Remaja merupakan jembatan dari tangga anak-anak menuju tangga kedewasaan.
Terdapat perbedaan pandangan tetapi tidak signifikan terkait dengan penentuan rentang
waktu masa remaja. Ada pakar yang menyebutkan rentang usia remaja adalah dari usia
12--18 tahun yang terbagi menjadi dua periode, yaitu periode pra pubertas dari usia 12-14
tahun dan periode pubertas dari usia 14--18 tahun (Azizah, 2013). World Health
Organization (WHO) juga membagi periodisasi remaja menjadi dua, yaitu masa remaja
awal dari usia 10-14 tahun dan masa remaja akhir dari usia 15-20 tahun. Sementara
Hurlock membagi periodesasi masa remaja menjadi tiga periode yaitu remaja awal (early
adolescence) dari usia 12-14 tahun, remaja madya (middle adolescence) dari usia 15-18
tahun dan remaja akhir (late adolescence) dari usia 19-21 tahun. Masing masing periode
ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda (Jannah, 2016).
Menurut Utomo & Ifadah (2019) masing-masing tahapan pada periodisasi masa
remaja mempunyai titik fokus yang berbeda, dimana pada masa remaja awal merupakan
masa transisi dari anak-anak kepada masa pubertas dan anak pada masa ini ingin
bertindak seperti orang dewasa tetapi pada hakikatnya dia belum siap menjadi dewasa.
Fokus perkembangan remaja awal ini tertuju kepada perubahan fisik yang dialaminya
dimana terjadinya kematangan seksual yang sesungguhnya. Sementara pada masa remaja
madya atau disebut dengan masa pubertas fokus aktivitas remaja pada penemuan jati diri,
pertumbuhan pedoman kehidupan dan melibatkan diri pada kegiatan di masyarakat.
Sedangkan pada masa remaja akhir, remaja sudah mulai mempunyai sikap positif
terhadap sistem tata nilai, sudah mempunyai rencana hidup yang jelas dan mapan, sudah
menentukan sikap hidup berdasarkan nilai yang diyakininya dan dalam menentukan
pendamping hidup berdasarkan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek (Utomo
& Ifadah, 2019).
Salah satu aspek yang berkembang pada masa remaja adalah aspek psikososial.
Perkembangan psikososial adalah perkembangan individu yang dipengaruhi oleh
interaksi sosial dengan individu lain. Perkembangan ini melibatkan perasaan, emosi dan
kepribadian individu serta perubahan yang terjadi setelahnya (Putri, 2021). Dalam hal
ini, perkembangan psikososial juga dimaknakan sebagai proses belajar bagi individu
dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma dan aturan yang ada di lingkunganya
Salah satu tokoh yang berkontribusi dalam mencetuskan teori
perkembangan psikosoial adalah Erick H. Erikson. Menurut Erikson, terdapat delapan
tahapan perkembangan psikososial individu yang saling berkaitan antara tahapan yang
sebelumnya dengan tahapan berikutnya. Teori ini melihat delapan kronologis yang akan
dialami manusia dalam kehidupannya sebagai akibat dari perubahan lingkungannya.
Teori ini mencoba mensinkronkan antara perkembangan individu dengan harapan sosial.
Menurut Erikson, setiap tahapan perkembangan mempunyai tantangan tersendiri yang
disebut dengan krisis (Sobh, 2020). Dengan kata lain, krisis adalah suatu masalah yang
harus dihadapi oleh individu dalam setiap tahapan perkembangannya (Nurhayati, 2015).
Di masa remaja, tahapan perkembangan psikososialnya berada pada tahapan
identity (identitas) versus identity confusion (kebingungan identitas). Yang dimaksud
dengan identitas (identity) di sini adalah konsep tentang diri yang koheren yang terdiri
dari tujuan, nilai dan keyakinan yang menjadi komitmen kuat seseorang (Papalia et al.,
2007, p. 437). Menurut Erikson, tugas utama remaja adalah memecahkan krisis identitas
dan kebingungan identitas, membangun identitas yang unik yang mereka miliki, menjalin
hubungan dengan lingkungan agar diakui keberadaannya dan menciptakan hubungan
yang bermakna dengan orang lain (Sobh, 2020). Dalam hal ini, menurut Adams &
Marshall (1996), identitas itu dapat diberikan dan dapat dipilih. Dalam konteks
masyarakat modern, identitas cenderung dipilih tergantung kepada nilai dan tujuan
individu. Sementara identitas yang diberikan biasanya berdasarkan kepada nilai,
keyakinan dan perilaku yang diberikan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Tolok
ukur keberhasilan remaja dalam menemukan identitasnya menurut Erikson adalah ketika
mereka berhasil memecahkan masalah yang berkaitan dengan tiga hal, yaitu pilihan
pekerjaan, adopsi nilai yang diyakini dan perkembangan identitas seksual yang
memuaskan adalah apabila remaja sudah memiliki pemahaman dan mampu beradaptasi
dengan dirinya sendiri dan kehidupan sosialnya, pekerjaan dan nilai-nilai agama.
Sebaliknya, jika remaja tidak mampu menyelesaikan krisis identitasnya, maka akan
muncul kebingungan peran dan ketidakjelasan identitas (Inayah et al., 2021). Remaja
yang mengalami kebingungan identitas ini merasa tidak mampu, tidak berdaya, turun
harga dirinya dan pesimis dalam menghadapi masa depannya (Nurhayati, 2015). Bagi
remaja tertentu yang mengalami kondisi ini, mereka akan memilih melakukan hal-hal
yang negatif agar mendapatkan identitas walaupun identitas yang diperolehnya identitas
buruk, lebih baik ini dilakukan daripada mereka tidak mempunyai identitas sama sekali
(Nadiah et al., 2021). Hal ini yang menyebabkan banyak remaja terjerumus kepada
kenakalan remaja (Inayah et al., 2021).
Konsep Remaja Dalam Islam
Menurut Quraisy Shihab (2004) dan Abdullah Nashih Ulwan (1999), istilah remaja
yang digunakan dalam al-Qur'an adalah kata "baligh" yang berarti sampai. Biasanya,
penggunaan istilah baligh digabungkan dengan kata akil yang bermakna orang yang
cakap, cerdas atau pintar. Sementara secara istilah, akil adalah remaja yang cakap dan
pintar serta mampu memilih sesuatu yang dianggap baik (Umami, 2019). Sedangkan
baligh adalah sampainya usia individu yang dianggap dewasa atau sudah mengalami
tanda-tanda perubahan fisik menuju kedewasaan. Tanda baligh bagi perempuan adalah
keluarnya darah menstruasi pertama (menarche) sedangkan bagi laki-laki adalah
keluarnya sperma pertama (polutsio) melalui mimpi yang merasakan kepuasan seksual
(Azizah, 2013). Dengan demikian, secara sederhana, dapat disimpulkan akil bermakna
matang dari segi akal pikirannya sedangkan baligh bermakna matang secara fisik dimana
organ-organ reproduksi individu sudah dapat berfungsi seperti orang dewasa dan ini
merupakan tanda awal masa remaja.
Dalam Islam, individu yang mencapai usia akil baligh ini berarti ia sudah terikat
oleh kewajiban agama yang disebut sebagai mukallaf (Umami, 2019). Dengan kata lain,
individu yang sudah mukallaf sudah mempunyai tanggung jawab yang sama seperti orang
dewasa yaitu harus menjalankan perintah Tuhannya dan menjauhi larangan Tuhannya
dalam segala aspek kehidupan. Islam telah mengatur hal-hal yang boleh dilakukan remaja
dan yang tidak boleh dilakukannya, misalnya menjaga aurat, tidak boleh meninggalkan
shalat, tidur di kamar sendiri, meminta izin ketika memasuki kamar orang tua dan
sebagainya (Jannah, 2016; Siti Fatimah, 2018). Dengan kematangan akal yang
dimiliknya, maka diharapkan remaja dapat menggunakan segala potensi yang ada pada
dirinya ke arah kebaikan atau hal-hal yang positif. Hal ini dikarenakan setiap individu
sudah diberikan petunjuk oleh Tuhan mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah
(QS. Asy-syams: 8-10) tergantung kepada individu tersebut memilih jalan yang mana.
Dalam al-Qur'an banyak dikisahkan sosok-sosok remaja baik yang mampu
menemukan identitasnya maupun sosok remaja yang mengalami kebingungan identitas.
Seperti remaja atau pemuda ashhabul kahfi (penghuni gua) (Siti Fatimah, 2018) yang
mempunyai keimanan yang tinggi sehingga mereka tetap teguh mempertahankan
keyakinannya kepada Tuhannya walaupun taruhannya adalah nyawa mereka karena
menyalahi aturan kerajaan pada waktu itu (QS. Al-Kahfi: 10). Begitu juga remaja Ismail
AS yang dengan penuh keyakinan menjalankan perintah Tuhannya (Khusni, 2018)
sekalipun harus mengorbankan nyawanya (QS. Ash-Shaffat: 102). Sebaliknya, sosok
remaja yang mengalami kebingungan identitas juga digambarkan dalam al-Qur'an seperti
sosok remaja Kan'an yang tidak mengindahkan ajakan sang ayah untuk mempunyai
keyakinan yang sama (QS. Hud: 42). Begitu juga dengan remaja Qabil yang rela
menghabisi nyawa saudara kandungnya sendiri (QS. Al-Maidah: 27-31). Remaja dengan
tipe ini mereka lebih cenderung mengikuti hawa nafsunya sekalipun jalan yang
ditempuhnya merupakan jalan yang sesat.
Sintesa Psikososial Remaja Menurut Erick Erikson Dengan Konsep Islam
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa perkembangan psikososial pada masa
remaja menurut Erick H. Erikson adalah berada pada tahapan kelima dari delapan
tahapan yaitu menemukan identitas atau mengalami kebingungan identitas. Remaja
menemukan identitasnya dengan memaknai identitas yang dimilikinya mulai dari masa
lalu, masa dimana dia berada dan bayangan identitas di masa depannya sementara remaja mengalami kebingungan identitas tidak
terjadi begitu saja, tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya seperti terjadinya
perubahan fisik yang signifikan yang berdampak kepada perubahan penampilan diri
remaja dan perubahan perlakuan maupun penerimaan remaja di hadapan orang-orang
sekitarnya yang dapat menyulut emosi mereka menjadi labil. Faktor-faktor tersebut
membuat remaja mengalami krisis identitas.
Jika dilihat dari tolok ukur keberhasilan remaja dalam menemukan identitasnya,
dimana menurut Erikson (dalam Papalia et al., 2007) setidaknya tiga hal yang harus
diperhatikan oleh remaja yaitu masalah pekerjaan, keyakinan yang dianutnya dan juga
kepuasan seksualnya, maka remaja dapat menemukan identitasnya melalui bimbingan
dan arahan dari lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Tolok ukur ini jika dianalisis,
mengindikasikan bahwa penemuan identitas remaja itu tidak bisa dilakukan oleh remaja
di masa remaja awal. Hal ini disebabkan remaja awal belum memikirkan tentang
pekerjaan apa yang ingin mereka miliki nanti dan juga kepuasan seksual yang ingin
diperolehnya. Jika dikaitkan dengan konsep Islam, maka tolok ukur yang ketiga
bertentangan dengan nilai-nilai Islam karena dalam Islam jika individu ingin
mendapatkan kepuasan seksual, maka harus dibingkai dengan ikatan suci yaitu
pernikahan. Dan biasanya pernikahan hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa.
|Maka tolak ukur keberhasilan dalam menemukan identitas bagi remaja yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam adalah indikator menurut LN & Sugandhi ( 2011) dimana remaja
mampu beradaptasi dengan dirinya dan lingkungan sosialnya, dengan nilai-nilai
agamanya serta mempunyai pemahaman terhadap pekerjaan yang akan dilakukannya di
masa depannya. Dalam hal ini beradaptasi dengan dirinya sendiri bermakna remaja
tersebut mempunyai kemampuan mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan yang
dimilikinya. Selain itu, remaja tersebut juga sudah mempunyai pemahaman tentang
norma-norma atau aturan-aturan yang ada di sekitarnya seperti menghormati orang tua,
berkata yang sopan dengan orang yang lebih tua dan sebagainya. Sementara, beradaptasi
dengan nilai-nilai agama bermakna bahwa remaja tersebut sudah mempunyai pemahaman
apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan menurut agamanya. Karena di
dalam agama terdapat ajaran-ajaran yang harus dijunjung tinggi oleh penganutnya. Maka
remaja yang menemukan identitasnya, mampu melaksanakan perintah agamanya dengan
baik. Sedangkan tentang pekerjaan yang akan digelutinya di masa depannya memberikan
makna bahwa remaja tersebut sudah mempunyai cita-cita yang akan dikejarnya yang
merupakan gambaran masa depannya.
Diantara indikator-indikator tersebut, maka yang paling penting dalam perspektif
Islam adalah remaja mampu menyesuaikan dirinya dengan nilai-nilai agama Islam. Hal
ini disebabkan, dalam Islam remaja merupakan masa awal pemberian beban untuk
melaksanakan ajaran-ajaran agama atau disebut dengan mukallaf (Umami, 2019). Dalam
hal ini segala tindakan yang dilakukan oleh remaja sudah menjadi tanggung jawabnya
sendiri; jika sesuai dengan perintah Tuhannya, maka dia mendapatkan reward (pahala),
sebaliknya jika melanggarnya maka mendapatkan konsekuensinya berupa dosa dan hal
ini sudah menjadi tanggung jawab mutlak remaja. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
nilai-nilai agama sangat penting untuk diajarkan sebelum masa remaja agar ketika mereka
sudah memasuki masa remaja, mereka sudah siap menerima tanggung jawab tersebut.
Dalam pandangan penulis, jika remaja sudah mempunyai pemahaman yang benar
tentang nilai-nilai ajaran Islam, maka hal ini cukup baginya untuk menemukan identitas
dirinya tanpa harus mengalami masa krisis identitas yang bisa menyebabkannya
mengalami kebingungan identitas. Namun demikian, dalam realitanya tidak semua
remaja muslim sekalipun sudah mempunyai pemahaman tentang nilai-nilai Islam, masih
mengalami kebingungan identitas. Hal ini disebabkan antara tontonan yang ada di
sekitaranya, baik melalui internet maupun media lainnya mempertontonkan profil remaja
yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini membuat remaja yang belum
mempunyai keyakinan agama yang kuat lebih mengikuti tontonan tersebut daripada nilainilai agama yang dianutnya.
Dalam hal ini, sintesa yang dimaksud dalam tulisan ini adalah ketika remaja sudah
memahami bagaimana konsep remaja dalam Islam, maka ia tidak akan mencari-cari lagi
identitas apa yang akan dipilihnya. Cukup dengan mengikuti aturan agama Islam, remaja
tersebut dengan sendirinya akan menemukan kejelasan identitasnya. Jika remaja tersebut
sudah mengikuti aturan yang seharusnya dilakukan seperti menjalankan dasar-dasar
agama seperti shalat lima waktu, menutup aurat, berpuasa di bulan Ramadhan dan
membayar zakat dan lain-lain, maka dia tidak akan terjerumus kepada hal-hal yang negatif. Hal ini disebabkan Islam sudah mengatur segala aspek kehidupan manusia
termasuk kehidupan remaja (Daud & Azahari, 2019).
Sintesa ini sangat mungkin untuk dilakukan dikarenakan dalam Islam masa remaja
disebut sebagai masa akil baligh dimana dia sudah mempunyai kematangan berfikir dan
kematangan fisik. Dengan kematangan berfikirnya, yang jika dikaitkan dengan teori Jean
Piaget berada pada tahap operasional formal, idealnya remaja muslim sudah mampu
membedakan mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga tidak salah
jika dengan kematangan berfikir dan fisiknya, Tuhan memberikan beban tanggungjawab
sebagaimana beban orang dewasa. Tentunya pemahaman tentang beban tanggungjawab
agama ini tidak bisa langsung disadari sepenuhnya oleh remaja tetapi berlahan tapi pasti
diharapkan seiring dengan bertambahnya usia, bertambah pula kesempurnaannya dalam
menjalankan beban tanggung jawab agamanya dengan baik. Dengan demikian, dalam
pandangan Islam, remaja tidak perlu mengalami kebingungan identitas jika ia kembali
kepada agamanya.
Apabila remaja sudah menemukan identitasnya, maka dia bisa menapaki episode
kehidupan selanjutnya tanpa harus berkutat menemukan identitasnya. Artinya masalah
kejelasan identitasnya sudah selesai sehingga remaja tersebut bisa fokus kepada aktivitas
lain yang dapat mengembangkan identitas dirinya. Jika ditelusuri dalam al-Qur'an, Hal
ini nampak pada sosok nabi Daud AS yang ketika remaja sudah mempunyai keberanian
berpartisipasi dalam peperangan dan dia berhasil melawan musuhnya (QS. Al-Baqarah:
251). Begitu juga dengan sosok nabi Ismail AS ketika remaja yang sudah mendapatkan
pendidikan agama dari ibunya Hajar menjadikan dia ikhlas disembelih oleh ayahnya demi
menjalankan perintah Tuhannya (QS. As-Shaffat: 102). Hal ini sesuai dengan pandangan
Erikson yang menyatakan bahwa kepribadian yang kuat muncul apabila unsur-unsurnya
berhubungan secara kuat dalam mencapai tujuan pokok dalam kehidupannya (Huriati &
Hidayah, 2016). Dalam hal ini nabi Ismail AS sudah mengetahui tujuan hidupnya
sehingga beliau mempunyai kepribadian yang kokoh yang tidak digoyahkan walaupun
taruhannya adalah nyawanya. Selain itu, terdapat pula kisah remaja yang diceritakan
dalam hadits bahwa seorang raja mencari pengganti penyihirnya yang sudah lanjut usia
sehingga dikirimkan seorang remaja yang pandai. Setiap hari dia belajar sihir kepada
penyihir dan setiap hari pula dia belajar agama kepada rahib. Di sini, remaja ini sedang
mengalami krisis identitas yang menjadikannya kebingungan identitas antara mengikuti
penyihir atau rahib. Namun pada akhirnya dia berhasil menemukan identitasnya setelah
dapat membuktikan kebenaran ilmu agama yang dipelajarinya dari sang rahib. Akhirnya
dia sudah mempunyai keyakinan yang kuat terhadap agamanya yang membawanya
kepada kematiannya yang agung karena menentang sang raja demi mempertahankan
keyakinannya (Al-Hilal, 2005).
Namun demikian, dalam al-Qur'an pun juga digambarkan sosok remaja walaupun
dia berada dalam bimbingan orang tua yang mempunyai pemahaman nilai-nilai agama
yang tinggi, tetapi remaja ini memilih identitasnya sendiri yang berbeda dengan orang
tuanya, sehingga menyebabkan kebinasaan yang diterimanya. Ini menunjukkan bahwa
dalam perspektif Islam, apabila remaja mencoba memilih identitas lain selain yang
diajarkan oleh agama, maka pada hakikatnya identitas yang dipilihnya berpeluang mengantarkannya kepada kebingungan identitas dan dapat membawanya kepada hal-hal
negatif. Hal ini tersirat dalam surat Maryam ayat 59 yang artinya: "Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan."
Menyikapi hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi remaja mengalami
kebingungan identitas (Huriati & Hidayah, 2016), yaitu:
a. Merasa terikat dengan adanya aturan
Sebagian remaja merasa bahwa mereka menginginkan kebebasan dan tidak ingin
dikekang terutama pada masa ini mereka masih mencari-cari identitas diri mereka.
Sementara aturan yang ada dianggap sebagai pengekangan sehingga mereka tidak
memilih aturan itu sebagai pilihan dalam menemukan identitasnya.
b. Mengejar penerimaan dari lingkungan
Pola pikir masyarakat yang ada di lingkungan sekitar terutama di era media sosial saat
ini, memberikan pengaruh terhadap tindakan individu. Hal ini menyebabkan remaja
yang sedang mengalami krisis identitas mencoba memainkan peran atau mengikuti
aktivitas yang dilakukan orang banyak yang belum tentu sesuai dengan identitas
dirinya sehingga mengakibatkan kekacauan peran atau kebingungan identitas.
c. Memiliki pandangan yang bersifat pragmatis tentang kehidupan
Terkadang sebagian remaja hanya memikirkan sesuatu yang menyenangkan dalam
hidupnya tanpa memperhatikan apa tujuan hidupnya. Sehingga mereka memiliki
pandangan yang sempit tentang hidup. Akibat pemikiran yang sempit terkadang
membuat remaja memilih jalan pintas dalam menyelesaikan masalahnya seperti bunuh
diri, tentunya hal ini sangat tidak dikehendaki. Tidak adanya pengetahuan tentang
tujuan hidup juga disebabkan kurangnya pemahaman tentang agama yang merupakan
pedoman hidup bagi manusia.
d. Faktor internal yang berupa lemahnya kepribadian yang membuat remaja mudah
terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik, ketidakberuntungan kondisi diri baik
fisik maupun psikis yang dapat menjadikan remaja minder dan menarik diri dari
masyarakat, dan pemahaman yang salah dimana terkadang remaja tidak mendapatkan
informasi yang ben
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H