Sesampainya di samping mobil, aku membuka pintu bagian tengah, perlahan-lahan meraih es krim rasa french vanilla dengan butterscotch, favorit Nala. Es krimnya sudah mulai mencair, genggamanku terlalu erat, sehingga es krim itu semakin meleleh dan mengalir perlahan membasahi tangan kiriku. Tetesannya turun satu per satu sampai hampir menggenang di kursi mobilku.
Aku terus menggerutu di dalam mobil, memaki diriku sendiri atas kelalaian yang aku lakukan. Aku berusaha mencari tisu yang biasanya diletakkan di saku jok mobil. Tangan kananku merogoh saku jok, satu per satu, namun aku gagal menemukan tisu itu.
Ketika masih sibuk mencari tisu, aku mendengar bunyi klakson yang nyaring dan begitu panjang. Bunyi itu diiringi oleh suara gesekan ban mobil dengan aspal yang menimbulkan decitan melengking, suara khas yang dikeluarkan oleh mobil berkecepatan tinggi ketika menghentakkan rem secara tiba-tiba.
Suaranya terdengar jelas, mereka menusuk telingaku. Bunyinya begitu nyaring sehingga menembus semua sudut di kepalaku. Sungguh, perpaduan bunyi yang kurasa mampu menghancurkan kaca-kaca mobilku.
Aku langsung mengambil es krim itu, tanpa sempat membersihkan sisa-sisa tumpahan yang masih berlumuran di kursi mobilku. Aku membanting pintu mobil, dan segera memalingkan pandanganku ke arah Nala.
Dia sudah tidak ada di sana.
*
Sejak kepergian Nala, sifat Nisa berubah drastis. Dia jadi lebih sering meluapkan emosinya dengan berteriak. Beberapa kali, Nisa bahkan tidak ragu untuk melayangkan pukulan ke arahku. Kami berdua sama sedihnya, namun aku bisa memahami rasa kecewa Nisa padaku, pasangannya yang lalai menjaga permata kecil kami.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, Nala adalah anak yang pintar. Dia selalu menuruti apa kataku dan Nisa sebagai kedua orang tuanya. Di hari istimewanya, Nala lebih memilih untuk mewujudkan mimpinya menjadi burung cenderawasih.
Dia hanya berusaha untuk terbang bebas, menuju rumah abadinya di balik cahaya matahari yang indah kala itu.
Melalui kepergiannya, Nala menancapkan luka yang sangat dalam bagi kami berdua. Tidak satu pun yang menyangka bahwa Nala akan pergi meninggalkan aku dan Nisa. Tidak ada lagi tawa lucu yang terdengar darinya, tidak ada lagi tangan kecil yang menggenggamku saat menyambut akhir pekan, menyaksikan matahari tenggelam di ufuk barat cakrawala.