Mohon tunggu...
Marshel Leonard Nanlohy
Marshel Leonard Nanlohy Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Finding God In All Things

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Krim (Cerita Pendek)

13 Juli 2024   12:29 Diperbarui: 13 Juli 2024   12:31 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Es Krim (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Aku mendengar suara langkahnya mendekat ke arahku. Ibu lalu mengusap-usapkan jarinya ke ujung kakiku, sama seperti dulu, ketika aku masih seumur Nala. Sentuhan ibu begitu aku rindukan, sudah belasan tahun sejak terakhir kali ibu mengusap ujung kakiku.

"Nak," kata ibu. "Ibu kangen banget sama kamu, boleh buka matanya sebentar? Ibu mau lihat kamu," lanjutnya, memintaku untuk menatapnya. Suara ibu adalah salah satu hal yang paling kurindukan, karena melalui setiap kata yang keluar dari bibirnya, selalu ada cinta dan ketulusan yang tersimpan di baliknya.

Aku terdiam sejenak, berusaha membuka kedua mataku dengan sempurna. "Iya bu," aku membalas, sambil menatap wajahnya yang masih bersinar.

"Maaf bu, tadi mataharinya terang banget," lanjutku beralasan.

Wajah ibu telah berubah seiring dengan berjalannya waktu, namun parasnya yang cantik tetap abadi. Setiap garis dan lekuk di wajahnya menyiratkan kisah yang begitu berharga. Kini, ibu duduk di tepi kasur, sambil tetap mengeluskan tangannya pada kedua kakiku.

"Ibu mau tanya sekali lagi, tapi dijawab serius ya," kata ibu, mengubah nada bicaranya menjadi lebih tegas. "Kalau ibu kangen sama kamu, boleh kan?" lanjutnya.

"Maksudnya gimana bu?" tanyaku bingung. "Tadi kan aku juga udah bilang, wajar banget kalau seorang ibu kangen sama anaknya, itu alasan ibu datang ke sini, kan?" kataku, mengulangi pernyataanku, sekaligus protes atas pertanyaan konyolnya.

Ibu tersenyum, menghampiriku, lalu membuka kedua lengannya. Dia mendekapku dalam tenang. "Kamu pasti bisa melewatkan ini semua," jawabnya menenangkanku. "Pelan-pelan, satu per satu ya, nak," tutupnya, sambil mengeratkan pelukannya.

Aku membalas pelukan ibu, memejamkan mataku, lalu mendekapnya dalam-dalam sambil menarik napas panjang. Ketika aku menghela napas panjang, air mata turun perlahan membasahi pipiku.

Aku memeluk ibu dengan sangat erat, namun semakin kuat pelukanku, badan ibu terasa semakin hangat. Air mataku masih mengalir, seolah membilas wajahku dengan kejujuran yang ada di setiap tetesnya. Aku mengusap kedua mataku, berusaha untuk tetap tegar dalam dekapan seorang ibu. Pada helaan napas panjangku yang terakhir, aku membuka mata perlahan-lahan.

Ibu tidak pernah ada di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun