Rasa hangat yang muncul ketika aku mendekapnya datang dari cahaya matahari pagi yang membangunkanku, sekaligus membasuh semua rasa sakitku. Kicauan burung yang merdu kembali kudengar, seraya aku tersadar bahwa tidak ada siapa pun di kamarku. Kepakkan sayapnya terdengar begitu jelas, seolah mengangkat semua rasa pedihku yang terbang menembus awan, memberikan pesan untuk Nala.
"Nak, ayah baik-baik saja," aku berulang kali mengucapkannya dalam hatiku, seolah ingin menyampaikan pesan kepada Nala.
Seperti lukisan indah yang tidak pernah pudar, kehadiran ibu selalu berhasil membawa keajaiban dan ketenangan di setiap detiknya. Meskipun raganya tidak lagi di sini bersamaku, aku masih bisa merasakan cintanya yang abadi.
Ibu selalu rutin menyempatkan diri untuk datang, berkunjung menghiburku, setiap hari setelah aku kehilangan Nala.
*
Aku selalu terjaga sepanjang malam, bahkan enggan untuk menutup mata hingga keesokan harinya. Namun entah kenapa, ibu selalu datang setiap pagi, membangunkanku dari tidur dengan cara yang sama, lalu kembali hilang saat air mataku mulai turun.
Kehadiran ibu berulang dari pagi berikutnya, ke pagi berikutnya, ke pagi berikutnya lagi, ke pagi berikutnya lagi.
Ibu datang setiap pagi, setiap hari, selama hampir dua bulan.
Nisa sudah tidak ada di rumah, dia tidak pamit saat memutuskan untuk pergi. Nisa membawa seluruh dendam dan cintanya pergi, meninggalkanku sendirian di rumah baru kami. Aku tidak mendapatkan kabar apa pun tentang dia, bahkan tidak tahu ke mana dirinya pergi.
Dia hanya meninggalkan sebuah amplop, Nisa meletakkannya di atas meja yang berada di ruang tamu. Aku memberanikan diri untuk mengambil surat itu, membuka isinya, lalu membaca pesan yang ditinggalkan Nisa.
"Teruntuk suamiku tercinta, sekaligus ayah terburuk yang pernah ada di dunia," tulis Nisa di bagian atas surat itu.