Setiap Hari Jumat, aku selalu menyediakan waktu untuk pulang lebih cepat. Kebiasaan ini dimulai sejak ada Nala, anakku yang masih berusia enam tahun. Dia kerap kali merasa kehilangan sosok ayahnya, yang selalu sibuk bekerja di pusat kota. Dalam rangka menyambut akhir pekan, aku selalu membelikannya satu mangkuk es krim. Nala sangat menyukai es krim, terutama rasa french vanilla dengan butterscotch, rasa yang cukup spesifik untuk bocah seumurnya.
Beberapa waktu lagi, Nala sudah harus mendaftarkan diri untuk sekolah, dan aku sebagai ayahnya, terpaksa harus belajar melepaskannya perlahan-lahan. Istriku, Nisa, selalu berkata bahwa menjadi orang tua adalah tugas sepanjang umur. Aku sadar, tanggung jawab dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak begitu besar. Maka dari itu, aku dan Nisa sepakat untuk selalu menjaga dan membimbing Nala, anak perempuan kami satu-satunya.
Seperti Hari Jumat lainnya, aku menyempatkan diri untuk singgah di sebuah toko es krim, lokasinya tidak jauh dari tempat kerjaku dulu. Beruntungnya, toko itu masih buka di sore hari, di jam pulang kerja, sehingga aku bisa mampir untuk membelikan Nala semangkuk es krim, sebagai tanda permintaan maafku karena tidak ada di sampingnya sepanjang pekan.
Sore itu, aku mengenakan kemeja kuning favoritku. Warnanya tidak terlalu cerah dan sedikit pudar, terlalu putih untuk dikategorikan sebagai warna kuning, namun terlalu kuning untuk dikatakan putih. Maklum, kemeja ini selalu dipakai ayah selama puluhan tahun, sebelum akhirnya ayah pergi, menyusul kepergian ibu.
"Permisi, saya mau pesan tiga es krim," kataku kepada salah satu orang yang bekerja di toko es krim.
Dia terlihat kebingungan, sedikit ketakutan saat melihat kantong mataku yang mulai menghitam, lengkap dengan kelopak mata yang sayu, dan agak kemerahan. Penampilan baru ini kudapatkan setelah berminggu-minggu kelelahan, ditambah lagi kurang tidur karena satu dan lain hal.
Orang itu membalas, "Mau yang rasa apa, pak?"
"Rasa french vanilla, yang pakai butterscotch masih ada?" tanyaku, sedikit kesulitan mengeja rasa es krim favorit Nala.
"Masih, pak. Mau dibawa pulang atau makan di sini?"
"Dibawa pulang, mas," jawabku. "Rasanya samain aja ya, tiga-tiganya," lanjutku memastikan.