Aku dan Nisa tenggelam dalam lautan penyesalan yang begitu dalam.
Tiga minggu pertama sejak kehilangan anak perempuan kami satu-satunya, Nisa selalu menyalahkanku setiap waktu, kemarahannya tidak berkesudahan. Dia selalu berteriak di depan daun telingaku, mengungkit kelalaianku setiap kali aku menginjakkan di rumah. Kami masih belum bisa menerima kenyataan, bahwa Nala sudah tiada.
Aku berusaha kabur dari kenyataan, mengunci diriku di dalam kamar sendirian. Sebaliknya, Nisa tidak mau lagi tidur di dalam kamar, dia bilang ingatannya tentang Nala selalu datang menghantuinya saat tidur di kasur ini.
Aku tidak bisa lagi melampiaskan kemarahanku dengan menulis, semuanya berubah sejak kepergian Nala. Suara tangisan Nisa masih terdengar dari balik pintu kamarku. Dia masih sangat terpukul oleh kelalaianku menjaga Nala.
Aku tidak bisa memendam semuanya lagi, aku berjalan ke arah lemari pakaian, membanting pintunya, lalu menghamburkan semua baju yang ada di dalamnya. Aku berteriak dalam-dalam, diikuti oleh suara tangisan Nisa dari luar kamar.
Aku merasa tidak layak, hancur ditelan kebencian kepada diriku sendiri. Seketika, semuanya menjadi hitam dan gelap.
Aku kehilangan Nala, anakku. Aku kehilangan Nisa, istriku.
Aku kehilangan diriku sendiri, kami lenyap bersama-sama, hilang dilahap api penyesalan.
*
Tiga hari setelah kepergian Nala, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku. "Ada urusan keluarga yang harus diselesaikan," begitu kataku, berbohong setiap kali ada yang menanyakan alasanku berhenti bekerja.
Setelah resmi menjadi seorang pengangguran, aku hanya menghabiskan waktu di rumah, membayar semua utangku pada Nala, berharap dia masih sempat melihatku dari balik awan, dan tersenyum bahagia melihat ayahnya tidak lagi bekerja, meninggalkannya sendirian di rumah.