Mohon tunggu...
Marshel Leonard Nanlohy
Marshel Leonard Nanlohy Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Finding God In All Things

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Makan Malam (Cerita Pendek)

13 Juli 2024   10:13 Diperbarui: 13 Juli 2024   10:19 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Makan Malam

Sesampainya di restoran, aku segera menghampiri meja kasir, memesan kursi untuk dua orang, seperti yang biasanya aku lakukan dulu. Tempat ini tidak berubah sama sekali, lokasinya yang dekat dengan pusat Kota Jogja membuatnya sangat nyaman untuk disinggahi. Warna cat temboknya masih sama, walaupun semakin menguning sejak beberapa tahun lalu aku pergi ke tempat ini.

"Sudah reservasi, mas?" tanya salah satu pramusaji.

"Sudah, mbak," balasku. "Atas nama Anton. Untuk dua orang."

"Baik, sebentar, saya cek dulu ya, mas," katanya, sambil memencet layar komputer yang hanya bisa aku lihat melalui pantulan cahaya dari cermin di bagian belakang kasir. "Atas nama Anton, dengan pesanan mi laksa satu, dan kwetiaunya satu," lanjutnya menjelaskan.

"Mmm...ini, ada catatan lagi mas, kwetiaunya pe....des......sedikit? Betul, ya?" tanya mbak pramusaji memastikan, sambil berusaha mengernyitkan dahi, dan menyipitkan matanya. karena kesulitan membaca tulisan tanganku.

"Iya, betul mbak, makasih, ya..." kataku, sedikit gugup karena malu.

"Untuk minumannya, ada dua es teh nyonya, dan satu air putih ya, mas?" balasnya, sekali lagi mengonfirmasi pesanan yang aku tulis.

"Iya mbak, yang es teh nyonya, gulanya juga sedikit aja," tegasku.

Aromanya masih sama, aku bisa merasakan kuah laksa di ujung lidahku, hanya dengan satu hirupan napas panjang. Bunyi wajan, aku biasa menyebutnya wok, yang terdengar dari ruang masak menjadi pelengkap dari rasa laparku sore menjelang malam itu. Aku ingin segera menyantapnya.

Di Jogja, tidak perlu menunggu hujan untuk merasakan dinginnya malam. Beda banget sama Jakarta. Makanya, tempat ini sangat tepat untuk menghangatkan perut dengan makanan berkuahnya.

"Permisi mas, mari, saya antar," ucap seorang pramusaji lainnya, membawa buku menu, dan mengantarkanku ke meja yang kosong untuk dua orang.

Dira, pacarku, baru saja berangkat dari tempat kerjanya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih dua menit, tapi Dira baru saja berangkat dari kantornya. Dia bilang, ada kegiatan kantor yang harus dihadirinya. Jarak dari kantornya ke restoran ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh hingga lima belas menit.

Aku sengaja memilih untuk duduk di area luar. Supaya bisa merokok setelah makan hidangan yang hangat, berkuah, dan pedas. "Ini akan menjadi malam yang indah," begitu pikirku.

Aku berjalan menyusuri ruangan di restoran itu. Di saat aku melihat bangku-bangku yang tersusun rapi, sama seperti dua tahun yang lalu, memori dalam ingatanku menyeruak, membuatku hanyut tenggelam bersama dengan kenangan indah di setiap sudutnya.

Sambil melangkahkan kaki, aku mengenang masa-masa indah yang juga pernah aku temukan di tempat yang sama. Aku melayangkan pandanganku ke sebuah sudut di area dalam restoran. "Waktu itu, aku sama Via duduk di sana," gumamku dalam hati. Jantungku berdegup cepat, rasanya seperti ditabrak oleh sebuah truk yang isinya ratusan memori yang pernah terjadi.

"Di sini ya mas, kalau ada tambahan pesanan, silakan panggil petugas kami lagi, terima kasih."

"Terima kasih, mbak," jawabku ramah. Sepertinya pramusaji itu juga sama, aku tidak asing ketika melihat wajahnya.

Sudah dua tahun lebih aku tidak mengunjungi tempat ini. Aku memang sengaja menghindari tempat-tempat yang dulu pernah aku kunjungi bersama Via, mantanku. Kami hanya berpacaran selama 27 bulan. Dibilang lama, sebetulnya enggak terlalu, tapi dibilang sebentar, juga enggak sebentar. Tempat ini, pernah menjadi lokasi favoritku dan Via. Tapi, kebiasaan untuk menghindar itu berubah, ketika Dira datang, dan mengubah pandanganku tentang kenangan.

Aku duduk di meja yang sama, tempat aku duduk sendiri dulu, ketika masih bersama Via. Aku ingat, waktu itu semua orang bingung melihatku. Mereka heran, dan mungkin sedikit kesal, karena melihatku duduk sendiri di area luar, tanpa makanan, dan hanya merokok.

Dulu, sewaktu masih menjadi pacar Via, aku jarang sekali merokok di depannya. Dia tahu kalau aku merokok, namun keluarganya tidak mengetahuinya. Sebagai pacar yang baik, terlebih untuk menghormatinya, aku mengambil tempat sendiri untuk mengisap rokok, beberapa saat setelah selesai menghabiskan santapan makan malam.

Ya, cara menghormatiku memang bukan dengan berhenti merokok. Sepertinya, itu juga alasan utama kenapa Via menyerah pada hubungan kita. Via lebih suka laki-laki yang tidak merokok.

Kali ini, aku benar-benar duduk sendiri, menunggu Dira, pacarku, yang sesekali bersedia menemaniku merokok.

*

Di area luar, setiap meja memiliki asbaknya masing-masing, sehingga aku tidak perlu lagi bertanya atau minta tolong diambilkan asbak. Sebuah peningkatan tersendiri, menurutku, karena kalau dulu, pelanggan harus mengambil asbaknya sendiri, semacam 'self-service' yang digunakan hanya dalam konteks merokok.

Aku mengeluarkan rokokku sekali lagi, seperti dulu. Mengambil pemantik yang juga mirip seperti dulu. Aku lebih suka menyebutnya pemantik atau macis, karena yang aku punya bukan korek api biasa seperti yang digunakan oleh orang-orang pada umumnya.

"Ckkk....tiinggg..." bunyi nyaring dari pemantikku.

"Css....kriitik....tik.." bara menyala dari ujung puntung rokokku.

Aku mengisap rokok itu dalam-dalam. Sebelum sempat menghabiskan rokokku, Dira datang. Ia bergegas menuju meja tempat kita berdua akan makan, menyapaku dengan sebuah tos, lalu langsung pergi ke toilet untuk memperbaiki rambut dan wajahnya yang kusut terkena debu Kota Jogja.

*

Dira sangat pandai dalam hal merias wajah. Kemampuan itu semakin terasah sejak dia kehilangan ibunya. Dira pernah bilang, waktu kami sedang menjalani proses pendekatan, katanya, "Setiap kali aku sedih karena kangen sama ibu, aku selalu membuka kotak make-up punya ibu, isinya masih lengkap."

"Enggak ada yang berani megang kotak rias itu kecuali aku, kakak-kakakku takut, katanya nanti jadi sedih karena keinget sama ibu," ucap Dira, sambil menunjukkan kotak kecil berwarna krem yang selalu dia bawa ke mana pun dia pergi. "Padahal. kan, kenangan itu harusnya jangan dikubur, tapi belajar untuk hidup, kekal, bersama-sama dengannya. Ya, kan, Ton?" tanya Dira, melayangkan pandangannya ke mataku.

"I....iyaa, Dir..." balasku gugup, mencoba memahami kalimat yang dilontarkannya.

Dira selalu membuatku berpikir dan merenung. Isi kepalanya ada-ada saja, mungkin itu juga yang membuatku tertarik dengannya. Aku selalu dibuat takjub oleh pemikirannya, dan kekagumanku tidak berhenti sampai di situ.

Jika kepalanya bisa dibuka, aku yakin isinya terdiri dari jutaan pemandangan yang indah, bentuk-bentuk langit yang megah, namun juga kompleks, atau, jika memang bukan pemandangan, aku yakin isi kepalanya adalah rumah megah yang lantainya dilapisi marmer dan emas. Sementara itu, pada bagian dindingnya tertanam puluhan berlian, yang jika terkena sinaran lampu, akan berkilauan menghiasi ruang-ruang di kepalanya.

Aku senang memiliki pasangan yang bisa membuatku hanyut, larut terbawa arus obrolan. Dira juga memiliki cara pandang yang unik dalam melihat sesuatu, mirip sekali dengan ayah. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa aku jatuh hati padanya.

Sebagai seorang pendengar, Dira selalu memberikan ide-ide yang tidak terpikirkan olehku. Setiap kali kami berbincang, rasanya aku dan Dira sedang duduk di luar angkasa, menghadap ke bumi, seolah bisa bernapas di bagian terluar dari alam semesta ini, aneh rasanya.

Aku, yang gemar mengisi hari dengan menulis, senang sekali bisa ketemu premis-premis kecil dari isi pikiran Dira. Terkadang, saat dia melontarkan pendapatnya, aku terdiam, seketika mengeluarkan ponselku, dan mencatat kata-katanya di notes. Ya, Dira kadang terganggu dengan kebiasaanku itu, katanya, "Ah, kamu mah, obrolannya jadi enggak seru," keluhnya dengan nada bercanda.

Wajahnya sangat manis. Bukan bermaksud gombal, tapi sejujurnya, matanya sudah sangat indah meski tanpa soft lens warna abu-abu. Bulu matanya berbaris rapi, melengkung ke atas seperti barisan ombak yang berdebur di tepian pantai, sekalipun tanpa memakai extension favoritnya. Dira memiliki bulu mata yang lebih lentik dari bulu mataku. Tidak hanya itu, hidungnya juga memiliki bentuk yang lucu, lengkap dengan tahi lalat di batang hidung bagian atas, tepat di pinggir alis yang membuatnya semakin cantik.

Tatapannya yang tajam, selalu menyihirku setiap kami saling tatap ketika sedang berbicara. Sama seperti pipinya yang merona, tanpa perlu memakai blush on, Dira juga memiliki bibir yang melekuk indah. Jauh berbeda dengan bibirku yang pucat, tidak terawat, dan hampir setiap saat pecah-pecah, meskipun sudah banyak minum air putih.

Dira memiliki kemampuan berpikir yang selalu aku kagumi, dia juga pandai merawat diri, serta penampilannya, tidak hanya itu, paras wajahnya juga sangat manis, bahkan terlalu manis untuk dilupakan.

Aku beruntung bisa mengenal Dira, sosok perempuan yang paling kuat yang pernah kutemui, setelah ibuku sendiri, tentu saja. Dira telah memberikanku banyak hal-hal baru yang bisa aku gunakan untuk menulis premis, tidak hanya itu, dialah yang mengajarkanku cara untuk menulis kisah hidup dengan langgam-langgam yang indah.

*

Setelah selesai dengan urusannya di kamar mandi, Dira menghampiriku dari belakang, memegang kedua pundakku, sambil mencoba mengejutkanku. "Dorrr!" kejutnya, sambil sedikit berbisik.

Aku pura-pura terkejut, tentu saja, wangi parfumnya sudah bisa tercium dari jauh, mengalahkan wangi kuah laksa yang menyeruak dari dalam dapur restoran. Aroma parfum yang sangat khas, juga dilengkapi oleh wangi pelembap rambut yang menempel seharian di rambutnya, meskipun rambutnya sering kali dirusak oleh helm favoritnya sendiri. Dia selalu membawa helm itu ke mana pun dia pergi, supaya lebih aman, katanya.

Seperti biasa, Dira duduk di sampingku. Kami berdua bukan tipe pasangan yang suka duduk berseberangan. Pernah sekali waktu, ketika aku dan Dira terpaksa duduk berhadap-hadapan, dia langsung bilang, "Iya pak, saya sudah lihat CV bapak kemarin, jadi, kenapa bapak pilih kerja di tempat ini?" kata Dira, sambil pura-pura menjadi seorang HRD yang mewawancarai calon pegawai perusahaan.

"Kamu sampai jam berapa tadi, Ton?" tanya Dira.

"Jam enam lebih sedikit, enggak terlalu lama kok," jawabku, sedikit berbohong karena aku sudah menunggu hampir setengah jam. Sekarang, jam di tangan kiriku menunjukkan pukul 18.25, cahaya matahari sudah mulai dilahap oleh gelapnya malam. Terang bulan dan lampu-lampu restoran menghiasi malam kami.

"Udah pesen belum?" kata Dira, memastikan bahwa aku tidak lupa minuman kesukaannya.

"Suuudaah, nona maniiiss," balasku manja, aku tersenyum.

"Hehehe, soalnya aku udah lapeeerr banget, mau cepet-cepet nyobain kwetiaunya," kata Dira sambil menggenggam erat tangan kananku. "Oh ya, terus kamu bilang tehnya itu enak banget, aku jadi keroncongan!" lanjutnya semringah, matanya berbinar-binar, aku bisa melihat wajahku sendiri dengan jelas dari kedua bola matanya yang indah.

Dira sangat bersemangat, dan lapar. Aku pun sama, perut ini sudah berusaha aku tahan supaya tidak mengeluarkan bunyi-bunyian aneh. Sambil tetap ngobrol dan sesekali tertawa, kami berdua sudah tidak sabar menunggu hidangan yang telah dipesan.

Beberapa saat setelahnya, Dira menoleh ke kiri, dan melihat hidangan yang kami pesan telah dibawakan oleh seorang pramusaji.

"Waaaahhhh! Porsinya banyak banget, sih, aku kayaknya enggak habis, deh, Ton..." kata Dira khawatir, melihat makanan yang dibawakan dengan porsi yang sangat banyak.

"Dir, tenang, aku siap membersihkan semuanya," balasku yakin, walaupun aku pun khawatir akan muntah jika terlalu cepat menghabiskan porsi yang banyak ini. "Oh iya, minumannya dicobain dulu, ini minuman terenak se-Kota Jogja," tegasku yakin.

Dira mendekatkan mulutnya ke ujung sedotan, mencicipinya, lalu berkata, "Aaaakkk, beneran enak bangett!" Dira tersenyum lebar dari ujung pipi yang satu, ke ujung pipi lainnya. Dia sangat senang dengan minuman yang dulu, pernah menjadi favorit Via.

Setelah semua hidangan disajikan, Dira langsung meraih ponselnya dari dalam tas, menahannya dengan sebuah kotak untuk meletakkan sendok dan garpu, lalu mulai merekam kami berdua yang sedang makan.

Kebiasaan ini Dira lakukan sejak dulu, bahkan sebelum bertemu denganku. Menurutnya, merekam adalah salah satu wujud mengabadikan memori. Dia masih bersikeras bahwa manusia dibentuk oleh kumpulan memori, baik memori bahagia maupun yang menyedihkan.

Aku hanya bisa setuju, sambil sesekali terlintas memori tentang aku dan Via, perempuan yang dulunya pernah memiliki hubungan spesial, sama seperti hubunganku dan Dira saat ini.

Kami mulai melahap makanan satu per satu. Kuah laksa yang gurih dan nikmat melengkapi malamku bersama Dira. Tidak lupa, kwetiau yang pedasnya sedikit itu juga melengkapi malam kami yang indah, sambil sesekali menyeruput es teh nyonya yang menyegarkan. Dira puas sekali dengan makanannya.

"Wah, ini sih enak banget," kata Dira, takjub. "Aku pasti balik lagi ke sini, sih," lanjutnya sambil menggulungkan kwetiau menggunakan garpu di tangan kirinya.

Aku tidak sempat membalasnya, bahkan untuk sekadar bertanya lagi pun, aku tidak sanggup. Perihal dia akan ke sini lagi bersamaku atau tidak, itu urusan belakangan. Semakin dekat aku dengan Dira, semakin aku luput untuk memerhatikan apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Satu hal yang pasti, Dira dan aku tidak menyia-nyiakan waktu yang saat ini sedang diberikan kepada kami. Dua orang manusia yang bahagia dan bersyukur, karena keduanya dipertemukan untuk saat ini.

Setelah selesai makan, bahkan hingga perut kami bertambah buncit, aku kembali mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku celanaku, sekali lagi menyalakan rokok menggunakan pemantikku.

"Ckkk....tiinggg..." sekali lagi, bunyi yang keluar sangat nyaring dari pemantikku.

Kali ini, aku tidak sendirian lagi, aku ditemani oleh Dira, pacarku.

"Mau nggak?" tanyaku, menggeser bungkus rokokku ke arah Dira.

"Boleh?" katanya.

"Boleh laahh! Enggak perlu izin gitu, dong! Artis, lo?!" balasku, sedikit meledek.

Asap rokok yang menyelimuti kami membuat dingin malam semakin syahdu. Pada isapan rokok terakhir, kami sesekali saling bertatapan, kemudian membuang mata ke arah yang berlawanan, lalu sama-sama tertawa kecil.

Sungguh, cara yang aneh untuk menunjukkan rasa sayang dan jatuh cinta.

Sama seperti kata Dira, malam-malam seperti ini, selalu memberikan kesan untuk seorang manusia. Menciptakan ingatan yang membentuk manusia dari waktu ke waktu. Memori itu, membekas setiap kali aku menuju restoran ini.

Memori tentang Via? Mereka tetap ada, namun seiring berjalannya waktu, memori itu pudar perlahan-lahan. Seolah terhapus oleh kabut asap dari rokok yang kami nyalakan.

Pertemuan makan malam selanjutnya, giliran Dira yang akan memilih tempat. Aku tidak sabar, dia bilang ada satu makanan yang aku pasti suka. Aku selalu menantikannya.

*

Satu minggu telah berlalu, aku dan Dira selalu dipisahkan oleh hari kerja. Setidaknya, aku sibuk mengurusi pekerjaanku di sebuah kantor media cetak ternama di Jogjakarta, sedangkan Dira aktif berkegiatan di sebuah organisasi sosial, tempat dia magang ketika dulu masih kuliah. Kami berdua hanya bertukar kabar lewat WhatsApp, dan berbicara melalui telepon, hampir setiap malam.

Sejak minggu lalu, Dira sudah berjanji mau mengajakku ke tempat makan baru. "Tempatnya kayak kafe gitu, tapi enggak cuma jual kopi, ada makanan juga," kata Dira waktu itu. Dia selalu antusias membawaku ke tempat-tempat baru, sama antusiasnya ketika aku mengajak Dira makan di restoran yang menjual mi laksa minggu lalu.

Sore ini, aku berkesempatan untuk menjemput Dira langsung di tempatnya bekerja. Aku sudah tiba di halaman kantornya. Dari atas motor, aku membuka ponselku, dan segera mengabarkan Dira.

"Aku sudah di depan, ya," kataku.

"Oke, aku ke sana," balasnya.

Dira pun berjalan menghampiriku. Dari tempatku, aku bisa melihat Dira melangkah menghampiriku. Cara jalannya sangat elegan, dan anggun tentunya. Hari ini, dia menggunakan pakaian kesukaannya, sebuah kemeja berwarna coklat terang, dengan kancing warna kuning keemasan yang dibuka satu pada bagian paling atas. Kalungnya terlihat bersinar memantulkan cahaya matahari. Dari kejauhan, aku bisa melihat rambutnya yang bergelombang, menjuntai ke belakang, terayun oleh angin yang sedang berhembus.

"Sudah siap?" tanya Dira.

"Yuk," aku menurunkan footstep motorku, mempersilakan Dira untuk menaiki motorku.

"Kita mau makan besar atau makan cantik?" tanyaku, sekaligus meminta gambaran tentang restoran yang kami tuju.

