Mohon tunggu...
mayang Desma Dwiyana
mayang Desma Dwiyana Mohon Tunggu... Guru - Guru

Volly ball

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori psikososial Erik Erikson

19 Januari 2025   18:32 Diperbarui: 19 Januari 2025   18:32 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Remaja merupakan jembatan dari tangga anak-anak menuju tangga kedewasaan.

Terdapat perbedaan pandangan tetapi tidak signifikan terkait dengan penentuan rentang

waktu masa remaja. Ada pakar yang menyebutkan rentang usia remaja adalah dari usia

12--18 tahun yang terbagi menjadi dua periode, yaitu periode pra pubertas dari usia 12-14

tahun dan periode pubertas dari usia 14--18 tahun (Azizah, 2013). World Health

Organization (WHO) juga membagi periodisasi remaja menjadi dua, yaitu masa remaja

awal dari usia 10-14 tahun dan masa remaja akhir dari usia 15-20 tahun. Sementara

Hurlock membagi periodesasi masa remaja menjadi tiga periode yaitu remaja awal (early

adolescence) dari usia 12-14 tahun, remaja madya (middle adolescence) dari usia 15-18

tahun dan remaja akhir (late adolescence) dari usia 19-21 tahun. Masing masing periode

ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda (Jannah, 2016).

Menurut Utomo & Ifadah (2019) masing-masing tahapan pada periodisasi masa

remaja mempunyai titik fokus yang berbeda, dimana pada masa remaja awal merupakan

masa transisi dari anak-anak kepada masa pubertas dan anak pada masa ini ingin

bertindak seperti orang dewasa tetapi pada hakikatnya dia belum siap menjadi dewasa.

Fokus perkembangan remaja awal ini tertuju kepada perubahan fisik yang dialaminya

dimana terjadinya kematangan seksual yang sesungguhnya. Sementara pada masa remaja

madya atau disebut dengan masa pubertas fokus aktivitas remaja pada penemuan jati diri,

pertumbuhan pedoman kehidupan dan melibatkan diri pada kegiatan di masyarakat.

Sedangkan pada masa remaja akhir, remaja sudah mulai mempunyai sikap positif

terhadap sistem tata nilai, sudah mempunyai rencana hidup yang jelas dan mapan, sudah

menentukan sikap hidup berdasarkan nilai yang diyakininya dan dalam menentukan

pendamping hidup berdasarkan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek (Utomo

& Ifadah, 2019).

Salah satu aspek yang berkembang pada masa remaja adalah aspek psikososial.

Perkembangan psikososial adalah perkembangan individu yang dipengaruhi oleh

interaksi sosial dengan individu lain. Perkembangan ini melibatkan perasaan, emosi dan

kepribadian individu serta perubahan yang terjadi setelahnya (Putri, 2021). Dalam hal

ini, perkembangan psikososial juga dimaknakan sebagai proses belajar bagi individu

dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma dan aturan yang ada di lingkunganya

Salah satu tokoh yang berkontribusi dalam mencetuskan teori

perkembangan psikosoial adalah Erick H. Erikson. Menurut Erikson, terdapat delapan

tahapan perkembangan psikososial individu yang saling berkaitan antara tahapan yang

sebelumnya dengan tahapan berikutnya. Teori ini melihat delapan kronologis yang akan

dialami manusia dalam kehidupannya sebagai akibat dari perubahan lingkungannya.

Teori ini mencoba mensinkronkan antara perkembangan individu dengan harapan sosial.

Menurut Erikson, setiap tahapan perkembangan mempunyai tantangan tersendiri yang

disebut dengan krisis (Sobh, 2020). Dengan kata lain, krisis adalah suatu masalah yang

harus dihadapi oleh individu dalam setiap tahapan perkembangannya (Nurhayati, 2015).

Di masa remaja, tahapan perkembangan psikososialnya berada pada tahapan

identity (identitas) versus identity confusion (kebingungan identitas). Yang dimaksud

dengan identitas (identity) di sini adalah konsep tentang diri yang koheren yang terdiri

dari tujuan, nilai dan keyakinan yang menjadi komitmen kuat seseorang (Papalia et al.,

2007, p. 437). Menurut Erikson, tugas utama remaja adalah memecahkan krisis identitas

dan kebingungan identitas, membangun identitas yang unik yang mereka miliki, menjalin

hubungan dengan lingkungan agar diakui keberadaannya dan menciptakan hubungan

yang bermakna dengan orang lain (Sobh, 2020). Dalam hal ini, menurut Adams &

Marshall (1996), identitas itu dapat diberikan dan dapat dipilih. Dalam konteks

masyarakat modern, identitas cenderung dipilih tergantung kepada nilai dan tujuan

individu. Sementara identitas yang diberikan biasanya berdasarkan kepada nilai,

keyakinan dan perilaku yang diberikan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Tolok

ukur keberhasilan remaja dalam menemukan identitasnya menurut Erikson adalah ketika

mereka berhasil memecahkan masalah yang berkaitan dengan tiga hal, yaitu pilihan

pekerjaan, adopsi nilai yang diyakini dan perkembangan identitas seksual yang

memuaskan adalah apabila remaja sudah memiliki pemahaman dan mampu beradaptasi

dengan dirinya sendiri dan kehidupan sosialnya, pekerjaan dan nilai-nilai agama.

Sebaliknya, jika remaja tidak mampu menyelesaikan krisis identitasnya, maka akan

muncul kebingungan peran dan ketidakjelasan identitas (Inayah et al., 2021). Remaja

yang mengalami kebingungan identitas ini merasa tidak mampu, tidak berdaya, turun

harga dirinya dan pesimis dalam menghadapi masa depannya (Nurhayati, 2015). Bagi

remaja tertentu yang mengalami kondisi ini, mereka akan memilih melakukan hal-hal

yang negatif agar mendapatkan identitas walaupun identitas yang diperolehnya identitas

buruk, lebih baik ini dilakukan daripada mereka tidak mempunyai identitas sama sekali

(Nadiah et al., 2021). Hal ini yang menyebabkan banyak remaja terjerumus kepada

kenakalan remaja (Inayah et al., 2021).

Konsep Remaja Dalam Islam

Menurut Quraisy Shihab (2004) dan Abdullah Nashih Ulwan (1999), istilah remaja

yang digunakan dalam al-Qur'an adalah kata "baligh" yang berarti sampai. Biasanya,

penggunaan istilah baligh digabungkan dengan kata akil yang bermakna orang yang

cakap, cerdas atau pintar. Sementara secara istilah, akil adalah remaja yang cakap dan

pintar serta mampu memilih sesuatu yang dianggap baik (Umami, 2019). Sedangkan

baligh adalah sampainya usia individu yang dianggap dewasa atau sudah mengalami

tanda-tanda perubahan fisik menuju kedewasaan. Tanda baligh bagi perempuan adalah

keluarnya darah menstruasi pertama (menarche) sedangkan bagi laki-laki adalah

keluarnya sperma pertama (polutsio) melalui mimpi yang merasakan kepuasan seksual

(Azizah, 2013). Dengan demikian, secara sederhana, dapat disimpulkan akil bermakna

matang dari segi akal pikirannya sedangkan baligh bermakna matang secara fisik dimana

organ-organ reproduksi individu sudah dapat berfungsi seperti orang dewasa dan ini

merupakan tanda awal masa remaja.

Dalam Islam, individu yang mencapai usia akil baligh ini berarti ia sudah terikat

oleh kewajiban agama yang disebut sebagai mukallaf (Umami, 2019). Dengan kata lain,

individu yang sudah mukallaf sudah mempunyai tanggung jawab yang sama seperti orang

dewasa yaitu harus menjalankan perintah Tuhannya dan menjauhi larangan Tuhannya

dalam segala aspek kehidupan. Islam telah mengatur hal-hal yang boleh dilakukan remaja

dan yang tidak boleh dilakukannya, misalnya menjaga aurat, tidak boleh meninggalkan

shalat, tidur di kamar sendiri, meminta izin ketika memasuki kamar orang tua dan

sebagainya (Jannah, 2016; Siti Fatimah, 2018). Dengan kematangan akal yang

dimiliknya, maka diharapkan remaja dapat menggunakan segala potensi yang ada pada

dirinya ke arah kebaikan atau hal-hal yang positif. Hal ini dikarenakan setiap individu

sudah diberikan petunjuk oleh Tuhan mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah

(QS. Asy-syams: 8-10) tergantung kepada individu tersebut memilih jalan yang mana.

Dalam al-Qur'an banyak dikisahkan sosok-sosok remaja baik yang mampu

menemukan identitasnya maupun sosok remaja yang mengalami kebingungan identitas.

