Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Petualangan Cinta Air dan Api

31 Desember 2018   09:25 Diperbarui: 31 Desember 2018   09:41 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baru kali ini aku merasakan yang namanya kasih...baru kali ini aku menyadari bahwa ada cinta di dunia yang keras ini...jangan kau buang dengan paksa Arya...ijinkan aku mengikutimu...meski aku hanya boleh berjalan puluhan langkah di belakangmu....meski aku hanya akan jadi pelayanmu...."

Suara Bimala Calya makin lama makin lirih.  Tidak bisa dicegah lagi, aliran airmata menderas di pipi gadis itu.  Ayu Wulan malah sudah menangis sesenggukan melihat keadaan yang mengharu biru ini.  Dyah Puspita sampai harus memalingkan muka karena tidak tahan untuk tidak meneteskan airmata juga.

Arya Dahana terpaku diam.  Gadis ini sebatangkara.  Sudah bersumpah tak mau kembali lagi ke tempat asalnya yang dipenuhi hawa kekerasan dan kejahatan.  Dia telah merubah jalan hidup seorang gadis yang dulunya tertawa ketika pasukan kelelawarnya membawa seribu ketakutan, menjadi seorang gadis yang menangis tersedu sedu saat menjumpai seorang anak kecil memanggil manggil orang tuanya yang tewas karena mempertahankan kampungnya dari serbuan perompak.

Pemuda ini menjadi serba salah.  Iba jika tidak mengajak gadis itu dan meninggalkannya dengan orang yang baru dikenal.  Namun dia juga tahu bagaimana perasaan Dyah Puspita jika dia mengajaknya serta.  Arya Dahana melihat sekeliling barangkali ada yang bisa memberikannya nasehat bagaimana seharusnya dia memutuskan.  Tapi semuanya sedang diliputi keharuan yang dalam.  Nenek Nyai Gendut Roban terlihat menunduk, entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Arya.... ajaklah gadis itu ikut kita.  Aku tidak keberatan.  Dia adalah mutiara yang sebelumnya tenggelam dalam lumpur.  Kau telah menemukannya...kau juga harus membersihkannya hingga mengkilat..." terdengar bisikan lirih dan sendu Dyah Puspita di telinga Arya Dahana. 

Pemuda itu berpaling mencoba menemukan wajah Dyah Puspita.  Gadis cantik itu menatapnya dengan pandang mata penuh mengerti.  Arya Dahana mengangguk terharu.  Gadis ini luar biasa sekali.  Digenggamnya tangan yang berkali kali menyelamatkan nyawanya itu dengan hangat sambil berkata kepada Bimala Calya.

"Baiklah Mala, kau boleh ikut dengan kami.  Tapi ingat, kau bukanlah pelayan kami.  Dan kau harus berjalan beriringan dengan kami, bukan di belakang kami..."

Bimala Calya mengangkat mukanya yang basah oleh air mata.  Mata yang tadinya redup, berbinar seketika seperti kejora.  Kontan saja gadis ini melompat memeluk....Dyah Puspita!

"Terimakasih...terimakasih kakak yang cantik..." Gadis ini menangis gembira terisak isak di bahu Dyah Puspita yang tersenyum getir namun sabar.

Sore itu akhirnya dihabiskan untuk persiapan perjalanan esok harinya.  Arya Dahana mencari ikan yang cukup banyak agar bisa diasap untuk perbekalan.  Dyah Puspita mengajak Ayu Wulan dan Bimala Calya berburu sayur sayuran dan membungkus beras secukupnya.  Sementara Nyai Genduk Roban memilih untuk beristrahat setelah lagi lagi harus menguras tenaga bertempur melawan Bledug Awu Awu.

*******
Bersambung Bab VIII

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun