Mohon tunggu...
Marshel Leonard Nanlohy
Marshel Leonard Nanlohy Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Finding God In All Things

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Krim (Cerita Pendek)

13 Juli 2024   12:29 Diperbarui: 13 Juli 2024   12:31 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Es Krim (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Setiap Hari Jumat, aku selalu menyediakan waktu untuk pulang lebih cepat. Kebiasaan ini dimulai sejak ada Nala, anakku yang masih berusia enam tahun. Dia kerap kali merasa kehilangan sosok ayahnya, yang selalu sibuk bekerja di pusat kota. Dalam rangka menyambut akhir pekan, aku selalu membelikannya satu mangkuk es krim. Nala sangat menyukai es krim, terutama rasa french vanilla dengan butterscotch, rasa yang cukup spesifik untuk bocah seumurnya.

Beberapa waktu lagi, Nala sudah harus mendaftarkan diri untuk sekolah, dan aku sebagai ayahnya, terpaksa harus belajar melepaskannya perlahan-lahan. Istriku, Nisa, selalu berkata bahwa menjadi orang tua adalah tugas sepanjang umur. Aku sadar, tanggung jawab dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak begitu besar. Maka dari itu, aku dan Nisa sepakat untuk selalu menjaga dan membimbing Nala, anak perempuan kami satu-satunya.

Seperti Hari Jumat lainnya, aku menyempatkan diri untuk singgah di sebuah toko es krim, lokasinya tidak jauh dari tempat kerjaku dulu. Beruntungnya, toko itu masih buka di sore hari, di jam pulang kerja, sehingga aku bisa mampir untuk membelikan Nala semangkuk es krim, sebagai tanda permintaan maafku karena tidak ada di sampingnya sepanjang pekan.

Sore itu, aku mengenakan kemeja kuning favoritku. Warnanya tidak terlalu cerah dan sedikit pudar, terlalu putih untuk dikategorikan sebagai warna kuning, namun terlalu kuning untuk dikatakan putih. Maklum, kemeja ini selalu dipakai ayah selama puluhan tahun, sebelum akhirnya ayah pergi, menyusul kepergian ibu.

"Permisi, saya mau pesan tiga es krim," kataku kepada salah satu orang yang bekerja di toko es krim.

Dia terlihat kebingungan, sedikit ketakutan saat melihat kantong mataku yang mulai menghitam, lengkap dengan kelopak mata yang sayu, dan agak kemerahan. Penampilan baru ini kudapatkan setelah berminggu-minggu kelelahan, ditambah lagi kurang tidur karena satu dan lain hal.

Orang itu membalas, "Mau yang rasa apa, pak?"

"Rasa french vanilla, yang pakai butterscotch masih ada?" tanyaku, sedikit kesulitan mengeja rasa es krim favorit Nala.

"Masih, pak. Mau dibawa pulang atau makan di sini?"

"Dibawa pulang, mas," jawabku. "Rasanya samain aja ya, tiga-tiganya," lanjutku memastikan.

"Baik pak, untuk ukurannya mau yang mana, ya? Kebetulan kami lagi ada promo, beli ti-"

"...yang biasa aja, mas," kataku, memotong kalimat orang itu.

"Baik, saya ulangi pesanannya ya, pak," balas orang itu, sedikit kesal karena aku memotong kalimatnya. "Tiga es krim rasa french vanilla dengan butterscotch, ukuran medium. Totalnya jadi tujuh puluh lima ribu," lanjutnya.

Aku merogoh kantongku, mengambil beberapa uang yang masih tersisa di dalam dompetku, lalu memberikannya. "Ini ya, mas," kataku, sambil memberikan uangnya.

Beberapa minggu ini, aku mulai menjadi orang yang pelupa. Sebelumnya, aku selalu membawa dompet ke mana pun aku pergi, terutama ke kantor. Biasanya, barang-barangku selalu disiapkan oleh Nisa semalam sebelum aku pergi ke kantor. Namun, kebiasaan itu mulai berubah perlahan.

Sebagai ayah yang baik, tentu saja aku harus mengalah, mengizinkan Nisa untuk memberikan seluruh perhatiannya kepada anakku Nala, apalagi sejak dia sudah mulai berlarian ke sana kemari. Nala adalah anak yang cukup aktif, namun juga penurut. Dia adalah permata satu-satunya yang kami miliki. Dunia baru yang selalu menjadi alasan bagi aku dan Nisa untuk terus berjuang, bertahan sedikit lebih lama.

*

Sesaat setelah membeli es krim kesukaan Nala, aku langsung bergegas ke mobil, meletakkannya di bagian kursi tengah dengan hati-hati agar tidak mencair, tumpah, dan berceceran mengotori kursi.

Aku tidak sabar ingin bertemu Nala, dia pasti sangat bahagia melihat aku datang, apalagi dengan membawa es krim favoritnya. Nisa juga sudah menantikan kehadiranku sejak lama, mereka berdua pasti sedang menungguku di sana.

Mobilku melaju lebih kencang dari sebelumnya, aku terus menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Sinar dari lampu penerangan di jalan tol kini berubah perlahan menjadi garis-garis cahaya yang melesat dengan cepat. Ketika melihat ada celah kosong, aku mengarahkan mobilku supaya bisa melaju lebih cepat lagi.

Aku harus segera bertemu Nisa dan Nala, mereka pasti merindukanku. Semoga aku masih sempat memberikan es krim kepada mereka sebagai permintaan maaf, sebelum mencair, tumpah, lalu mengotori kursi tengah mobilku lagi.

Tidak ada kata terlambat, Nisa selalu mengingatkanku lewat kata-kata itu. Aku tidak sabar untuk bertemu mereka, keluarga kecilku yang selalu membawa kebahagiaan.

Hari itu, langitnya sangat indah, matahari terlihat memancarkan sinarnya dengan begitu manis. Kurasa, ini adalah waktu yang tepat, untuk menutup pekan terakhir dengan istimewa. Aku terdiam dalam lamunan, memandangi langit beserta keindahan cahayanya yang berpendar menemani laju kencang mobilku di sore itu.

*

Kami sangat beruntung karena langsung memiliki rumah setelah menikah. Aku dan Nisa tinggal di sebuah permukiman yang lokasinya cukup jauh dari tempat aku bekerja. Meskipun sempat hampir ditipu oleh kontraktor, rumah ini adalah salah satu mimpi kami yang berhasil terwujud.

Dari luar, bangunannya tampak minimalis dan cerah, lengkap dengan cat putih terang yang mewarnai setiap sudutnya. Sayangnya, beberapa sisi di bagian dalam mulai terlihat tidak terawat, seperti bangunan tua yang tidak ditempati oleh manusia. Wajar saja, aku bekerja mati-matian dari pagi ke pagi, sedangkan Nisa, istriku, tentu saja disibukkan dengan menjaga Nala, mengawasinya ke mana pun dia pergi.

Kami hanya memiliki satu kamar tidur, tapi aku dan Nisa berniat untuk merenovasinya ketika nanti Nala mulai masuk sekolah. Sesekali, ibu menyempatkan diri untuk berkunjung, mampir untuk mengunjungi cucunya, dan membantuku membereskan lemari pakaian.

"Kemeja ini yang bikin ayahmu jadi kelihatan gagah, lho!" begitu kata ibu setiap melihat kemeja kuning yang aku pakai setiap Jumat, sambil sesekali membantuku membereskan pakaian yang berantakan di dalam lemariku.

Sejujurnya, ibu sudah terlalu tua untuk membantu kami melakukan pekerjaan rumah yang sebenarnya remeh dan bisa dikerjakan sendiri. Aku sadar bahwa kebiasaan ini tidak baik.

Ya, ibu masih sering membantuku membereskan pakaian. Kamarku berantakan tidak karuan, butiran debu yang beterbangan menghiasi kamarku setiap kali aku mengambil baju dari tumpukan pakaian yang tidak teratur. Sejak ayah pergi, semua pakaiannya dilimpahkan ke lemariku. Beberapa baju yang sudah lama tidak dipakai perlahan mulai digerogoti oleh jamur.

Lantainya juga sudah mulai lengket, aku dan Nisa hanya menggunakan air untuk mengepel lantai. Rasanya sudah sangat lama, sejak terakhir kali Nisa membeli pembersih lantai. Dia terlalu sibuk menjaga Nala.

Syukurlah, ibu masih bersedia untuk mampir, sesekali membantu kami membersihkan rumah.

Kami berdua sering bertengkar tentang masalah kebersihan. Beberapa waktu, Nisa bahkan tidak segan-segan untuk membentakku. Saat emosinya meluap, dia selalu berteriak persis di depan daun telingaku. Suaranya bisa aku dengar hingga menembus semua sudut di kepalaku, teriakannya yang melengking mampu menghancurkan tumpukan gelas kaca yang menggunung di tempat cuci piring.

Nisa merasa aku malas melakukan pekerjaan rumah yang sederhana. Padahal menurutku, dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas ini semua. Aku tidak peduli, bahkan tidak sedikit pun aku menghiraukan Nisa ketika dia sedang meledak, bahkan ibu pun enggan untuk ikut campur urusan rumah tanggaku dan Nisa.

Walaupun sering dibuat tidak nyaman, Nisa tetaplah istriku, dan yang lebih penting, dia adalah ibu dari Nala, anak perempuan kesayanganku satu-satunya. Sebesar apa pun murkanya, Nisa punya cara tersendiri untuk mereda. Teriakannya yang melengking selalu berhasil menghilang perlahan dari dalam kepalaku.

Kebiasaan Nisa untuk berteriak ketika emosinya meluap sudah ada sejak kami masih berpacaran. Awalnya aku pikir itu adalah hal yang wajar, lagi pula, selama ini aku juga selalu memendam semua masalahku sendirian. Namun, yang berbeda dari aku dan Nisa adalah cara kami melampiaskannya.

Aku selalu melampiaskan emosi dengan menulis, sedangkan Nisa melampiaskannya dengan berteriak. Hal itu tidak menjadi masalah besar untuk hubungan kami, tidak pada awalnya. Aku pun sudah mulai terbiasa dengan teriakan-teriakan itu.

Harus diakui, Nisa memiliki banyak kemiripan dengan ayah, terutama soal pelampiasan emosinya. Banyak kejadian di sekitar yang mengingatkanku kepada ayah. Nisa bilang, ada istilah tersendiri untuk hal ini, "Invisible string theory," katanya.

Hal-hal ini muncul dari momen yang tidak terduga, mulai dari makanan favorit Nala yang sama seperti ayah, cara Nisa melampiaskan emosinya, juga kemeja warna kuning yang selalu diceritakan oleh ibu kepadaku.

Ayah selalu muncul lewat orang-orang lain, seolah ingin memberikan pesan yang tersirat bagiku. Meskipun aku berusaha keras untuk melupakannya, ayah selalu berkunjung melalui peristiwa sederhana. Aku berniat membalas kunjungannya, yaitu dengan rutin menggunakan kemeja kuning favoritnya, setiap Hari Jumat.

*

Kami bertiga selalu menyempatkan waktu untuk menyambut akhir pekan dengan menikmati senja. Aku dan Nisa selalu ada untuk menemani Nala jalan-jalan menjelang akhir pekan, berkeliling naik mobil, sambil bercerita tentang apa pun.

Suatu saat, Nala pernah bercerita kepadaku, tentang keinginannya untuk bisa terbang dan menjadi seekor burung. Sebuah mimpi yang cukup umum untuk seorang anak kecil.

"Oke, kalau begitu, kamu lebih suka burung dara atau burung merpati?" tanyaku, menguji pengetahuan Nala, sekaligus menanyakan binatang favoritnya.

"Dua-duanya kan sama aja, ayah!" protesnya. "Nala suka burung cenderawasih, karena warna bagus," katanya menjelaskan.

"Mana coba, ayah mau lihat gambarnya?" aku merespons, penuh rasa penasaran.

Nala lalu membuka buku ensiklopedianya, membuka lembar demi lembar, lalu menunjukkan gambar pada bukunya kepadaku, jarinya tertuju pada gambar burung cenderawasih yang cantik. "Ini ayah, liat deh," katanya penuh antusias.