Seperti remaja atau pemuda ashhabul kahfi (penghuni gua) (Siti Fatimah, 2018) yang

mempunyai keimanan yang tinggi sehingga mereka tetap teguh mempertahankan

keyakinannya kepada Tuhannya walaupun taruhannya adalah nyawa mereka karena

menyalahi aturan kerajaan pada waktu itu (QS. Al-Kahfi: 10). Begitu juga remaja Ismail

AS yang dengan penuh keyakinan menjalankan perintah Tuhannya (Khusni, 2018)

sekalipun harus mengorbankan nyawanya (QS. Ash-Shaffat: 102). Sebaliknya, sosok

remaja yang mengalami kebingungan identitas juga digambarkan dalam al-Qur'an seperti

sosok remaja Kan'an yang tidak mengindahkan ajakan sang ayah untuk mempunyai

keyakinan yang sama (QS. Hud: 42). Begitu juga dengan remaja Qabil yang rela

menghabisi nyawa saudara kandungnya sendiri (QS. Al-Maidah: 27-31). Remaja dengan

tipe ini mereka lebih cenderung mengikuti hawa nafsunya sekalipun jalan yang

ditempuhnya merupakan jalan yang sesat.

Sintesa Psikososial Remaja Menurut Erick Erikson Dengan Konsep Islam

Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa perkembangan psikososial pada masa

remaja menurut Erick H. Erikson adalah berada pada tahapan kelima dari delapan

tahapan yaitu menemukan identitas atau mengalami kebingungan identitas. Remaja

menemukan identitasnya dengan memaknai identitas yang dimilikinya mulai dari masa

lalu, masa dimana dia berada dan bayangan identitas di masa depannya sementara remaja mengalami kebingungan identitas tidak

terjadi begitu saja, tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya seperti terjadinya

perubahan fisik yang signifikan yang berdampak kepada perubahan penampilan diri

remaja dan perubahan perlakuan maupun penerimaan remaja di hadapan orang-orang

sekitarnya yang dapat menyulut emosi mereka menjadi labil. Faktor-faktor tersebut

membuat remaja mengalami krisis identitas.

Jika dilihat dari tolok ukur keberhasilan remaja dalam menemukan identitasnya,

dimana menurut Erikson (dalam Papalia et al., 2007) setidaknya tiga hal yang harus

diperhatikan oleh remaja yaitu masalah pekerjaan, keyakinan yang dianutnya dan juga

kepuasan seksualnya, maka remaja dapat menemukan identitasnya melalui bimbingan

dan arahan dari lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Tolok ukur ini jika dianalisis,

mengindikasikan bahwa penemuan identitas remaja itu tidak bisa dilakukan oleh remaja

di masa remaja awal. Hal ini disebabkan remaja awal belum memikirkan tentang

pekerjaan apa yang ingin mereka miliki nanti dan juga kepuasan seksual yang ingin

diperolehnya. Jika dikaitkan dengan konsep Islam, maka tolok ukur yang ketiga

bertentangan dengan nilai-nilai Islam karena dalam Islam jika individu ingin

mendapatkan kepuasan seksual, maka harus dibingkai dengan ikatan suci yaitu

pernikahan. Dan biasanya pernikahan hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa.

|Maka tolak ukur keberhasilan dalam menemukan identitas bagi remaja yang sesuai

dengan nilai-nilai Islam adalah indikator menurut LN & Sugandhi ( 2011) dimana remaja

mampu beradaptasi dengan dirinya dan lingkungan sosialnya, dengan nilai-nilai

agamanya serta mempunyai pemahaman terhadap pekerjaan yang akan dilakukannya di

masa depannya. Dalam hal ini beradaptasi dengan dirinya sendiri bermakna remaja

tersebut mempunyai kemampuan mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan yang

dimilikinya. Selain itu, remaja tersebut juga sudah mempunyai pemahaman tentang

norma-norma atau aturan-aturan yang ada di sekitarnya seperti menghormati orang tua,

berkata yang sopan dengan orang yang lebih tua dan sebagainya. Sementara, beradaptasi

dengan nilai-nilai agama bermakna bahwa remaja tersebut sudah mempunyai pemahaman

apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan menurut agamanya. Karena di

dalam agama terdapat ajaran-ajaran yang harus dijunjung tinggi oleh penganutnya. Maka

remaja yang menemukan identitasnya, mampu melaksanakan perintah agamanya dengan

baik. Sedangkan tentang pekerjaan yang akan digelutinya di masa depannya memberikan

makna bahwa remaja tersebut sudah mempunyai cita-cita yang akan dikejarnya yang

merupakan gambaran masa depannya.

Diantara indikator-indikator tersebut, maka yang paling penting dalam perspektif

Islam adalah remaja mampu menyesuaikan dirinya dengan nilai-nilai agama Islam. Hal

ini disebabkan, dalam Islam remaja merupakan masa awal pemberian beban untuk

melaksanakan ajaran-ajaran agama atau disebut dengan mukallaf (Umami, 2019). Dalam

hal ini segala tindakan yang dilakukan oleh remaja sudah menjadi tanggung jawabnya

sendiri; jika sesuai dengan perintah Tuhannya, maka dia mendapatkan reward (pahala),

sebaliknya jika melanggarnya maka mendapatkan konsekuensinya berupa dosa dan hal

ini sudah menjadi tanggung jawab mutlak remaja. Oleh karena itu, pemahaman terhadap

nilai-nilai agama sangat penting untuk diajarkan sebelum masa remaja agar ketika mereka

sudah memasuki masa remaja, mereka sudah siap menerima tanggung jawab tersebut.

Dalam pandangan penulis, jika remaja sudah mempunyai pemahaman yang benar

tentang nilai-nilai ajaran Islam, maka hal ini cukup baginya untuk menemukan identitas

dirinya tanpa harus mengalami masa krisis identitas yang bisa menyebabkannya

mengalami kebingungan identitas. Namun demikian, dalam realitanya tidak semua

remaja muslim sekalipun sudah mempunyai pemahaman tentang nilai-nilai Islam, masih

mengalami kebingungan identitas. Hal ini disebabkan antara tontonan yang ada di

sekitaranya, baik melalui internet maupun media lainnya mempertontonkan profil remaja

yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini membuat remaja yang belum

mempunyai keyakinan agama yang kuat lebih mengikuti tontonan tersebut daripada nilainilai agama yang dianutnya.

Dalam hal ini, sintesa yang dimaksud dalam tulisan ini adalah ketika remaja sudah

memahami bagaimana konsep remaja dalam Islam, maka ia tidak akan mencari-cari lagi

identitas apa yang akan dipilihnya. Cukup dengan mengikuti aturan agama Islam, remaja

tersebut dengan sendirinya akan menemukan kejelasan identitasnya. Jika remaja tersebut

sudah mengikuti aturan yang seharusnya dilakukan seperti menjalankan dasar-dasar

agama seperti shalat lima waktu, menutup aurat, berpuasa di bulan Ramadhan dan

membayar zakat dan lain-lain, maka dia tidak akan terjerumus kepada hal-hal yang negatif. Hal ini disebabkan Islam sudah mengatur segala aspek kehidupan manusia

termasuk kehidupan remaja (Daud & Azahari, 2019).

Sintesa ini sangat mungkin untuk dilakukan dikarenakan dalam Islam masa remaja

disebut sebagai masa akil baligh dimana dia sudah mempunyai kematangan berfikir dan

kematangan fisik. Dengan kematangan berfikirnya, yang jika dikaitkan dengan teori Jean

Piaget berada pada tahap operasional formal, idealnya remaja muslim sudah mampu

membedakan mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga tidak salah

jika dengan kematangan berfikir dan fisiknya, Tuhan memberikan beban tanggungjawab

sebagaimana beban orang dewasa. Tentunya pemahaman tentang beban tanggungjawab

agama ini tidak bisa langsung disadari sepenuhnya oleh remaja tetapi berlahan tapi pasti

diharapkan seiring dengan bertambahnya usia, bertambah pula kesempurnaannya dalam

menjalankan beban tanggung jawab agamanya dengan baik. Dengan demikian, dalam

pandangan Islam, remaja tidak perlu mengalami kebingungan identitas jika ia kembali

kepada agamanya.

Apabila remaja sudah menemukan identitasnya, maka dia bisa menapaki episode

kehidupan selanjutnya tanpa harus berkutat menemukan identitasnya. Artinya masalah

kejelasan identitasnya sudah selesai sehingga remaja tersebut bisa fokus kepada aktivitas

lain yang dapat mengembangkan identitas dirinya. Jika ditelusuri dalam al-Qur'an, Hal

ini nampak pada sosok nabi Daud AS yang ketika remaja sudah mempunyai keberanian

berpartisipasi dalam peperangan dan dia berhasil melawan musuhnya (QS. Al-Baqarah:

251). Begitu juga dengan sosok nabi Ismail AS ketika remaja yang sudah mendapatkan

pendidikan agama dari ibunya Hajar menjadikan dia ikhlas disembelih oleh ayahnya demi

menjalankan perintah Tuhannya (QS. As-Shaffat: 102). Hal ini sesuai dengan pandangan

Erikson yang menyatakan bahwa kepribadian yang kuat muncul apabila unsur-unsurnya

berhubungan secara kuat dalam mencapai tujuan pokok dalam kehidupannya (Huriati &

Hidayah, 2016). Dalam hal ini nabi Ismail AS sudah mengetahui tujuan hidupnya

sehingga beliau mempunyai kepribadian yang kokoh yang tidak digoyahkan walaupun

taruhannya adalah nyawanya. Selain itu, terdapat pula kisah remaja yang diceritakan

dalam hadits bahwa seorang raja mencari pengganti penyihirnya yang sudah lanjut usia

sehingga dikirimkan seorang remaja yang pandai. Setiap hari dia belajar sihir kepada

penyihir dan setiap hari pula dia belajar agama kepada rahib. Di sini, remaja ini sedang

mengalami krisis identitas yang menjadikannya kebingungan identitas antara mengikuti

penyihir atau rahib. Namun pada akhirnya dia berhasil menemukan identitasnya setelah

dapat membuktikan kebenaran ilmu agama yang dipelajarinya dari sang rahib. Akhirnya

dia sudah mempunyai keyakinan yang kuat terhadap agamanya yang membawanya

kepada kematiannya yang agung karena menentang sang raja demi mempertahankan

keyakinannya (Al-Hilal, 2005).

Namun demikian, dalam al-Qur'an pun juga digambarkan sosok remaja walaupun

dia berada dalam bimbingan orang tua yang mempunyai pemahaman nilai-nilai agama

yang tinggi, tetapi remaja ini memilih identitasnya sendiri yang berbeda dengan orang

tuanya, sehingga menyebabkan kebinasaan yang diterimanya. Ini menunjukkan bahwa

dalam perspektif Islam, apabila remaja mencoba memilih identitas lain selain yang

diajarkan oleh agama, maka pada hakikatnya identitas yang dipilihnya berpeluang mengantarkannya kepada kebingungan identitas dan dapat membawanya kepada hal-hal

negatif. Hal ini tersirat dalam surat Maryam ayat 59 yang artinya: "Maka datanglah

sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan

memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan."

Menyikapi hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi remaja mengalami

kebingungan identitas (Huriati & Hidayah, 2016), yaitu:

a. Merasa terikat dengan adanya aturan

Sebagian remaja merasa bahwa mereka menginginkan kebebasan dan tidak ingin

dikekang terutama pada masa ini mereka masih mencari-cari identitas diri mereka.

Sementara aturan yang ada dianggap sebagai pengekangan sehingga mereka tidak

memilih aturan itu sebagai pilihan dalam menemukan identitasnya.

b. Mengejar penerimaan dari lingkungan

Pola pikir masyarakat yang ada di lingkungan sekitar terutama di era media sosial saat

ini, memberikan pengaruh terhadap tindakan individu. Hal ini menyebabkan remaja

yang sedang mengalami krisis identitas mencoba memainkan peran atau mengikuti

aktivitas yang dilakukan orang banyak yang belum tentu sesuai dengan identitas

dirinya sehingga mengakibatkan kekacauan peran atau kebingungan identitas.

c. Memiliki pandangan yang bersifat pragmatis tentang kehidupan

Terkadang sebagian remaja hanya memikirkan sesuatu yang menyenangkan dalam

hidupnya tanpa memperhatikan apa tujuan hidupnya. Sehingga mereka memiliki

pandangan yang sempit tentang hidup. Akibat pemikiran yang sempit terkadang

membuat remaja memilih jalan pintas dalam menyelesaikan masalahnya seperti bunuh

diri, tentunya hal ini sangat tidak dikehendaki. Tidak adanya pengetahuan tentang

tujuan hidup juga disebabkan kurangnya pemahaman tentang agama yang merupakan

pedoman hidup bagi manusia.

d. Faktor internal yang berupa lemahnya kepribadian yang membuat remaja mudah

terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik, ketidakberuntungan kondisi diri baik

fisik maupun psikis yang dapat menjadikan remaja minder dan menarik diri dari

masyarakat, dan pemahaman yang salah dimana terkadang remaja tidak mendapatkan

informasi yang ben

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun