Suara tangisan Nisa sudah tidak ada lagi, aku hanya bisa mendengar suara kicauan burung-burung yang sesekali hinggap di pagar rumah. Suasananya berubah menjadi lebih sepi, aku bahkan lupa kapan terakhir kali menyantap makanan. Hanya ada aku seorang diri, meringkuk di atas kasur yang pernah menyimpan memori indah bersama Nisa dan Nala.
Di tengah kesunyian itu, aku mendengar suara ibu. Dia sedang bersenandung, melantunkan lagu favoritnya ketika masih bersama dengan ayah. Aku, yang masih setengah sadar, bersusah payah untuk membuka kedua mataku. Cahaya kuning keemasan yang dipancarkan mentari pagi menusuk kedua bola mataku.
Aku terbangun, setelah sekian lama hilang dari dunia ini.
Lantunan merdu dari suara ibu masih terdengar. Aku melayangkan pandanganku ke arah lemari pakaian. Aku melihat ibu sedang membereskan semua pakaian yang berhamburan di lantai kamarku. Sinar matahari pagi dan debu dari tumpukan pakaian membuat ibu terlihat bersinar dari tempat tidurku.
Aku masih belum bisa melihat mukanya, mataku seolah terkejut ketika melihat cahaya matahari pagi, setelah sekian lama mengurung diri di dalam gelap.
Perlahan-lahan, wajah ibu mulai terlihat, meski masih samar-samar. Aku menatapnya dari kejauhan, berusaha untuk mengingat setiap detail yang lama telah hilang dari ingatanku. Dia memperlihatkan senyuman manisnya, sambil tetap bersenandung di bawah sinaran mentari. Wajahnya tampak sangat nyata, aku sudah lama tidak melihat senyumnya secerah ini.
"Pagi, sayang," sapa ibu. Suaranya masih sangat lembut, tidak berubah sejak terakhir kali aku mendekapnya.
"Ibu, kok ada di sini?" tanyaku, sambil memandangi sosoknya dari kasurku. Rambutnya yang hitam legam kini mulai beruban. Setiap helainya seolah menceritakan perjuangan dan cinta yang tidak terhingga jumlahnya. Aroma khas dari rambutnya selalu berhasil membawa kenangan masa kecil yang indah.
"Iya, ibu cuma mau mampir," balasnya. "Emang enggak boleh ya, kalau seorang ibu kangen sama anaknya?" lanjut ibu, protes karena pertanyaanku.
Senyumannya masih memancarkan kehangatan yang sama seperti dulu. Kulitnya yang halus dan berwarna kuning langsat tampak menawan, lengkap dengan beberapa kerutan halus di bagian bawah matanya, menandakan banyaknya senyum dan tawa yang mengisyaratkan kebahagiaan di sepanjang masa hidupnya.
Aku kembali memejamkan mata, berbaring di atas kasur sambil mengumpulkan tenaga untuk bangkit berdiri. "Ya boleh lah, bu. Enggak masalah kok," jawabku.