Aku melambatkan laju mobilku, mengerlingkan mataku sejenak ke arah bukunya, sambil sesekali menatap jalanan. "Wah, bagus ya," kataku, memuji seleranya.

Sore itu, Nisa memilih untuk tidak ikut karena sibuk mempersiapkan urusan sekolah Nala. Beberapa bulan lagi, Nala mulai masuk sekolah, bertemu dengan teman-teman baru. Aku tidak bisa menemani Nisa karena sudah berjanji akan mengajak Nala jalan ke luar, menikmati sore menjelang akhir pekan.

Aku dan Nala kemudian pergi menuju sebuah jembatan yang melintang di atas jalan tol. Matahari mulai menunjukkan pesonanya, warna kuning keemasan yang dihiasi dengan semburat merah menjadi pemandangan kami sore itu. Aku menghentikan mobilku di tepi jalan, lalu kami keluar untuk menyaksikannya secara langsung.

Aku menggandeng tangan Nala, lalu menuntunnya ke arah jembatan. Aku mengantarkan Nala, tangannya menggenggamku erat sambil melangkah perlahan menuju tempat yang paling indah untuk menyaksikan cahaya matahari senja.

"Nala tunggu di sini sebentar ya, nak," perintahku. "Ayah mau ambil es krimnya di mobil," kataku, sambil melepaskan gandenganku, lalu melangkah pergi menjauh dari Nala.

Nala tidak memberikan jawaban, dia hanya mengangguk, tersenyum tipis ke arahku, lalu memalingkan pandangannya. Nala terdiam, takjub memandangi langit sore, melihat pendaran cahaya jingga keemasan yang ditampilkan oleh sang mentari.

Aku lalu berjalan menuju mobil, sambil sesekali melihat ke belakang untuk memastikan Nala masih ada di sana. Aku percaya Nala adalah anak yang pintar, dia selalu menuruti perkataan orang tuanya.

Sesampainya di samping mobil, aku membuka pintu bagian tengah, perlahan-lahan meraih es krim rasa french vanilla dengan butterscotch, favorit Nala. Es krimnya sudah mulai mencair, genggamanku terlalu erat, sehingga es krim itu semakin meleleh dan mengalir perlahan membasahi tangan kiriku. Tetesannya turun satu per satu sampai hampir menggenang di kursi mobilku.

Aku terus menggerutu di dalam mobil, memaki diriku sendiri atas kelalaian yang aku lakukan. Aku berusaha mencari tisu yang biasanya diletakkan di saku jok mobil. Tangan kananku merogoh saku jok, satu per satu, namun aku gagal menemukan tisu itu.

Ketika masih sibuk mencari tisu, aku mendengar bunyi klakson yang nyaring dan begitu panjang. Bunyi itu diiringi oleh suara gesekan ban mobil dengan aspal yang menimbulkan decitan melengking, suara khas yang dikeluarkan oleh mobil berkecepatan tinggi ketika menghentakkan rem secara tiba-tiba.

Suaranya terdengar jelas, mereka menusuk telingaku. Bunyinya begitu nyaring sehingga menembus semua sudut di kepalaku. Sungguh, perpaduan bunyi yang kurasa mampu menghancurkan kaca-kaca mobilku.

Aku langsung mengambil es krim itu, tanpa sempat membersihkan sisa-sisa tumpahan yang masih berlumuran di kursi mobilku. Aku membanting pintu mobil, dan segera memalingkan pandanganku ke arah Nala.

Dia sudah tidak ada di sana.

*

Sejak kepergian Nala, sifat Nisa berubah drastis. Dia jadi lebih sering meluapkan emosinya dengan berteriak. Beberapa kali, Nisa bahkan tidak ragu untuk melayangkan pukulan ke arahku. Kami berdua sama sedihnya, namun aku bisa memahami rasa kecewa Nisa padaku, pasangannya yang lalai menjaga permata kecil kami.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, Nala adalah anak yang pintar. Dia selalu menuruti apa kataku dan Nisa sebagai kedua orang tuanya. Di hari istimewanya, Nala lebih memilih untuk mewujudkan mimpinya menjadi burung cenderawasih.

Dia hanya berusaha untuk terbang bebas, menuju rumah abadinya di balik cahaya matahari yang indah kala itu.

Melalui kepergiannya, Nala menancapkan luka yang sangat dalam bagi kami berdua. Tidak satu pun yang menyangka bahwa Nala akan pergi meninggalkan aku dan Nisa. Tidak ada lagi tawa lucu yang terdengar darinya, tidak ada lagi tangan kecil yang menggenggamku saat menyambut akhir pekan, menyaksikan matahari tenggelam di ufuk barat cakrawala.

Aku dan Nisa tenggelam dalam lautan penyesalan yang begitu dalam.

Tiga minggu pertama sejak kehilangan anak perempuan kami satu-satunya, Nisa selalu menyalahkanku setiap waktu, kemarahannya tidak berkesudahan. Dia selalu berteriak di depan daun telingaku, mengungkit kelalaianku setiap kali aku menginjakkan di rumah. Kami masih belum bisa menerima kenyataan, bahwa Nala sudah tiada.

Aku berusaha kabur dari kenyataan, mengunci diriku di dalam kamar sendirian. Sebaliknya, Nisa tidak mau lagi tidur di dalam kamar, dia bilang ingatannya tentang Nala selalu datang menghantuinya saat tidur di kasur ini.

Aku tidak bisa lagi melampiaskan kemarahanku dengan menulis, semuanya berubah sejak kepergian Nala. Suara tangisan Nisa masih terdengar dari balik pintu kamarku. Dia masih sangat terpukul oleh kelalaianku menjaga Nala.

Aku tidak bisa memendam semuanya lagi, aku berjalan ke arah lemari pakaian, membanting pintunya, lalu menghamburkan semua baju yang ada di dalamnya. Aku berteriak dalam-dalam, diikuti oleh suara tangisan Nisa dari luar kamar.

Aku merasa tidak layak, hancur ditelan kebencian kepada diriku sendiri. Seketika, semuanya menjadi hitam dan gelap.

Aku kehilangan Nala, anakku. Aku kehilangan Nisa, istriku.

Aku kehilangan diriku sendiri, kami lenyap bersama-sama, hilang dilahap api penyesalan.

*

Tiga hari setelah kepergian Nala, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku. "Ada urusan keluarga yang harus diselesaikan," begitu kataku, berbohong setiap kali ada yang menanyakan alasanku berhenti bekerja.

Setelah resmi menjadi seorang pengangguran, aku hanya menghabiskan waktu di rumah, membayar semua utangku pada Nala, berharap dia masih sempat melihatku dari balik awan, dan tersenyum bahagia melihat ayahnya tidak lagi bekerja, meninggalkannya sendirian di rumah.

Suara tangisan Nisa sudah tidak ada lagi, aku hanya bisa mendengar suara kicauan burung-burung yang sesekali hinggap di pagar rumah. Suasananya berubah menjadi lebih sepi, aku bahkan lupa kapan terakhir kali menyantap makanan. Hanya ada aku seorang diri, meringkuk di atas kasur yang pernah menyimpan memori indah bersama Nisa dan Nala.

Di tengah kesunyian itu, aku mendengar suara ibu. Dia sedang bersenandung, melantunkan lagu favoritnya ketika masih bersama dengan ayah. Aku, yang masih setengah sadar, bersusah payah untuk membuka kedua mataku. Cahaya kuning keemasan yang dipancarkan mentari pagi menusuk kedua bola mataku.

Aku terbangun, setelah sekian lama hilang dari dunia ini.

Lantunan merdu dari suara ibu masih terdengar. Aku melayangkan pandanganku ke arah lemari pakaian. Aku melihat ibu sedang membereskan semua pakaian yang berhamburan di lantai kamarku. Sinar matahari pagi dan debu dari tumpukan pakaian membuat ibu terlihat bersinar dari tempat tidurku.

Aku masih belum bisa melihat mukanya, mataku seolah terkejut ketika melihat cahaya matahari pagi, setelah sekian lama mengurung diri di dalam gelap.

Perlahan-lahan, wajah ibu mulai terlihat, meski masih samar-samar. Aku menatapnya dari kejauhan, berusaha untuk mengingat setiap detail yang lama telah hilang dari ingatanku. Dia memperlihatkan senyuman manisnya, sambil tetap bersenandung di bawah sinaran mentari. Wajahnya tampak sangat nyata, aku sudah lama tidak melihat senyumnya secerah ini.

"Pagi, sayang," sapa ibu. Suaranya masih sangat lembut, tidak berubah sejak terakhir kali aku mendekapnya.

"Ibu, kok ada di sini?" tanyaku, sambil memandangi sosoknya dari kasurku. Rambutnya yang hitam legam kini mulai beruban. Setiap helainya seolah menceritakan perjuangan dan cinta yang tidak terhingga jumlahnya. Aroma khas dari rambutnya selalu berhasil membawa kenangan masa kecil yang indah.

"Iya, ibu cuma mau mampir," balasnya. "Emang enggak boleh ya, kalau seorang ibu kangen sama anaknya?" lanjut ibu, protes karena pertanyaanku.

Senyumannya masih memancarkan kehangatan yang sama seperti dulu. Kulitnya yang halus dan berwarna kuning langsat tampak menawan, lengkap dengan beberapa kerutan halus di bagian bawah matanya, menandakan banyaknya senyum dan tawa yang mengisyaratkan kebahagiaan di sepanjang masa hidupnya.

Aku kembali memejamkan mata, berbaring di atas kasur sambil mengumpulkan tenaga untuk bangkit berdiri. "Ya boleh lah, bu. Enggak masalah kok," jawabku.

Aku mendengar suara langkahnya mendekat ke arahku. Ibu lalu mengusap-usapkan jarinya ke ujung kakiku, sama seperti dulu, ketika aku masih seumur Nala. Sentuhan ibu begitu aku rindukan, sudah belasan tahun sejak terakhir kali ibu mengusap ujung kakiku.

"Nak," kata ibu. "Ibu kangen banget sama kamu, boleh buka matanya sebentar? Ibu mau lihat kamu," lanjutnya, memintaku untuk menatapnya. Suara ibu adalah salah satu hal yang paling kurindukan, karena melalui setiap kata yang keluar dari bibirnya, selalu ada cinta dan ketulusan yang tersimpan di baliknya.

Aku terdiam sejenak, berusaha membuka kedua mataku dengan sempurna. "Iya bu," aku membalas, sambil menatap wajahnya yang masih bersinar.

"Maaf bu, tadi mataharinya terang banget," lanjutku beralasan.

Wajah ibu telah berubah seiring dengan berjalannya waktu, namun parasnya yang cantik tetap abadi. Setiap garis dan lekuk di wajahnya menyiratkan kisah yang begitu berharga. Kini, ibu duduk di tepi kasur, sambil tetap mengeluskan tangannya pada kedua kakiku.

"Ibu mau tanya sekali lagi, tapi dijawab serius ya," kata ibu, mengubah nada bicaranya menjadi lebih tegas. "Kalau ibu kangen sama kamu, boleh kan?" lanjutnya.

"Maksudnya gimana bu?" tanyaku bingung. "Tadi kan aku juga udah bilang, wajar banget kalau seorang ibu kangen sama anaknya, itu alasan ibu datang ke sini, kan?" kataku, mengulangi pernyataanku, sekaligus protes atas pertanyaan konyolnya.

Ibu tersenyum, menghampiriku, lalu membuka kedua lengannya. Dia mendekapku dalam tenang. "Kamu pasti bisa melewatkan ini semua," jawabnya menenangkanku. "Pelan-pelan, satu per satu ya, nak," tutupnya, sambil mengeratkan pelukannya.

Aku membalas pelukan ibu, memejamkan mataku, lalu mendekapnya dalam-dalam sambil menarik napas panjang. Ketika aku menghela napas panjang, air mata turun perlahan membasahi pipiku.

Aku memeluk ibu dengan sangat erat, namun semakin kuat pelukanku, badan ibu terasa semakin hangat. Air mataku masih mengalir, seolah membilas wajahku dengan kejujuran yang ada di setiap tetesnya. Aku mengusap kedua mataku, berusaha untuk tetap tegar dalam dekapan seorang ibu. Pada helaan napas panjangku yang terakhir, aku membuka mata perlahan-lahan.

Ibu tidak pernah ada di sana.

Rasa hangat yang muncul ketika aku mendekapnya datang dari cahaya matahari pagi yang membangunkanku, sekaligus membasuh semua rasa sakitku. Kicauan burung yang merdu kembali kudengar, seraya aku tersadar bahwa tidak ada siapa pun di kamarku. Kepakkan sayapnya terdengar begitu jelas, seolah mengangkat semua rasa pedihku yang terbang menembus awan, memberikan pesan untuk Nala.

"Nak, ayah baik-baik saja," aku berulang kali mengucapkannya dalam hatiku, seolah ingin menyampaikan pesan kepada Nala.

Seperti lukisan indah yang tidak pernah pudar, kehadiran ibu selalu berhasil membawa keajaiban dan ketenangan di setiap detiknya. Meskipun raganya tidak lagi di sini bersamaku, aku masih bisa merasakan cintanya yang abadi.

Ibu selalu rutin menyempatkan diri untuk datang, berkunjung menghiburku, setiap hari setelah aku kehilangan Nala.

*

Aku selalu terjaga sepanjang malam, bahkan enggan untuk menutup mata hingga keesokan harinya. Namun entah kenapa, ibu selalu datang setiap pagi, membangunkanku dari tidur dengan cara yang sama, lalu kembali hilang saat air mataku mulai turun.

Kehadiran ibu berulang dari pagi berikutnya, ke pagi berikutnya, ke pagi berikutnya lagi, ke pagi berikutnya lagi.

Ibu datang setiap pagi, setiap hari, selama hampir dua bulan.

Nisa sudah tidak ada di rumah, dia tidak pamit saat memutuskan untuk pergi. Nisa membawa seluruh dendam dan cintanya pergi, meninggalkanku sendirian di rumah baru kami. Aku tidak mendapatkan kabar apa pun tentang dia, bahkan tidak tahu ke mana dirinya pergi.

Dia hanya meninggalkan sebuah amplop, Nisa meletakkannya di atas meja yang berada di ruang tamu. Aku memberanikan diri untuk mengambil surat itu, membuka isinya, lalu membaca pesan yang ditinggalkan Nisa.

"Teruntuk suamiku tercinta, sekaligus ayah terburuk yang pernah ada di dunia," tulis Nisa di bagian atas surat itu.

Tanganku bergetar, keringat dingin mulai mengucur dari sekujur tubuhku. Teriakan Nisa kembali menggema di kepalaku. Semakin lama, semakin jelas, teriakannya ada di dalam kepalaku.

"Terima kasih karena sudah memberikan pengalaman terindah dalam hidup ini," tulisnya. Aku menarik napasku dalam-dalam, menyiapkan diriku untuk kalimat-kalimat selanjutnya.

"Aku belum bisa memaafkanmu atas kepergian Nala," lanjutnya.

Air mata kembali menerobos kantong mataku yang mulai menghitam. Dadaku terasa sangat perih saat membaca surat Nisa. Aku menahan rasa sakit itu, lalu kembali membaca suratnya.

"Kamu ingat kan? Dulu, kita pernah berjanji untuk terus menjaga Nala, mendampinginya ke mana pun dia pergi," tulis Nisa, mengingatkan janji yang pernah aku dan Nisa pegang sebelum kepergian Nala.

"Jika kamu membaca surat ini, artinya aku sedang menjalankan tugasku, menepati janji kita untuk menjaga Nala: ke mana pun dia pergi."

"Tidak ada kata terlambat, kita masih bisa bertemu lagi. Aku dan Nala akan menunggumu. Seperti janji pernikahan kita, aku sudah berhasil untuk setia, menunggumu bersama Nala di sini, sampai waktunya kelak, ketika kamu datang," tutup Nisa di akhir suratnya.

Pada bagian bawah surat itu, Nisa hanya menutup surat itu dengan menuliskan nama, tanpa ada tanggal dan waktu yang jelas mengenai kepergiannya.

"Tertanda, istrimu tercinta, ibu terburuk yang pernah ada di dunia ini: Nisa," tutupnya. Ketika hendak menutup surat itu, aku melihat ada tulisan kecil pada bagian bawah surat. Persis di bawah kata-kata penutup yang ditulis Nisa, terdapat tulisan: "Hari Jumat."

*

Keesokan harinya, aku kembali dibangunkan oleh ibu. Hari itu, ibu tidak hanya memelukku, dia tampak bahagia sekali. Senyum ibu terpancar sangat jelas dari wajahnya, lengkungannya lebih lebar dibandingkan hari-hari sebelumnya.

"Kamu sudah siap?" tanya ibu, semringah.

"Maksudnya, siap gimana, bu?" balasku, mengembalikan pertanyaannya.

"Ketemu Nisa dan Nala. Kamu jadi ketemu mereka hari ini, kan?"

"Hah....ibu tahu dari mana...?"

"Hari ini," balas ibu, menjawab pertanyaanku. "Hari Jumat, nak..." lanjutnya.

Aku tidak menghiraukan ibu untuk pertama kalinya, sambil melangkahkan kaki, aku berjalan menuju lemari pakaian, lalu mengambil baju putih peninggalan ayah. Warnanya yang semula putih, perlahan berubah menjadi kuning. Kemeja itu terlihat pudar, terlalu pucat untuk dikatakan sebagai warna kuning, namun terlalu kusam untuk disebut sebagai warna putih.

Bukan, penyebabnya bukanlah waktu, bukan juga jamur. Warna kuning ini disebabkan oleh tumpahan es krim yang dimakan Nala setiap Hari Jumat. Setiap tetesnya mengalir, perlahan-lahan, melumuri kemeja ini sehingga hampir seluruh bagiannya menguning.

Hari Jumat kali ini, aku telah membulatkan tekadku. Aku mengendarai mobilku, sekali lagi pergi untuk membeli es krim kesukaan Nala di sebuah toko, yang lokasinya tidak jauh dari tempat kerjaku dulu.

Kantong mataku semakin tebal dan menghitam, kelopak mataku semakin meredup, menjadi sayu karena kurang tidur. Hari itu, aku menggunakan kemeja putih favorit ayah, meskipun sekarang menjadi sedikit kuning dan lusuh. Selain menjadi baju favorit ayah, kemeja itu juga menjadi tempat favorit Nala menumpahkan es krimnya.

Setelah membeli es krim favorit Nala, aku segera menuju ke mobil, menaruhnya di kursi tengah dengan hati-hati, supaya tidak tumpah dan berceceran mengotori kursi mobilku lagi.

Mobilku melaju kencang, sangat kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Hari Jumat itu, langitnya sangat indah. Matahari menyambutku, memancarkan sinarnya dengan begitu cantik.

Kurasa, ini adalah waktu yang tepat untuk menutup segalanya, mengakhiri cerita dengan istimewa. Aku terdiam dalam lamunan, memandangi langit serta keindahan cahayanya yang berpendar melengkapi laju mobilku yang melesat dengan sangat cepat.

Untuk yang terakhir kalinya, aku kembali mendengar suara klakson, begitu nyaring dan panjang. Bunyi itu diiringi oleh suara gesekan ban mobilku yang berdecit, lalu melengking tinggi seperti mobil berkecepatan tinggi yang menghentakkan rem secara tiba-tiba.

Suaranya terdengar jelas, mereka menusuk jantungku. Bunyinya sangat terdengar, menembus semua tulang di badan dan kepalaku. Sungguh, perpaduan bunyi yang begitu harmonis, menyambut kehadiranku kembali bersama Nala dan Nisa.

Hari Jumat ini, akan selalu aku kenang sebagai waktu yang istimewa bagi keluarga kecil kami.

"Nisa, Nala, aku pulang."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun