Ini...Seperti elang yang kehilangan matanya.
Terbang tinggi menguasai angkasa, namun arahnya justru menghunjam bumi.
Ini...Seperti harimau yang kehilangan taringnya.
Mengaum sekeras gempa, namun hanya tertatih ketika melintas seekor mangsa.
Ini...Seperti angin yang kehilangan badainya.
Menderu deru ingin menyapu semua, namun sehelai daunpun tak berguguran jua.
Ini...Seperti jeram yang kehilangan derasnya.
Menghempas bebatuan berulang ulang, namun hanya gemericik yang terdengar saja.
Ini...Seperti dunia yang kehilangan mataharinya.
Mencekam, gelap, tanpa cahaya, mengunci diri dalam sepi tanpa sedikitpun daya.
Bab VII
Alas Roban. Arya Dahana dan Bimala Calya harus menempuh perjalanan berhari-hari hingga akhirnya tiba di Alas Roban.  Perjalanan yang dilalui cukup lancar tanpa rintangan yang berarti.  Bimala Calya benar-benar merasakan bagaimana berbuat baik adalah hal yang menyenangkan. Â
Membantu seorang ibu yang keberatan membawa kayu bakar sambil menggendong anaknya yang masih bayi. Â Menolong seorang gadis yang dipaksa menikah karena orang tuanya terlibat hutang dengan seorang tuan tanah. Â Menangkap seekor buaya di sebuah sungai di kampung yang membuat warganya tidak bisa mengambil air kebutuhan sehari hari. Â Mengusir segerombolan pembuat onar di sebuah desa yang damai.
Dan banyak lagi hal-hal kecil yang dilakukannya bersama Arya Dahana. Hal hal kecil yang bermanfaat bagi orang lain.
Semakin lama bersama dengan Arya Dahana membuat Bimala Calya seperti kehilangan masa lalunya yang suram. Â Pemuda konyol dan tengil itu telah memikat hatinya hingga ke dasar sukma. Â Gadis itu sangat yakin tidak akan sanggup berpisah dengan Arya Dahana. Â Jikapun itu terjadi, dia berharap hanya kematian yang memisahkan. Â Bukan gadis lain atau hati yang lain. Â
Kadang-kadang pemikiran seperti ini membuat Bimala Calya termenung. Â Pemuda itu selalu memperhatikan dia. Â Tapi dilihatnya itu karena memang pembawaan si pemuda. Â Selalu perhatian terhadap orang lain melebihi perhatian kepada diri sendiri.
Pemuda ini jauh-jauh mencarikan obat bagi seorang gadis yang justru sebelumnya memusuhinya. Â Sedikit demi sedikit gadis itu berhasil mendapatkan cerita dari Arya Dahana tentang perjalanan hidupnya. Â Hmmm...banyak sekali gadis yang terlibat dalam hidup pemuda ini... dan sekarang dia masuk dalam lingkaran kehidupan si pemuda. Â
Mungkin Arya Dahana tidak menyadari bahwa dia terlibat dengan banyak hati yang mengelilinginya. Â Bimala Calya bertekad untuk berjuang mendampingi pemuda ini hingga akhir hidupnya. Â Gadis ini tidak peduli dia harus berhadapan dengan siapa saja. Â Dia cantik, berilmu tinggi, dan punya tekad membaja.
Tidak sampai tengah hari Arya Dahana yakin mereka bisa sampai ke tempat tinggal Ayu Wulan. Â Arya Dahana sangat bersemangat. Â Ada rasa rindu ingin berjumpa dengan Dyah Puspita. Â Gadis itu sangat mengasihinya. Â Arya Dahana merasakan itu dalam setiap tatapan matanya, sentuhan lembutnya, dan perhatiannya. Â
Dia sangat menyukai ketika gadis itu memperhatikannya. Â Pemuda itu merasa selama ini dia sangat bergantung pada keberadaan gadis itu. Â Lagipula, mereka telah bersepakat untuk berangkat bersama sama menuju Gunung Merapi. Â Obat satu satunya bagi hidupnya yang masih bergelut antara hidup dan mati jika amarah menguasainya.
Arya Dahana menghentikan langkah. Â Bimala Calya mengikuti. Â Pemuda itu memasang telinganya baik baik. Â Sayup sayup dia bisa mendengar auman Sima Lodra. Â Auman penuh kemarahan! Pasti terjadi sesuatu di sana. Â Buru buru pemuda itu menyambar lengan Bimala Calya dan melesat cepat berlari.
Begitu tiba di padepokan Nyai Genduk Roban, Arya Dahana menyaksikan pertempuran sengit antara Dyah Puspita melawan Raja Iblis Nusakambangan. Â Putri Anjani dan Nyai Genduk Roban dibantu oleh Sima Lodra bahu membahu melawan seorang kakek tinggi kurus yang menggunakan tongkat dari kayu berwarna hitam legam. Â
Nyai Genduk Roban menggunakan sihirnya membantu Putri Anjani yang bertahan mati matian melawan kakek kurus itu. Â Sedangkan Ayu Wulan diserang oleh seorang pria berbaju tempur berwarna hitam. Â Gadis yang belum terlalu lama digembleng oleh Dyah Puspita ini hanya sanggup bertahan sekedarnya saja.
Siapakah kakek kurus dan pria berbaju tempur yang menemani Raja Iblis Nusakambangan? Â Dan bagaimana mereka bisa berselisih paham dengan Nyai Genduk Roban dan Dyah Puspita?Â
Kakek kurus bertongkat itu adalah salah satu tokoh sakti delapan penjuru mata angin yang tidak pernah menampakkan diri. Â Baik pada saat perebutan Kitab Ranu Kumbolo maupun saat pecahnya perang besar Majapahit-Blambangan. Â Tokoh sakti yang bernama Resi Amamba berjuluk Resi Bertangan Baja. Â Sedangkan pria berbaju tempur itu adalah salah satu hulubalang lihai anggota kerajaan Lawa Agung yang berjuluk Hulubalang Kelabang.Â
Panglima Kelelawar mempunyai pengawal sekaligus orang orang kepercayaan yang lihai dan tangguh. Â Lima orang pengawal khusus yang mempunyai julukan mengerikan. Â Hulubalang Kelabang, Hulubalang Sanca, Hulubalang Kalajengking, Hulubalang Kobra dan Hulubalang Lipan. Â Bahkan orang seperti Tiga Maut Lembah Tengkorak pun tidak mengenal para pengawal khusus itu dengan baik.
Awalnya tujuan dari kedatangan para tokoh kerajaan Lawa Agung adalah ingin mengajak Nyai Genduk Roban yang terkenal sakti dalam hal ilmu sihir untuk bergabung dengan kerajaan baru tersebut. Â Bisa dibayangkan jika Nyai Genduk Roban bersatu padu dengan Nini Cucara. Â Seorang datuk sihir bergabung dengan ahlinya sihir. Â Perpaduan luar biasa yang akan sangat memperkuat barisan Lawa Agung.
Akan tetapi tawaran dari Raja Iblis Nusakambangan yang memimpin rombongan Lawa Agung itu tidak diindahkan oleh Nyai Genduk Roban. Â Nenek ahli sihir itu sama sekali tidak tertarik karena tujuan kerajaan Lawa Agung adalah memberontak terhadap Galuh Pakuan dan bukan Majapahit. Â
Seandainya tawaran bergabung itu dengan tujuan menghancurkan Majapahit, tentu Nyai Genduk Roban dengan senang hati akan bergabung. Dendamnya kepada Majapahit sudah memusat hingga tulang sungsum.
Penolakan itu menerbitkan kemarahan Raja Iblis Nusakambangan. Â Mereka menyerang nenek tua itu. Â Dyah Puspita tentu saja tidak tinggal diam. Â Di antara mereka berempat dialah yang paling tinggi kepandaiannya. Â Oleh sebab itu dia tidak ragu ragu melayani serangan Raja Iblis Nusakambangan. Â
Putri Anjani yang belum pulih total menghadapi kakek kurus bertongkat yang ternyata sama lihainya dengan Raja Iblis Nusakambangan.Â
Di saat saat genting itulah Arya Dahana tiba. Â Sambil bersuit nyaring memberi tanda kepada Sima Lodra, pemuda itu segera terjun ke tengah pertempuran menyerang Resi Amamba. Â Pemuda itu melihat Dyah Puspita bisa mengimbangi Raja Iblis Nusakambangan. Â Sementara Putri Anjani sangat kewalahan menghadapi si kakek kurus bertongkat meski dibantu oleh Sima Lodra dan Nyai Genduk Roban melalui sihirnya.
Sima Lodra sangat paham apa yang dimaksud Arya Dahana. Â Harimau perkasa itu mengalihkan bantuannya dengan menyerang Hulubalang Kelabang. Â
Ayu Wulan bernafas lega. Â Gadis itu bisa bertahan sedari tadi karena mencampur serangannya dengan sihir. Â Ilmu Hulubalang Kelabang belum setinggi Resi Amamba yang tidak terlalu terpengaruh oleh ilmu sihir. Â Gantian Hulubalang Kelabang yang sekarang kelabakan. Â Sima Lodra bukanlah sembarang harimau biasa. Â Serangannya sangat terlatih dan berbahaya.
Resi Amamba yang telah berganti lawan terkejut bukan kepalang. Â Pemuda yang baru datang ini lihai bukan main. Â Sekujur tubuhnya diselimuti warna keperakan yang menyilaukan mata. Â Hawa pukulan yang meluncur dari serangannya sangat panas. Â Resi Bertangan Baja ini mengerahkan semua kemampuannya untuk mengimbangi. Â Terjadilah pertarungan dahsyat antara kedua orang ini.
Dyah Puspita yang melihat Arya Dahana datang menjadi berlipat semangatnya. Â Gadis cantik ini melipatgandakan serangan Busur Bintangnya kepada Raja Iblis Nusakambangan. Â
Si Raja Iblis kontan terdesak menghadapi serangan ilmu aneh dan tidak dikenalnya ini. Â Dyah Puspita memang belum menguasai sepenuhnya ilmu sakti ini, namun kehebatan dari serangannya cukup bisa mempengaruhi Raja Iblis Nusakambangan. Â Pukulan pukulannya yang berhawa dingin sanggup mendesak si Raja Iblis.
Sementara itu Bimala Calya terpaku bingung menyaksikan pertempuran itu. Â Dia menjadi serba salah. Â Dia mengenal dengan baik para hulubalang anak buah ayah angkatnya. Â Dia juga mengenal Resi Amamba. Â Bahkan dia sudah pernah bertemu beberapa kali dengan Raja Iblis Nusakambangan di Pulau Kabut, tempat kerajaan Lawa Agung bermarkas besar. Â
Tapi gadis itu menyadari bahwa dia tidak bisa membantu mereka. Â Arya Dahana ada di pihak lawan. Â Tidak ada sedikitpun niatan dalam hatinya untuk berseberangan dengan pemuda yang menjatuhkan hatinya itu. Â Karena itu apa yang dilakukannya hanya terdiam. Â Jika saja pemuda pujaan hatinya itu terdesak. Â Dia tidak akan ragu ragu untuk membantunya. Â Bimala Calya hanya tertarik memperhatikan tiga orang gadis yang ada di situ. Â Siapakah di antara mereka yang paling dekat dengan pemuda tengil itu?
Berdasarkan cerita Arya Dahana, Dyah Puspita adalah gadis yang sangat dekat dengan dirinya. Â Karena itu mata Bimala Calya tanpa berkedip memperhatikan Dyah Puspita. Â
Hmmm... gadis yang sangat cantik dan luar biasa tangguh. Â Sanggup menghadapi Raja Iblis Nusakambangan dan mengimbanginya pastilah bukan sekedar lihai saja. Â Namun sudah termasuk tokoh tingkat tinggi yang tergolong sakti. Â Mata Bimala Calya beralih kepada Putri Anjani. Â Gadis yang ini juga cantik manis. Â Namun kelihatan terluka. Â Pastilah ini gadis yang dengan susah payah dicarikan obat oleh Arya Dahana.Â
Gadis ketiga adalah gadis yang tinggi langsing dan ayu. Â Gadis ini terlihat tidak terlalu tangguh. Â Tetapi mempunyai kemampuan sihir yang hebat. Â
Ya Tuhan! Arya Dahana dikelilingi oleh gadis gadis istimewa seperti ini. Â Apakah dia sanggup merebut hatinya? Â Hhhhhhh...dia tidak akan menyerah! Â
Dia merasa tidak kalah cantik dengan mereka semua. Â Dia juga mempunyai ilmu yang tinggi. Â Bahkan dia mempunyai kemampuan unik mengendalikan pasukan kelelawar beracun.Â
Mendadak terdengar ramai suara derap kaki kuda memasuki padang lembah ini. Â Disusul kemudian dengan kelebatan kelebatan bayangan beberapa orang. Â Maesa Amuk terlihat berdiri gagah mengawasi pertempuran. Â Di sampingnya terlihat Siluman Lembah Muria, Bledug Awu Awu dan Madaharsa. Pasukan Sayap Sima berjumlah puluhan berdiri berjajar di belakang mereka. Â Maesa Amuk mengangkat tangannya tinggi tinggi.
"Berhentiiiiiiii...!!"
Sontak suara parau yang menggetarkan seisi lembah itu menghentikan pertempuran. Â Dyah Puspita melompat mendekati Arya Dahana yang sudah berdiri bersisian dengan Sima Lodra, Putri Anjani, Ayu Wulan, dan Nyai Genduk Roban. Â Tidak jauh Bimala Calya berdiri dengan tegang memperhatikan.
"Aku...Maesa Amuk. Â Pemimpin pasukan khusus Sayap Sima pemburu buronan...jelaskan maksud kedatanganmu Raja Iblis tengik!" Â suara menggelegar itu tertuju kepada Raja Iblis Nusakambangan yang telah mengelompok dengan anggota Lawa Agung lainnya.
Raja Iblis Nusakambangan tersenyum mengejek.
"Maesa Amuk...kita selalu berseberangan jalan. Â Tapi kali ini kami tidak ingin berseteru denganmu maupun Majapahit. Â Kami membawa ini...." tangannya melambaikan sebuah gulungan daun lontar yang terlihat mewah.
Maesa Amuk memberi isyarat kepada salah satu anak buahnya untuk mengambil gulungan surat yang dipegang Raja Iblis Nusakambangan. Â Yang diperintah maju mengambil surat lalu menyerahkannya kepada Maesa Amuk. Â Maesa Amuk membuka gulungan daun lontar itu dan membacanya dengan hati hati. Â
Air muka tokoh berangasan itu berubah sedikit. Â Dia menyerahkan gulungan surat itu kepada Madaharsa yang memang merupakan pimpinan tertinggi kedua di Sayap Sima.Â
Madaharsa membaca surat itu kemudian menggulungnya lagi dengan hati hati. Â Wajahnya sama sekali tidak berubah. Â Dia hanya berbisik sebentar di telinga Maesa Amuk lalu berdiam lagi dengan tenangnya.
Maesa Amuk mengerutkan keningnya mendengar bisikan itu tapi tidak berusaha membantah.
"Raja Iblis....kami paham isi surat ini. Â Kami akan sampaikan kepada raja kami. Â Sebagai bukti bahwa kalian memang berniat baik, kalian harus membantu kami menangkap buronan kerajaan kami."
