Tanganku bergetar, keringat dingin mulai mengucur dari sekujur tubuhku. Teriakan Nisa kembali menggema di kepalaku. Semakin lama, semakin jelas, teriakannya ada di dalam kepalaku.
"Terima kasih karena sudah memberikan pengalaman terindah dalam hidup ini," tulisnya. Aku menarik napasku dalam-dalam, menyiapkan diriku untuk kalimat-kalimat selanjutnya.
"Aku belum bisa memaafkanmu atas kepergian Nala," lanjutnya.
Air mata kembali menerobos kantong mataku yang mulai menghitam. Dadaku terasa sangat perih saat membaca surat Nisa. Aku menahan rasa sakit itu, lalu kembali membaca suratnya.
"Kamu ingat kan? Dulu, kita pernah berjanji untuk terus menjaga Nala, mendampinginya ke mana pun dia pergi," tulis Nisa, mengingatkan janji yang pernah aku dan Nisa pegang sebelum kepergian Nala.
"Jika kamu membaca surat ini, artinya aku sedang menjalankan tugasku, menepati janji kita untuk menjaga Nala: ke mana pun dia pergi."
"Tidak ada kata terlambat, kita masih bisa bertemu lagi. Aku dan Nala akan menunggumu. Seperti janji pernikahan kita, aku sudah berhasil untuk setia, menunggumu bersama Nala di sini, sampai waktunya kelak, ketika kamu datang," tutup Nisa di akhir suratnya.
Pada bagian bawah surat itu, Nisa hanya menutup surat itu dengan menuliskan nama, tanpa ada tanggal dan waktu yang jelas mengenai kepergiannya.
"Tertanda, istrimu tercinta, ibu terburuk yang pernah ada di dunia ini: Nisa," tutupnya. Ketika hendak menutup surat itu, aku melihat ada tulisan kecil pada bagian bawah surat. Persis di bawah kata-kata penutup yang ditulis Nisa, terdapat tulisan: "Hari Jumat."
*
Keesokan harinya, aku kembali dibangunkan oleh ibu. Hari itu, ibu tidak hanya memelukku, dia tampak bahagia sekali. Senyum ibu terpancar sangat jelas dari wajahnya, lengkungannya lebih lebar dibandingkan hari-hari sebelumnya.