"Mau nggak?" tanyaku, menggeser bungkus rokokku ke arah Dira.
"Boleh?" katanya.
"Boleh laahh! Enggak perlu izin gitu, dong! Artis, lo?!" balasku, sedikit meledek.
Asap rokok yang menyelimuti kami membuat dingin malam semakin syahdu. Pada isapan rokok terakhir, kami sesekali saling bertatapan, kemudian membuang mata ke arah yang berlawanan, lalu sama-sama tertawa kecil.
Sungguh, cara yang aneh untuk menunjukkan rasa sayang dan jatuh cinta.
Sama seperti kata Dira, malam-malam seperti ini, selalu memberikan kesan untuk seorang manusia. Menciptakan ingatan yang membentuk manusia dari waktu ke waktu. Memori itu, membekas setiap kali aku menuju restoran ini.
Memori tentang Via? Mereka tetap ada, namun seiring berjalannya waktu, memori itu pudar perlahan-lahan. Seolah terhapus oleh kabut asap dari rokok yang kami nyalakan.
Pertemuan makan malam selanjutnya, giliran Dira yang akan memilih tempat. Aku tidak sabar, dia bilang ada satu makanan yang aku pasti suka. Aku selalu menantikannya.
*
Satu minggu telah berlalu, aku dan Dira selalu dipisahkan oleh hari kerja. Setidaknya, aku sibuk mengurusi pekerjaanku di sebuah kantor media cetak ternama di Jogjakarta, sedangkan Dira aktif berkegiatan di sebuah organisasi sosial, tempat dia magang ketika dulu masih kuliah. Kami berdua hanya bertukar kabar lewat WhatsApp, dan berbicara melalui telepon, hampir setiap malam.
Sejak minggu lalu, Dira sudah berjanji mau mengajakku ke tempat makan baru. "Tempatnya kayak kafe gitu, tapi enggak cuma jual kopi, ada makanan juga," kata Dira waktu itu. Dia selalu antusias membawaku ke tempat-tempat baru, sama antusiasnya ketika aku mengajak Dira makan di restoran yang menjual mi laksa minggu lalu.