Maesa Amuk melanjutkan,
"di hadapan kalian ada dua orang yang merupakan buronan utama dari Majapahit. Â Dyah Puspita putri dari Ki Tunggal Jiwo dan Putri Anjani putri dari mendiang Laksamana Utara. Â Tangkaplah mereka! Kami hanya sifatnya membantu di sini."
Dyah Puspita yang sedari tadi memperhatikan apa yang diperbincangkan oleh tokoh tokoh itu, mencibir dan berkata,
"Maesa Amuk, baru kali ini aku mendengar tokoh sehebat dan sejujur dirimu minta bantu kepada seorang iblis untuk menangkap orang. Â Apakah kemampuanmu sudah jauh berkurang atau kau jerih kepada kami?"Â
Gadis ini sengaja membuat panas hati tokoh berangasan Majapahit ini untuk memancing keadaan karena melihat dia dan kawan kawannya berada pada pihak yang jauh lebih lemah. Â Dia tahu Maesa Amuk adalah tokoh yang sangat menjunjung tinggi harga diri. Â Jikapun mereka harus bertempur lagi melawan rombongan Lawa Agung, dia berharap Maesa Amuk dan anak buahnya tidak ikut campur. Â Tentu saja gadis ini tidak berharap dua tokoh Sayap Sima lainnya berbuat yang sama. Â Siluman Lembah Muria mungkin, karena tokoh ini banyak menuruti dan patuh apa yang dikatakan Maesa Amuk. Â Namun Madaharsa? Tokoh sesat yang satu ini pasti akan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Maesa Amuk menautkan kedua alis tebalnya mendengar perkataan Dyah Puspita.
"Percayalah satu hal Dyah Puspita, aku tidak akan main keroyokan. Tapi aku tidak bisa menahan yang lain untuk melakukan hal yang sama. Â Kamu tahu sendiri bagaimana para iblis dan pecundang selalu menggunakan segala cara."
Mendengar ini, Raja Iblis Nusakambangan menukas dengan cepat.
"Sudahlah Maesa Amuk. Â Tak perlu banyak kata. Â Aku setujui syaratmu. Â Kami akan menangkap mereka berdua. Â Yang lainnya adalah urusanmu sendiri." Â Raja Iblis ini memberikan isyarat kepada Resi Amamba dan Hulubalang Kelabang.Â
Ketiganya maju dengan pandangan mengancam ke arah Dyah Puspita dan Putri Anjani. Â Arya Dahana bangkit amarahnya melihat semua ini. Tubuhnya yang kurus berkelebat ke depan.
"Iblis dan setan manapun yang akan menangkap mereka harus berhadapan denganku terlebih dahulu!" Â mata pemuda ini menyala keperakan.
Raja Iblis Nusakambangan dan dua sekutunya menghentikan langkah. Â Kemudian menoleh ke Maesa Amuk.
"Inilah yang aku maksud dengan yang lainnya Maesa Amuk. Â Uruslah pemuda tengil ini sementara kami menangkap buronanmu."
Maesa Amuk menggeram marah. Â Tubuhnya yang tinggi besar tahu tahu sudah berhadapan dengan Arya Dahana. Â Tanpa basa basi lagi tokoh sakti Majapahit ini langsung menerjang Arya Dahana dan menyerang dengan hebat. Â Arya Dahana tidak tinggal diam. Â Pemuda ini mengerahkan ajian Geni Sewindu untuk melawan. Â Terjadilah pertarungan yang luar biasa dahsyat antara kedua orang ini.
Bledug Awu Awu memisahkan diri kemudian memberikan tantangan bertarung kepada Nyai Genduk Roban yang sedari tadi sudah gatal untuk menyerang orang orang Majapahit ini. Â Kembali terjadi pertempuran aneh antara dua tokoh sihir ini. Â Mereka sengaja menjauh agar bisa dengan bebas melepaskan sihir sihir tingkat tinggi untuk saling menyerang.
Melihat Arya Dahana dan Nyai Genduk Roban sudah ditangani, Raja Iblis Nusakambangan menggerakkan tubuhnya menyerang Dyah Puspita diikuti oleh Resi Amamba. Â Gadis putri Ki Tunggal Jiwo ini dikeroyok oleh dua dari datuk delapan penjuru mata angin. Â Nampak bahwa gadis ini sama sekali tidak gentar. Â Ajian Braja Musti yang dipadukan dengan gerakan gerakan pukulan Busur Bintang dipergunakan untuk menahan serangan sekaligus menyerang dengan tidak kalah dahsyat.
Hulubalang Kelabang yang telah diberikan isyarat oleh Raja Iblis Nusakambangan langsung menyerang Putri Anjani. Â Tingkat kanuragan Putri Laut Utara ini sebetulnya tidak kalah dengan pengawal Panglima Kelelawar ini, namun karena tubuhnya masih belum pulih akibat totokan Bayu Lesus Madaharsa tempo hari, gerakan gerakannya masih lemah dan tidak bertenaga. Â Akibatnya gadis cantik ini terdesak dengan sangat hebat dalam waktu singkat.Â
Siluman Lembah Muria maju ke depan Sima Lodra dan Ayu Wulan yang berdiri berdampingan. Â Gadis itu lawan yang sangat lemah, namun harimau itu cukup tangguh dan mengerikan. Â Tokoh Sayap Sima ini maju ke depan mengirim pukulan mematikan kepada Sima Lodra. Â Harimau itu menggereng marah lalu balas menyerang dengan cakar cakarnya yang setajam pisau cukur. Â
Ayu Wulan menggerak gerakkan tangannya ke arah Sima Lodra. Â Siluman Lembah Muria terkejut bukan kepalang melihat bahwa dia sekarang bertempur dengan dua ekor Sima Lodra.
Tinggal Madaharsa seorang yang masih belum menemukan lawan. Â Tokoh ini memang tidak peduli harus ikut bertempur atau tidak. Â Dia hanya akan melihat di kesempatan mana dia harus turun tangan. Â Lagipula, tugasnya adalah memastikan bahwa Maesa Amuk menjalankan tugasnya. Â Jika dia ikut campur atau main keroyok, tokoh menyebalkan itu pasti akan berhenti bertempur.
Lembah Alas Roban siang itu menjadi ramai bukan main. Â Pertempuran sihir antara Bledug Awu Awu dan Nyai Genduk Roban sangat berimbang. Â
Beraneka macam binatang sihir dan wujud wujud ngeri dikeluarkan oleh dua tokoh sihir ini. Â Belum nampak satupun yang terdesak. Â Kemampuan yang sangat berimbang membuat pertarungan ini nampaknya tidak akan pernah selesai. Â Kecuali jika Bledug Awu Awu menimpali serangannya dengan kanuragan, maka Nyai Genduk Roban tidak akan bisa bertahan karena nenek ini memang tidak mempunyai ilmu kanuragan.
Sima Lodra yang dalam pandangan mata Siluman Lembah Muria berubah menjadi dua karena bantuan sihir Ayu Wulan, mampu bertahan melawan tokoh Sayap Sima ini. Â Siluman Lembah Muria seringkali salah dalam melakukan serangan karena ditujukan kepada bayangan palsu Sima Lodra. Â Jika tidak dibantu sihir Ayu Wulan, tak pelak Sima Lodra pasti akan kepayahan melawan tokoh yang kemampuannya hanya sedikit di bawah Maesa Amuk ini.
Di gelanggang yang lain, Putri Anjani terlihat semakin kepayahan. Â Beberapa pukulan Hulubalang Kelabang telah mendarat di tubuh gadis cantik ini. Tidak akan lama lagi, gadis ini pasti akan kalah dalam pertarungan dengan terluka atau bahkan tewas.
Meskipun Dyah Puspita telah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dibanding saat masih menjadi seorang pejabat Sayap Sima berkat ajian Busur Bintang, namun yang dihadapinya adalah dua datuk dari delapan penjuru mata angin. Â Gadis ini hanya sanggup bertahan semata karena keanehan ilmu pukulan Busur Bintang. Â Walaupun Raja Iblis Nusakambangan dan Resi Amamba adalah tokoh kawakan dunia persilatan, tetapi mereka sama sekali tidak mengenal ilmu pukulan ajaib ini. Â Di sinilah letak keuntungan Dyah Puspita.
Beberapa kali Raja Iblis Nusakambangan mencoba menggunakan ilmu sihir, namun batu Safir Bumi yang dijadikan kalung oleh Dyah Puspita, membuatnya kebal terhadap pengaruh sihir. Â Oleh karena itu si Raja Iblis menghentikan upaya sihirnya yang sama sekali tidak membuahkan hasil itu. Apalagi, pelan namun pasti mereka berdua berhasil mendesak gadis tangguh itu.
Arya Dahana yang sedang bertempur hebat melawan Maesa Amuk, masih sempat menyaksikan bagaimana pertempuran lainnya berlangsung. Pemuda ini sangat khawatir melihat keadaan Putri Anjani dan Dyah Puspita. Â Jika dibiarkan, tak lama lagi Putri Anjani pasti akan tewas atau terluka parah. Â
Sedangkan Dyah Puspita, meskipun sanggup bertahan namun sudah mulai kewalahan dan terdesak. Dilihatnya Bimala Calya hanya termangu mangu bingung menyaksikan pertempuran jauh dari pinggiran gelanggang. Â Ingin dia meminta tolong Bimala Calya untuk membantu Putri Anjani namun dia tidak tahu harus bilang bagaimana. Â Gadis itu pasti serba salah karena yang akan dilawannya adalah anak buah ayah angkatnya.
Kalau begini, dia harus segera mengalahkan Maesa Amuk agar segera bisa membantu yang lain. Â Pikiran ini membuat Arya Dahana memutuskan sesuatu yang nekat. Â Dia mengerahkan ilmu pukulan Geni Sewindu yang berhawa panas, sekaligus juga mengerahkan pukulan Busur Bintang yang berhawa dingin. Â Tubuh bagian kanannya berselimutkan sinar keperakan sedangkan tubuh bagian kirinya memucat kehijauan. Â Perubahan ini mengagetkan Maesa Amuk. Â
Tokoh yang terkenal dengan kekebalan dan kehebatan tenaganya ini langsung saja terdesak hebat. Â Bahkan sebuah pukulan Geni Sewindu Arya Dahana sempat mampir mengenai pundaknya. Â Berkat kekebalan tubuhnya yang luar biasalah membuat pukulan dahsyat ini tidak melukai Maesa Amuk dengan parah. Â Namun tetap saja. Â Tubuhnya yang tinggi besar terhuyung huyung dan dari ujung mulutnya mengalir sedikit darah.
Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan kesakitan melengking dengan nyaring. Â Nampak Putri Anjani terpelanting keras terkena pukulan Hulubalang Kelabang. Â Gadis itu memuntahkan darah segar dalam jumlah banyak. Â Rupanya pukulan telak Hulubalang Kelabang bersarang di dada gadis yang masih lemah tubuhnya itu. Â Saat Putri Anjani terhuyung huyung mencoba bangkit, sesosok bayangan berkelebat mengayunkan tangan untuk menotok.
"Dukkk...dukkk!..."
Sesosok bayangan lain juga berkelebat menangkis totokan Madaharsa. Â Selamatlah gadis itu dari kelumpuhan atau bahkan kematian. Â Andika Sinatria berdiri gagah melindungi Putri Anjani yang sudah tak mampu bangkit lagi.Â
"Kau tidak bisa berlaku seenaknya kepada seorang pejabat Galuh Pakuan wahai orang tua gagah." Pangeran tampan itu menatap tajam Madaharsa.
Madaharsa yang bergetar tangannya akibat tangkisan tadi, tahu bahwa di hadapannya berdiri seorang bangsawan berilmu tinggi. Â Dengan angkuhnya tokoh nomor dua Sayap Sima ini berkata.
"Kau berhadapan dengan wakil pimpinan Sayap Sima anak muda! Â Aku tidak peduli darimana asalmu, Â tidak selayaknya kau ikut campur urusan ini. Â Gadis yang kau lindungi ini adalah seorang pemberontak dan buronan Kerajaan Majapahit. Â Menentang kami...berarti kau menentang Majapahit!"
Andika Sinatria terperanjat. Â Pantas saja tenaga orang ini sangat kuat. Â Rupanya seorang tokoh penting Sayap Sima Majapahit.Â
"Gadis ini adalah pemimpin pengawal kerajaan. Â Dia melindungi dan di bawah perlindungan Galuh Pakuan kisanak. Â Lepaskan dia...aku tidak mau ada silang sengketa antara Galuh Pakuan dengan Majapahit. Â Namaku Andika Sinatria. Â Aku putera Raja Galuh Pakuan. Â Aku berbicara atas nama Raja dan Kerajaan Galuh Pakuan."
Madaharsa tersenyum lebar. Â Ini adalah kesempatan baik yang tidak disangka sangkanya. Â Sudah lama dia ingin menonjolkan jasanya kepada Sang Mahapatih Gajahmada. Â Tujuannya jelas, menggantikan Ki Tunggal Jiwo sebagai pemimpin tertinggi Sayap Sima. Â Galuh Pakuan adalah cara paling mudah untuk mendapatkan simpati Sang Mahapatih. Â Dia harus sedikit berhati hati menjalankan rencana liciknya ini.
"Hormat saya Pangeran Andika Sinatria. Nama saya Madaharsa. Â Wakil pimpinan Sayap Sima. Â Dengan segala hormat, jika pangeran berbicara atas nama Galuh Pakuan, maka saya juga berbicara atas nama Majapahit. Â Apakah pangeran sengaja menantang Majapahit dalam masalah ini?...Putri Anjani adalah buronan nomor dua kerajaan kami. Â Jika ada yang menghalangi kami untuk menangkapnya, maka itu berarti secara resmi menantang kewibawaan Majapahit. Â Jika Putri Anjani adalah pejabat penting di Galuh Pakuan, maka tindakannya sama sekali tidak bisa dibenarkan dan memancing permusuhan antar kerajaan, sebab telah membantu Blambangan memberontak terhadap Majapahit."
Madaharsa bicara dengan berapi api karena sengaja ingin memancing tanggapan lebih jauh Andika Sinatria. Â Nampaknya pangeran muda itu tidak gampang terpengaruh. Â Jawabannya sangat bijak.
"Madaharsa, persoalan Putri Anjani membantu pemberontakan Blambangan akan kami selesaikan sebagai masalah Galuh Pakuan. Â Akan ada hukuman yang dijatuhkan setelah ada pengadilan yang adil terhadapnya. Â Hal ini akan disampaikan secara resmi kepada Majapahit. Â Sehingga menduga seolah Galuh Pakuan ada di belakang tindakannya adalah praduga yang mengada ada dan sengaja ingin membenturkan dua kerajaan dalam permusuhan yang tidak perlu."
Madaharsa tidak mau kalah. Â Kali ini dia harus bisa memancing pernyataan yang salah dari pangeran ini. Â Mumpung banyak saksi. Â Apalagi semua yang bertempur telah menghentikan pertempuran. Â Tertarik menyaksikan adu pendapat yang sangat peka ini.
"Pangeran yang baik. Â Tentu saja itu menjadi masalah bagi Majapahit. Â Jika kau sebagai wakil Galuh Pakuan menyampaikan bahwa kalian tetap berniat melindungi pemberontak Majapahit, maka itu sama saja dengan menodai persahabatan antar kerajaan yang telah terjalin lama. Â Dan itu sama saja dengan mengajak bermusuhan."
Andika Sinatria menghela nafas panjang. Â Masalah ini menjadi semakin rumit karena dia tahu kesalahan ada di pihak Putri Anjani. Â Di sisi lain, dia tidak mungkin membiarkan Putri Laut Utara itu dibawa ke Majapahit untuk diadili. Â Hukuman bagi seorang pemberontak jelas adanya, hukuman mati! Â
Apalagi Putri Anjani dilihatnya sedang terluka cukup parah. Â Pangeran ini sadar, orang di hadapannya ini sedang memancing permusuhan terbuka dengan semua pernyataannya. Â Belum sempat pangeran ini menjawab, sebuah suara halus menyela.
"Madaharsa, ijinkan kami mengatakan. Â Kesalahan yang dibuat oleh Putri Anjani adalah kesalahan pribadi. Â Tidak ada sangkut pautnya dengan Galuh Pakuan. Â Baginda Raja tidak pernah memberi ijin Putri Anjani untuk membantu pemberontak Majapahit. Â Namun demikian, karena Putri Anjani adalah salah satu kepala pengawal istana, keselamatannya adalah tanggung jawab kami. Â Jika kau berkeras untuk mengadili dan menghukumnya, maka itu harus dengan persetujuan raja kami. Â Barulah adil namanya."
Semua orang berpaling ke asal suara. Â Seorang pemuda tampan yang terlihat halus dan terpelajar berbicara dengan lembut.
Madaharsa tertegun sejenak. Menatap si pemuda dan berkata,"dan kau adalah....?"
"Aku adalah Pangeran Bunga. Â Putera Baginda Raja Galuh Pakuan. Â Adik tiri kakakku yang gagah dan mulia, Andika Sinatria."Â
Madaharsa manggut manggut sambil mengerutkan kening. Â Sepertinya sedang berpikir keras.
"Baiklah, aku paham apa yang kau maksudkan pangeran muda. Â Begini saja agar adil, kami akan menangkap dan membawa Putri Anjani ke Ibukota Majapahit. Â Dewan Hakim akan memutuskan apakah gadis ini boleh disidangkan di Galuh Pakuan atau tetap di Majapahit."
Andika mengerutkan keningnya dalam dalam. Â Ini adalah sebuah tantangan baginya untuk memutuskan. Â Madaharsa memancingnya dengan sengaja.
"Maaf Madaharsa, aku pikir itu sudah menjadi keputusanku untuk menjaga hubungan baik dan kewibawaan antara Majapahit dan Galuh Pakuan, maka Putri Anjani yang memang bersalah akan kami sidang di pengadilan Kerajaan Galuh Pakuan."
Madaharsa tersenyum gembira mendengar pernyataan Andika Sinatria.
"Baiklah pangeran. Â Sudah jelas sekarang bagaimana sikapmu yang sama sekali tidak menghargai kedaulatan Majapahit. Â Aku akan melaporkan hal ini ke Mahapatih Gajahmada. Â Banyak saksi di sini yang mendengar semua kata katamu."
Madaharsa melanjutkan sambil masih tersenyum setengah mengejek.
"Sedangkan keputusan mengenai pengadilan Putri Anjani adalah tetap. Kami akan tetap menangkapnya. Â Sukarela atau dengan paksa."
Madaharsa menganggukkan kepala kepada Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria. Â Dua tokoh Sayap Sima itu tak ayal langsung saja bergerak ke arah Putri Anjani yang masih tergeletak tak berdaya. Â Andika Sinatria menghadang kedua tokoh tersebut. Â Pemuda ini bersiaga melindungi Putri Anjani. Â Tentu saja Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria tak mungurungkan niatnya. Â Pecahlah pertarungan di antara mereka dengan Andika Sinatria.Â
Melihat hal ini, Raja Iblis Nusakambangan maju untuk meringkus Putri Anjani. Â Kali ini yang maju melindungi Putri Anjani adalah Arya Dahana. Terjadilah gelanggang pertempuran kedua antara Raja Iblis Nusakambangan melawan Arya Dahana.Â
Putri Anjani yang tak berdaya namun masih tetap sadar, melihat Resi Amamba tiba tiba telah berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan untuk melumpuhkannya dengan totokan. Â Gadis ini hanya bisa memandang dengan pasrah.
Kembali upaya untuk melumpuhkan Putri Anjani gagal. Â Dyah Puspita menangkis totokan Resi Amamba dengan sigap. Â Tokoh yang berjuluk Resi Bertangan Baja ini menggeram marah. Â Dia langsung saja menyerang Dyah Puspita dengan kemarahan yang meluap.
Tubuh Hulubalang Kelabang melesat ke depan.  Sima Lodra dan Ayu Wulan tanpa ragu ragu menerjang Hulubalang Kelabang yang memang berniat melumpuhkan Putri Anjani.  Pecah lagi pertempuran babak kedua di antara mereka.  Diikuti juga dengan pertarungan  aneh antara Bledug Awu Awu melawan Nyai Genduk Roban.
Yang tersisa tinggal Madaharsa. Â Tokoh sesat ini tersenyum kecil. Dengan santainya maju ke arah Putri Anjani yang sudah tidak punya pelindung lagi. Namun langkah tokoh sesat tertahan sejenak. Â Pangeran Bunga berdiri di hadapannya sambil membungkuk hormat dan berkata lirih.
"Percayakan kepadaku mengenai hal ini pendekar gagah. Â Aku sendiri yang akan menyerahkan gadis ini kepadamu di ibukota Majapahit. Â Aku sudah mempunyai rencana mengenai hal ini. Â Hanya saja lepaskan dia saat ini. Â Aku mohon padamu. Â Percayalah."
Madaharsa memperhatikan setiap mimik wajah dan kalimat yang keluar dari pemuda itu ketika berbicara. Â Dia seperti bercermin pada masa mudanya dulu. Â Pemuda ini mirip sekali dengannya. Â Senyum palsu yang menyembunyikan pikiran pikiran liar dan licik. Â Dia hampir yakin bahwa pemuda ini pastilah seorang pemetik bunga. Â Penyuka gadis gadis cantik lalu mencampakkan begitu saja setelah menikmati tubuhnya. Â Benar benar mirip dia. Â
Pikiran ini membawa Madaharsa mengambil sebuah keputusan yang cerdik dan licik. Â Pemuda ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya dan Majapahit kelak.
"Anak muda, apa kau tertarik untuk menjadi muridku?"
Pangeran Bunga tercengang sesaat mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya ini. Â Namun pikirannya yang selalu berputar liar merasa bahwa ini bisa menjadi sebuah kesempatan yang bagus baginya. Â Pemuda ini melirik ke gelanggang pertempuran memeriksa apakah ada yang memperhatikan mereka atau tidak. Â Terutama Andika Sinatria. Â
Pertempuran masih berlangsung dengan sengit. Tidak seorangpun memperhatikan apa yang terjadi pada mereka berdua. Â Pemuda ini cepat cepat mengangguk pasti lalu memberikan sembah sujudnya kepada Madaharsa tanda bahwa dirinya menerima Madaharsa menjadi gurunya.
Madaharsa tersenyum puas dan memberi tanda agar Pangeran Bunga bangun dari sembahnya.Â
"Kita bisa ketemu di perbatasan selama 15 hari dalam setiap purnamanya. Â Aku akan mengajarkanmu ilmu ilmuku termasuk pukulan Bayu Lesus yang langka. Â Untuk menghindari kecurigaan orang. Â Temui aku di perbatasan tapi bukan di markas pasukan Majapahit. Â Temui aku di pinggiran sungai Cipamali yang terdapat batu besar bersusun tiga."
Kembali Pangeran Bunga membungkukkan tubuhnya tanda mengerti.
Madaharsa lalu bersuit nyaring untuk menghentikan pertempuran bagi orang orangnya. Â Tanda khusus yang merupakan kode pasukan Sayap Sima ini membuat Maesa Amuk, Siluman Lembah Muria dan Bledug Awu Awu menghentikan serangan serangan mereka terhadap lawan masing masing. Â
Secara bersamaan mereka menatap bertanya kepada Madaharsa yang sudah kembali berdiri di depan pasukan Sayap Sima.
Madaharsa berkata dengan lantang,
"Maesa dan yang lainnya...kita kembali ke Majapahit sekarang. Â Kita hargai pendapat sahabat sahabat kita dari Galuh Pakuan. Â Biarlah pengadilan Galuh Pakuan yang memutuskan apa hukuman bagi seorang pemberontak."
Sambil berkata demikian, Madaharsa menaiki kudanya meninggalkan tempat itu. Â diikuti kemudian oleh pasukan Sayap Sima, Maesa Amuk dan yang lainnya.
Raja Iblis Nusakambangan melihat perkembangan terbaru ini dengan kebingungan. Â Namun tokoh sesat ini kemudian berhitung. Â Mengalahkan mereka semua menjadi sangat sulit sekarang. Â Apalagi ada tiga orang yang sangat tangguh di diri Andika Sinatria, Dyah Puspita dan Arya Dahana. Belum lagi jika si nenek tua Nyai Genduk Roban ikut campur tangan dengan kehebatan sihirnya.Â
Setelah menimbang nimbang cukup lama, Raja Iblis yang cerdik itu memutuskan untuk tidak melanjutkan perseteruan ini. Â Pihaknya kalah kuat sekarang. Â Lagipula si nenek ahli sihir itu sudah menyatakan tidak akan mengganggu Lawa Agung jika mereka juga tidak mengganggu.
"Baiklah pangeran Galuh Pakuan...kami akan sudahi permusuhan ini. Â Tunggulah, kita pasti bertemu di arena peperangan Lawa Agung melawan Galuh Pakuan. Â Di situlah kami akan menghukum kalian yang berani menentang Sang Panglima Yang Agung dan Sang Permaisuri Yang Mulia."
Setelah berkata lantang penuh ancaman, Raja Iblis Nusakambangan melesat cepat meninggalkan tempat. Â Resi Amamba dan Hulubalang Kelabang juga berkelebat lenyap mengikuti sang pimpinan.
Setelah orang orang ganas dan mengerikan itu lenyap dari pandangan mata, Arya Dahana buru buru berlari menuju Putri Anjani yang masih tergeletak di tanah. Â Hampir saja pemuda itu bertabrakan dengan sosok lain yang juga berlari cepat. Â Arya Dahana menahan tubuhnya sambil memegangi lengan Dyah Puspita agar gadis itu tidak kehilangan keseimbangan.Â
Keduanya bertatapan sejenak. Â Mesra dan rindu di balik mata Dyah Puspita. Â Rindu dan salah tingkah di mata Arya Dahana. Â Keheningan yang takzim itu dipecahkan oleh suara bening yang memenuhi udara.
"Arya...ini obat yang kau perlukan untuk menyembuhkan Putri Anjani." Bimala Calya mengangsurkan sebuah bungkusan sambil menatap penuh selidik Dyah Puspita.
Yang ditatap balas menatap tajam. Â Siapa lagi gadis cantik yang dibawa Arya Dahana ini? Â Pemuda ini makin tengil dan menyebalkan saja! Â Sebentar saja berpisah dengannya sudah menggandeng lagi gadis baru.
Arya Dahana menjadi makin gugup karena tahu apa arti tatapan Dyah Puspita. Â Pemuda ini buru buru mengambil bungkusan obat dari tangan Bimala Calya lalu mencampurnya dalam air di wadah air minum. Â Setelah mengocoknya sebentar, pemuda ini berniat mendudukkan Putri Anjani agar memudahkan memberi minum obat.
Belum lagi tangan Arya Dahana bergerak, Bimala Calya sudah mendahuluinya mendudukkan Putri Anjani. Â Saat pemuda ini berjongkok untuk meminumkan obat, tiba tiba saja wadah di tangannya sudah berpindah tangan ke tangan Dyah Puspita. Â Arya Dahana linglung sebentar. Â Dia hanya bisa memperhatikan dengan wajah bengong kedua gadis di depannya bekerjasama memberi obat kepada Putri Anjani.
Ayu Wulan yang berdiri tidak terlalu jauh menggigit bibirnya menahan tawa melihat pemuda konyol itu terjebak dalam kebingungan yang lucu dan tolol. Â Saat sedang menikmati suasana yang aneh itu, Ayu Wulan dikejutkan dengan mendekatnya Pangeran Bunga di sampingnya. Â Gadis cantik cucu Nyai Genduk Roban itu mencoba bergeser menjauh. Â Namun Pangeran Bunga justru semakin mendekat. Â Mencoba membuka percakapan namun ditanggapi dengan dingin oleh gadis cantik yang tinggi langsing itu.
Andika Sinatria mendekat ke dalam kerumunan. Â Dipegangnya pergelangan tangan Putri Anjani. Â Dirasakannya denyut nadi gadis itu sangat lemah serta berdetak tidak teratur. Â Pangeran muda itu memegang agak lama. Â Memastikan ada perubahan setelah dilihatnya tadi Putri Anjani diberi obat oleh Dyah Puspita.
Memang benar, telapak tangan yang tadinya sangat dingin perlahan lahan menghangat. Â Detak nadi yang tadinya lemah berubah menguat. Â Mata gadis itu membuka dan mulai bersinar. Â Andika Sinatria menghela nafas lega. Â Diberinya tanda Bimala Calya agar membaringkan Putri Anjani kembali.
Bimala Calya menurut.  Dibaringkannya lagi gadis yang terluka parah itu ke tanah.  Setelahnya gadis itu berdiri dan mendekati  Arya Dahana yang sampai sekarang masih berdiri seperti orang linglung.
Untuk sesaat suasana sesepi kuburan. Â Andika Sinatria yang terbiasa menangani situasi yang kikuk membuka percakapan dengan mengucapkan terimakasih kepada semua yang ada di situ karena telah melindungi Putri Anjani dengan taruhan nyawa. Â Dyah Puspita mengabaikan ucapan terimakasih Andika Sinatria. Â Tatapannya tetap terpaku pada Bimala Calya yang sekarang malah bukan cuma mendekat ke Arya Dahana. Â Tapi menggandeng lengan pemuda itu!
"Arya, jawab pertanyaanku. Â Di mana kamu bertemu gadis genit ini? Â Apa tujuannya mengikutimu kesini?" Dyah Puspita bertanya kepada Arya Dahana namun tatapan matanya tak lepas kepada Bimala Calya.
Andika Sinatria yang dari tadi tidak menyadari keberadaan Bimala Calya terperanjat bukan main. Â Gadis yang hebat mengendalikan pasukan kelelawar ini ada di sini! Â Pangeran ini menimpali pertanyaan Dyah Puspita dengan pertanyaan juga.
"Bimala Calya, apakah kau hendak memata-matai kami? Â Tahukah kamu kalau aku bisa menangkapmu sebagai pemberontak Kerajaan Galuh Pakuan?"
Diberondong pertanyaan oleh Dyah Puspita dan Andika Sinatria membuat Bimala Calya pucat. Â Gadis itu memandang muka Arya Dahana dengan wajah mengiba seperti memohon pertolongan untuk menjawab.Â
Arya Dahana yang sedari tadi kikuk semakin salah tingkah dipandang dengan cara demikian. Â Dengan sedikit menghindari tatapan menuduh Dyah Puspita, pemuda ini menjawab.
"Andika Sinatria, Bimala Calya sudah berjanji tidak mau terlibat lagi dengan urusan Lawa Agung. Â Dia bukan pemberontak karena dia juga terpaksa ikut Panglima Kelelawar karena keadaan. Â Selain itu dia bisa membantumu memberikan informasi yang bermanfaat bagimu kalau kau bisa membujuknya dengan baik."
Arya Dahana melanjutkan,
"Puspa, namanya Bimala Calya. Â Dia seorang diri di dunia ini. Â Aku yakin dia bisa menjadi teman yang sangat baik untukmu."
Dyah Puspita mengerutkan alisnya yang indah mendengar jawaban yang asal ini. Â Ditariknya lengan kanan Arya Dahana dengan maksud menjauhi kerumunan. Â Tapi di sebelah sana, lengan kiri Arya Dahana dipegang dengan erat oleh Bimala Calya yang sekarang melotot kepada Dyah Puspita.
Arya Dahana seperti kehilangan darah di wajahnya. Â Pucat seperti kertas. Â Pemuda ini berada pada situasi yang sangat mengerikan baginya. Â Dia paling tidak bisa mengecewakan orang. Â Apalagi jika itu wanita. Â Dia tidak mungkin melepaskan pegangan dua gadis yang sudah siap saling terkam itu. Â
Andika Sinatria yang iba melihat Arya Dahana kebingungan, mencoba meredakan suasana dengan berkata sabar.
"Arya Dahana, sebaiknya kau ajaklah dua wanita cantik ini ke bawah pohon rindang di sudut sana. Â Pasti kalian bisa berbincang bincang dengan layak di sana."
Arya Dahana mengangguk penuh terimakasih. Â Dipegangnya tangan Dyah Puspita dan Bimala Calya. Â Dibimbingnya dua gadis yang masih sama sama melotot itu ke tempat yang ditunjuk Andika Sinatria. Â
Dua gadis itu tidak ada yang menolak. Â Mereka menurut saja ditarik tangannya oleh Arya Dahana. Â Sampai di tempat yang dituju, Arya Dahana meminta kedua gadis itu duduk baik baik dan lalu menjelaskan panjang lebar kepada Dyah Puspita apa yang sudah dilaluinya hingga akhirnya bertemu Bimala Calya. Â
Dyah Puspita mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan oleh Arya Dahana. Â Begitu sampai di bagian Arya Dahana bertemu dengan Andika Sinatria dan Dewi Mulia Ratri, Dyah Puspita mencondongkan tubuhnya ke muka dengan penuh perhatian.
".....begitulah Puspa. Â Sampai akhirnya aku memohon kepada Andika Sinatria dan Ratri...ehhh Dewi Mulia agar melepaskan Bimala Calya...."
Dyah Puspita sedikit tersentak melihat kegugupan Arya Dahana. Â Tapi belum sempat dia bertanya lebih jauh, Bimala Calya menyela.
"Dia menyelamatkan aku dan mendapatkan hadian tamparan beberapa kali dari gadis lihai Galuh Pakuan itu....iiiihhh tapi setelahnya mesra sekali....memalukan!"
Tanpa disengaja sama sekali, Bimala Calya menambah kayu bakar pada api yang sedari tadi sudah berkobar menyala. Â Padahal gadis itu sebetulnya hanya bermaksud melampiaskan kekesalannya pada saat peristiwa itu terjadi.
Dyah Puspita telihat memerah mukanya. Â Sorot matanya berapi api.
"Arya, apa yang dimaksud dengan mesra oleh gadis cilik ini??!... jelaskan!"
Arya Dahana menghela nafas panjang. Â Kemudian menjelaskan bagian yang memang sengaja tidak dia ceritakan agar tidak memancing kemarahan Dyah Puspita. Â Setelah mendengar lengkap cerita Arya Dahana, Dyah Puspita bangkit berdiri. Â Lalu tanpa mengucap kata dan menoleh lagi, berjalan pergi menjauh dengan kepala tertunduk.
Arya Dahana kehabisan kata kata untuk mencegah Dyah Puspita. Â Pemuda ini mendelik kepada Bimala Calya kemudian berlari mengejar Dyah Puspita. Â
Bimala Calya terhenyak kaget. Â Pemuda itu melotot marah padanya! Â Apa salahnya? Â Waktu kejadian dia hanyalah seorang saksi. Â Tapi jika sekarang mengingat lagi kejadian pada saat itu, hati Bimala Calya seperti ditusuk dan dia puas bisa menyuarakan kekesalannya sekarang.Â
Gadis ini tidak terima dipelototi oleh Arya Dahana. Â Dikejarnya pemuda yang sedang berusaha menyusul Dyah Puspita. Â Terjadilah kejar kejaran yang cukup menggelikan. Â
Arya Dahana mengejar Dyah Puspita yang sedang marah. Â Bimala Calya dengan wajah cemberut mengejar Arya Dahana. Â Andika Sinatria yang sedari tadi memperhatikan dari jauh, menggeleng gelengkan kepala. Â Jelas bahwa gadis sakti dari Majapahit itu mencintai Arya Dahana. Â Si pemuda juga terlihat mengasihinya. Â
Sedangkan gadis dari Lawa Agung itu terlihat sangat cemburu. Â Pangeran ini jadi mengingat Dewi Mulia Ratri. Â Rasa rindu tiba tiba menampar hatinya.
Sementara itu, Pangeran Bunga masih saja berusaha mendekati Ayu Wulan. Â Dengan wajah ramah berlebihan, pemuda ini mengajak berkenalan dan berbincang bincang. Â Yang diajak terlihat sama sekali tidak tertarik. Â Bahkan sekarang pergi menjauh mendekati Dyah Puspita yang sedang duduk terpekur di pinggiran sungai. Â Pangeran Bunga memerah mukanya. Â Tadi dia tertarik sekali dengan kecantikan gadis yang tinggi langsing ini. Â Tapi malah ditinggal pergi. Â
Hmmm... bertambah lagi gadis yang harus ditaklukkan dengan paksa nanti.
Ayu Wulan duduk di sebelah Dyah Puspita. Â Dipeluknya tubuh gadis yang juga gurunya ini. Â Selama beberapa lama berkumpul bersama, kedua gadis ini memang menjadi sangat dekat. Â Bukan seperti hubungan guru dan murid, tapi lebih pada hubungan kakak dan adik. Â Dyah Puspita tersenyum merasakan pelukan peduli dari Ayu Wulan. Â Cucu Nyai Genduk Roban ini sangat lembut. Â Perasaannya sangat halus. Â Dipeluknya ganti muridnya ini. Lalu keduanya terdiam memandang air terjun yang sedang terjun dengan diam diam.
Melihat Dyah Puspita ditemani oleh Ayu Wulan. Â Arya Dahana mengurungkan niatnya menghampiri. Â Pemuda ini membalikkan badan berniat memeriksa keadaan Putri Anjani. Â Dan di depannya sudah berdiri Bimala Calya berkacak pinggang dengan mata berkaca kaca.
"Ka..kamu... pemuda hidung belang Arya!..." suara gadis itu mengandung isakan.
Arya Dahana bengong lagi untuk kesekian kalinya. Â Pemuda ini tak habis pikir. Â Para wanita ini selalu berpikir aneh tentang kebaikan hatinya. Sejak kapan dia menjadi hidung belang?
Pemuda ini menghela nafas panjang. Â Bimala Calya tetap di depannya tanpa kata kata. Â Hanya matanya yang mengalirkan ribuan kata. Â Arya Dahana memegang lembut bahu gadis cantik itu.
"Mala, aku tidak pernah bermaksud menjadi hidung belang. Â Karena pastilah terlihat jelek jika belang belang. Â Tenangkan hatimu. Â Aku hanya ingin memastikan obat yang kita dapatkan dengan susah payah untuk Putri Anjani bekerja dengan baik."
"Tidak lucu!...nanti kita harus bicara Arya. Â Kamu tahu, aku pergi dari dunia yang gelap karena kamu. Â Kalau sampai kamu mempermainkan aku, aku bukan hanya akan kembali ke duniaku yang gelap...aku akan menjadi kegelapan itu sendiri!" Bimala Calya berucap sambil terisak, lalu pergi menyendiri di depan pondok rumah Ayu Wulan.
Arya Dahana menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Â Pemuda ini menghampiri Andika Sinatria yang masih berjongkok di samping Putri Anjani.
"Bagaimana keadaannya pangeran? Dulu dia terkena totokan Bayu Lesus yang dahsyat. Â Hari ini dia terluka parah terkena pukulan Hulubalang Kelabang."
Andika Sinatria mengangkat kepalanya.
"Dia akan baik baik saja Arya. Â Hanya pemulihannya perlu waktu yang agak panjang. Â Aku akan membawanya ke ibukota Galuh Pakuan agar bisa dirawat tabib istana."
Arya Dahana mengangguk senang. Â Ditatapnya Putri Anjani yang sudah sadarkan diri. Â Gadis manis itu melihatnya dengan tatapan terimakasih. Â Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Â Andika Sinatria mengambil sesuatu dari balik bajunya. Â Ditiupnya benda kecil yang mengeluarkan suara lengkingan tinggi. Â Terdengar derap kaki kuda memasuki lembah. Â Beberapa orang pengawal istana berbaju biasa berdatangan. Â Mereka berbaju biasa dan bukan seragam untuk menghindari kecurigaan Majapahit.
Setelah Putri Anjani dinaikkan kuda dengan Andika Sinatria duduk menjaga di belakangnya agar gadis itu tak terjatuh, rombongan itu berangkat pulang menuju ibukota Galuh Pakuan.
Arya Dahana berusaha membujuk Bimala Calya agar mau tinggal di Alas Roban bersama Ayu Wulan dan neneknya sementara dia dan Dyah Puspita akan memulai perjalanan panjang menuju Gunung Merapi. Â Tidak lama lagi, naga raksasa merapi akan terbangun dari tidurnya.
"Mala, aku dan Puspa akan pergi ke puncak Merapi. Â Tinggallah di sini selama kami pergi. Â Aku tidak bermaksud meninggalkanmu dan aku tidak ingin kamu kembali ke Lawa Agung lagi. Â Hanya Puspalah yang bisa menolongku mendapatkan Mustika Naga Api. Â Satu satunya obat yang bisa menyembuhkan aku di dunia ini. Â Kamu sudah tahu ceritanya bukan?"
Arya Dahana memulai bujukannya.
Bimala Calya menyipitkan matanya. Â Mulutnya tersenyum pedih.
"Jadi kau mau pergi dengan gadis ini Arya? Â Apa salahnya juga kalau kau mengajakku? Aku juga bisa membantumu...dengan taruhan nyawaku." Â Mata gadis ini meredup seperti kehilangan cahaya. Â Suaranya bergetar memohon saat berkata kata.
"Kau tahu persis bahwa aku tidak mungkin berpisah denganmu.... Â Aku akan kehilangan pegangan hidupku.... Â Aku tidak punya sanak saudara.... Â Aku tidak tahu harus kemana. Â Aku hanya tahu bahwa berjalan denganmu membuatku melupakan kesendirianku.....aku hanya tahu bahwa berjalan denganmu membuatku menjadi orang paling bahagia sedunia....."
Kali ini ada isakan perih dalam kalimatnya yang panjang. Â Dua aliran kecil airmata menelusuri pipinya. Â Bahkan Dyah Puspita yang dari tadi setengah melotot, ikut berkaca kaca matanya. Â Ayu Wulan yang juga menyaksikan agak di kejauhan malah telah meneteskan airmata.
"Baru kali ini aku merasakan yang namanya kasih...baru kali ini aku menyadari bahwa ada cinta di dunia yang keras ini...jangan kau buang dengan paksa Arya...ijinkan aku mengikutimu...meski aku hanya boleh berjalan puluhan langkah di belakangmu....meski aku hanya akan jadi pelayanmu...."
Suara Bimala Calya makin lama makin lirih. Â Tidak bisa dicegah lagi, aliran airmata menderas di pipi gadis itu. Â Ayu Wulan malah sudah menangis sesenggukan melihat keadaan yang mengharu biru ini. Â Dyah Puspita sampai harus memalingkan muka karena tidak tahan untuk tidak meneteskan airmata juga.
Arya Dahana terpaku diam. Â Gadis ini sebatangkara. Â Sudah bersumpah tak mau kembali lagi ke tempat asalnya yang dipenuhi hawa kekerasan dan kejahatan. Â Dia telah merubah jalan hidup seorang gadis yang dulunya tertawa ketika pasukan kelelawarnya membawa seribu ketakutan, menjadi seorang gadis yang menangis tersedu sedu saat menjumpai seorang anak kecil memanggil manggil orang tuanya yang tewas karena mempertahankan kampungnya dari serbuan perompak.
Pemuda ini menjadi serba salah. Â Iba jika tidak mengajak gadis itu dan meninggalkannya dengan orang yang baru dikenal. Â Namun dia juga tahu bagaimana perasaan Dyah Puspita jika dia mengajaknya serta. Â Arya Dahana melihat sekeliling barangkali ada yang bisa memberikannya nasehat bagaimana seharusnya dia memutuskan. Â Tapi semuanya sedang diliputi keharuan yang dalam. Â Nenek Nyai Gendut Roban terlihat menunduk, entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Arya.... ajaklah gadis itu ikut kita. Â Aku tidak keberatan. Â Dia adalah mutiara yang sebelumnya tenggelam dalam lumpur. Â Kau telah menemukannya...kau juga harus membersihkannya hingga mengkilat..." terdengar bisikan lirih dan sendu Dyah Puspita di telinga Arya Dahana.Â
Pemuda itu berpaling mencoba menemukan wajah Dyah Puspita. Â Gadis cantik itu menatapnya dengan pandang mata penuh mengerti. Â Arya Dahana mengangguk terharu. Â Gadis ini luar biasa sekali. Â Digenggamnya tangan yang berkali kali menyelamatkan nyawanya itu dengan hangat sambil berkata kepada Bimala Calya.
"Baiklah Mala, kau boleh ikut dengan kami. Â Tapi ingat, kau bukanlah pelayan kami. Â Dan kau harus berjalan beriringan dengan kami, bukan di belakang kami..."
Bimala Calya mengangkat mukanya yang basah oleh air mata. Â Mata yang tadinya redup, berbinar seketika seperti kejora. Â Kontan saja gadis ini melompat memeluk....Dyah Puspita!
"Terimakasih...terimakasih kakak yang cantik..." Gadis ini menangis gembira terisak isak di bahu Dyah Puspita yang tersenyum getir namun sabar.
Sore itu akhirnya dihabiskan untuk persiapan perjalanan esok harinya. Â Arya Dahana mencari ikan yang cukup banyak agar bisa diasap untuk perbekalan. Â Dyah Puspita mengajak Ayu Wulan dan Bimala Calya berburu sayur sayuran dan membungkus beras secukupnya. Â Sementara Nyai Genduk Roban memilih untuk beristrahat setelah lagi lagi harus menguras tenaga bertempur melawan Bledug Awu Awu.
*******
Bersambung Bab VIII
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H