Mimpi memang hanya bunga tidur. Mama Gusti tahu itu. Tapi kalau mimpi itu berulang. Maka kekhawatiran itu juga akan muncul juga.
Ingin sekali Mama Gusti cerita tentang mimpinya ini. Tapi selalu saja ragu. Apalagi Ayah Gusti sedang terlihat sibuk dengan usahanya. Tidak tega kalau harus menambah beban pikiran Ayah hanya gara-gara sebuah mimpi.
"Ada yang aneh ya, Yah," kata Mama saat sarapan pagi. Setelah tak lagi tahan menyimpan rahasia mimpinya itu.
"Ada apa, Ma?" tanya Oca.
"Masa sudah empat kali. Betul empat kali. Yang berarti juga sudah empat malam. Mama selalu bermimpi tentang sesuatu yang sama," kata Mama.
"Masa, Ma?" Gusti juga penasaran. Gusti mulai teringat dengan kucing hitam. Jangan-jangan mimpi Mamanya juga ada hubungannya dengan kucing hitam yang sudah dua kali mengirim sinyal permusuhan.Â
"Ayah juga mengalaminya," tambah Ayah.
"Kok bisa?" Oca memasang wajah bingung. Padahal aslinya memang Oca bingung beneran.
"Ayah bahkan sudah cerita mimpi ini ke teman Ayah. Kebetulan ada teman Ayah yang bisa melihat alam gaib."
"Apa kata dia, Yah?" tanya Mama.
"Hmmm, itu dia. Sebetulnya Ayah sudah ingin cerita.  Tapi belum punya waktu yang tepat. Untung Mama cerita," jelas Ayah.
"Apa katanya?" Mama tak sabar mendengar lanjutan cerita Ayah.
"Kata dia, rumah kita memang ada penghuninya."
"Apa?!" Gusti kaget.
Oca pun hanya melongo. "Pantesan."
"Iya, saya lihat kucing hitam yang misterius. Tengah malam di lantai atas," tambah Gusti.
"Iya?" tanya Mama.
"Oca juga tahu," kata Gusti.
"Iya. Aku juga dengar dari Faisal. Teman satu sekolahku yang tinggal di jalan Mangga. Dia bilang, rumah ini sudah tujuh kali dijual belikan. Kita ini orang ke delapan yang meninggali rumah ini. Dan ketujuh penghuni lama hanya kuat tinggal di sini paling lama dua bulan. Karena mereka merasa diteror oleh hantu itu," tambah Oca.
"Apa?" raut wajah Mama betul-betul ketakutan. Mama memang selalu sendirian di rumah saat Ayah ke kantor dan Gusti serta Oca bersekolah. Setelah mendengar berita ini Mamanya bakal semakin ketakutan. "Kita pindah lagi saja, ya?" kata Mama lirih.
"Tak mungkin," jawab Ayah.
"Kenapa, Yah?"
"Karena Ayah tak punya uang lagi."
"Tapi....."
"Tak usah pakai tapi. Ayah akan berusaha untuk mengusir hantu itu. Tenang saja kalian. Tak ada kan hantu yang makan orang? Iya, kan? Doakan agar teman Ayah yang dukun itu mampu mengusir hantu di rumah ini," kata Ayah memutuskan.
Ayah betul.
Sorenya, teman Ayah yang katanya orang pintar itu datang. Ia mencoba mengusir hantu itu dengan ilmu yang dimilikinya. Selama satu malam ia tinggal di rumah. Dia diam di kamar belakang. Memang malam-malam terdengar suara-suara aneh dari kamar belakang itu. Hasilnya?
"Bagaimana?" tanya Ayah.
Teman ayah itu menggeleng-gelengkan kepala. Berarti tanda menyerah. Dan tak bisa meneruskan upayanya mengusir hantu itu.
"Terus?" tanya Ayah lagi.
"Bapak cari orang yang lebih hebat dariku. Terlalu kuat dia," jawab teman Ayah itu.
Teman Ayah itu menyerah. Katanya, hantu di rumah Gusti terlalu kuat untuk ditaklukannya. Dan mimpi itu. Bukan hanya Ayah dan bunda yang mengalaminya. Sekarang, Oca dan Gusti juga dihantui oleh mimpi itu. Mereka berdua pun terlihat mengantuk di kelas karena sering terbangun tengah malam dan tak bisa tidur lagi hingga pagi.
Tak boleh dibiarkan, tekad Gusti. Harus dilawan. Tak ada istilah menyerah. Tapi bagaimana cara melawannya. Gusti mulai garuk-garuk kepala. Seperti biasa, tanda kalau Gusti sedang mikir ya dari garuk-garuknya itu. Bukan karena kepala Gusti jarang keramas sehingga kepalanya penuh ketombe. Pasti bukan karena itu. Hanya sebuah kebiasaan saja. Tak enak kalau mikir tak garuk-garuk kepala. Semakin keras Gusti berpikir, maka semakin sering pula Gusti menggaruk-garuk kepalanya.
Pindah rumah lagi? Wah, ini sih menyerah. Tak perlu pindah rumah. Walaupun awalnya Gusti agak kurang setuju, tapi lama-lama Gusti justru merasa betah tinggal di rumah barunya. Sepi. Tak berisik. Sehingga enak untuk melamun. Apalagi kalau melamunkan cowok pindahan di kelasnya. Sepertinya dia boleh juga. Atau Yoga. Eh, bukan. Bukan karena itu. Gusti betah karena Gusti bisa tenang belajar di rumah barunya itu.
"Manusia itu dicipta oleh Tuhan sebagai makhluk paling sempurna. Tak ada yang bisa mengalahkan manusia. Apalagi setan. Kita lebih hebat dari setan. Jangan pernah takut sama setan. Kalau kita berani maka setan yang takut sama kita," Gusti teringat kata-kata ustadnya saat dulu sekolah di SD. Ustad Ari namanya.Â
Dia berpesan agar anak-anak tak ada yang takut hantu. Hantu memang bukan untuk dilawan. Tapi yang jelas, hantu memiliki dunianya sendiri.
"Terus bagaimana menghindari gangguan hantu?" tanya Keke yang paling terkenal takut hantu. Jangankan hantu. Sama gelap saja, dia ketakutan. Bahkan fobia.
"Mereka tak mengganggu kita," tambah Ustad Ari.
"Kalau kita mimpi jelek tengah malam dan terbangun?" tanya Keke lagi.
"Itu sih bukan karena hantu. Mungkin mimpi itu justru sebuah jalan bagi kita untuk solat malam," kata Ustad Ari lebih menjelaskan.
"Maksudnya?" tanya Keke masih dengan semangat.
"Kalau terbangun malam-malam. Entah karena mimpi buruk atau karena suara yang mengaggetkan. Jangan malah tidur lagi. Biasanya akan sulit tidur. Lebih baik kalian solat. Solat malam. Bisa kan?"
Gusti tak menceritakan apa yang dikatakan ustad Ari itu kepada Ayah, ibu, atau adiknya. Gusti bertekad untuk mencobanya sendiri.
Saat malam tiba, Gusti memang terbangun. Dan mimpi seram itulah yang membangunkannya. Keringat bercucuran dari tubuh Gusti. Ada rasa takut menelusup dalam hati Gusti. Tapi Gusti cepat-cepat membuang rasa takut itu. Tak ada hantu yang menggigit. Di Film saja tak ada, apalagi di alam nyata.
Gusti bangkit. Agak sempoyongan. Menuju kamar mandi. Setelah buang air kecil langsung mengambil air wudu. Segar. Rasa ngantuk pun lenyap. Dengan khusuk Gusti melakukan salat malam. Setelah itu tidur lagi. Pulas hingga pagi. Biasanya tak salat subuh. Sekarang Gusti salat subuh juga. Lebih enak juga. Tak terburu-buru.
Malam berikutnya, Gusti melakukan hal serupa. Saat hendak mengambil wudu, terdengar suara gedebuk di kamar Oca. Gusti melongok. Terlihat Oca sedang meringis di bawah ranjang.
"Kenapa Ca?"
"Terbang."
"Habis mimpi buruk ya?"
"He-eh."
"Sekarang saya udah tahu cara mengusir mimpi buruk itu, Ca. Kamu pengin tahu caranya?" tanya Gusti.
"Iya," kata Oca penasaran.
"Ayo keluar!" ajak Gusti.
"Ngapain?" tanya Oca bingung.
"Kita berwudu dan salat."
"Hah?" Oca masih setengah percaya dengan apa yang didengarnya.
"Dengan salat malam kita usir hantu-hantu itu."
"Kata siapa?"
"Kata ustad Ari, aku masih ingat. Aku semalam sudah melakukannya. Sekarang juga akan melakukannya."
"Ya sudah, aku ikut," kata Oca/
"Ayo!"
Mereka berdua mengambil wudlu. Salat malam berdua. Khusuk sepertinya. Setelah itu Oca balik ke kamar sendiri. Tidur hingga pagi. Saat Gusti membangunkannya untuk salat subuh.
"Ayah belum ketemu dengan dukun yang lebih hebat." kata Ayah.
"Kenapa mesti cari dukun, Ayah?" tanya Oca.
"Kamu tak mimpi lagi?" tanya Mama.
"Tidak lah.," jawab Gusti
"Kamu, Ca?"
"Tak jugalah."
"Kok bisa. Ayah masih beberapa kali mimpi seram. Mama?" Ayah penasaran.
"Iya. Masih."
"Mau tahu kenapa?" tanya Oca.
"Jangan sok tahu ah!"
"Bukan sok tahu, Ma. Ini ilmu dari SD dulu. Baru ingat kemarin. Bukan omong kosong, aku sudah mencobanya," kata Gusti.
"Aku juga," Oca tak mau ketinggalan.
"Dan tidur kita menjadi lelap. Lelap sekali. Tanpa mimpi."
"Ah, yang benar. Bagaimana Gusti?"
"Begini, Yah. Hantu itu punya alam sendiri. Kalau kita mimpi seram, itu sih karena otak kita yang kelam. Kenapa otak kita kelam? Karena kita meninggalkan apa yang diperintahkan Allah," Gusti bergaya Mama Dedeh yang pernah dilihatnya di televisi waktu pas bangun kepagian.
"Apa?"
"Kapan Ayah dan Mama terakhir salat?" tanya Oca.
Mereka berdua hanya senyum. Menahan malu. "Udah lama."
"Itu dia sebabnya. Ternyata kalau kita salat, tak ada lagi tuh mimpi buruk. Hantu dan segala jenis kawannya akan lari terbirit-birit. Apalagi kalau dilanjutkan dengan salat subuh," Oca bergaya AA Gim.
"Rumah ini menjadi neraka bagi para setan."
"Ah, kenapa tak terpikir? Nanti malam kita salat, Yah."
"Siapa takut?" sambut Ayahnya.
Malam berikutnya mereka sudah salat malam semuanya. Bukan hanya salat malam. Salat subuh juga dilakukan. Berjamaah. Yang jelas semua salat yang lima waktu dilaksanakan. Kalau hanya salat malam doang, malu ah, masa yang sunah dilaksanakan sementara yang wajib ditinggalkan.
Rumah itu pun tak lagi dihantui apa-apa. Mereka terkesan bahagia dengan rumah barunya. Udara pinggir kota masih bersih dan menyehatkan. Kalau hari Sabtu dan Minggu, sehabis salat Subuh mereka terlihat berjalan bersama. Dengan ceria.
Dan suatu sore, Pak Adam, orang yang dulu menjual rumah ini kepada ayah datang dengan sangat terburu-buru. Pak Adam terlihat seperti orang yang ketakutan.Â
"Ada apa, Pak?" tanya Mama.
"Boleh saya ke dapur sebentar?" tanya Pak Adam.
"Boleh."
Pak Adam pun bergegas ke dapur. Menuju pojok dapur. Mengambil sebuah bungkusan di pojok dapur.
"Ada apa, Pak Adam?" tanya Mama.
"Tak ada apa-apa, Bu."
Setelah itu Pak Adam langsung pergi. Entah apa yang tadi diambil dari pojok dapur. Jangan-jangan semua hal ini sengaja dilakukan oleh Pak Adam. Menurut cerita beberapa tetangga, rumah Gusti memang selalu dijual belikan oleh Pak Adam. Setiap kali dibeli orang, kemudian dijual lagi kepada Pak Adam. Dijual oleh Pak Adam dengan harga tinggi dan dibeli lagi dengan harga murah.
Tetangga rumah pun tampak heran. Karena mereka hanya tahu bahwa rumah Gusti berhantu dan tak ada yang bisa bertahan sampai dua bulan. Tapi Gusti sudah satu tahun meninggali rumah itu tanpa terlihat ketakutan sedikit pun.
"Boleh main ke rumahmu?" tanya Hana.
"Takl boleh."
"Kenapa?"
"Nanti kucing hitamku kamu ambil?"
"Emang kamu punya kucing?"
"Kucingku bagus. Lebih lucu dari kucing kamu."
"Kucing yang pernah kamu ceritakan, Gusti?"
"Iya."
"Bukannya kamu bilang, kucing hitam itu jelmaan iblis?"
"Dulu. Sekarang sudah menjadi teman baikku. Menghiburku ..."
"Sejak kapan?"
"Sejak Yoga menyatakan cinta padaku."
"Ihhhh...!" Hana pun mencubit pipi Gusti dengan gemasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H