"Hah? Makan cantik? Aku baru denger istilah itu, hahaha..." ledeknya sambil tertawa.

"Iya, itu loh, kalau makanannya estetik, banyak garnishnya, aku sebutnya 'makan cantik', hehehe, karena sayang kalau dihabisin, terlalu cantik untuk dimakan," balasku, mencoba menjelaskan Dira.

"Hahahaha, ya ampun Anton, kalau gitu, artinya kita makan besar dan cantik, supaya adil," katanya, sambil menaiki motorku, dan memelukku erat dari belakang.

Aku melajukan motorku perlahan, berjalan menjauh menyusuri gang, meninggalkan area kantor Dira. Kami menikmati Kota Jogja di sore hari, lengkap dengan momen berhenti singkat di setiap lampu merah, sambil sesekali menertawakan pengemudi lain yang tingkahnya aneh-aneh.

Pada waktu lampu hijau menyala, Aku dan Dira kembali berjalan lagi, kami melewati Jembatan Sayidan yang ikonik, ditemani dengan panasnya sinar matahari Jogja di sore hari yang cukup menyengat di kulit.

*

Kami duduk di sudut ruangan lantai dua, tempatnya cukup nyaman. Aku dan Dira ditemani oleh beberapa pengunjung lain, sepertinya, mereka juga berpasangan. Cahaya lampu kafe di Jogja selalu berwarna kuning dan agak redup, menambah kesan estetik, namun menyiksa jika terlalu lama. Suara perutku dan Dira sudah berbunyi, sahut-sahutan, seperti paduan suara yang merdu, menandakan aku dan Dira yang sudah sangat kelaparan.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kami berdua memesan makanan dan minuman yang tersedia. Aku, memesan satu americano dingin dan air putih, sedangkan Dira, memesan es teh manis dengan gula yang sedikit.

Dira masih sibuk dengan urusan pekerjaannya. Beberapa kali, dia menyalakan ponselnya, membalas pesan, lalu kembali mengunci ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Ada apa, Dir? Aman, kan?" tanyaku.

"Ini, Mas Bona belum balas dari tadi, harusnya dia yang handle bagian ini, aku kesel juga, dia responsnya agak lama, maaf ya, aku jadi harus cek hape," keluh Dira, merasa bersalah.

Tidak mau semakin merusak suasana, aku berusaha mencairkan suasana, "Ya udah, buat video aja, yuk?" Aku mengeluarkan ponselku, menyalakan video, dan merekam kami berdua yang baru akan memakan menu pilihan Dira.

Dira memesankan aku menu favoritnya di kafe ini, nasi ikan dori dengan sambal matah. "Aku selalu inget waktu kuliah dulu kalau makan ini," katanya, bernostalgia. "Dulu itu aku sering banget main ke sini, di tempat duduk yang sama di lantai dua ini."

Aku hanya mendengarkan ceritanya, sambil mencoba memahami perasaan Dira. Tebakanku, saat ini Dira pasti sedang merasakan kenangan masa lalunya menabrak pikirannya, terpecah menjadi kepingan-kepingan kisah yang pernah dia alami. Ya, kurang lebih sama dengan apa yang aku alami satu minggu lalu, di tempat yang dulu pernah aku kunjungi bersama Via.

"Aku dulu ke sini sama --- "

Dira terhenti, seperti memikirkan kata yang tepat untuk dikeluarkan. Aku jarang melihat Dira kebingungan untuk memilih kata. Biasanya, dia hampir selalu memimpin sebuah percakapan. Baru kali ini aku melihatnya gugup ketika bercerita.

"Sama mantanmu, ya?" tanyaku, memotong Dira.

Dira tersenyum kecil, berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang meskipun agak terkejut dengan responsku. Kedua tangannya masih sibuk memegang gelas berisi es teh manis, sesekali mengaduknya dengan sedotan, seperti mengalihkan fokus, matanya sedikit berkaca-kaca.

"Huuuhhh...." Dira menghela napas lega. "Iya, dulu itu aku sering ke sini, diajak sama Reza," jelasnya, getir.

Untuk kedua kalinya selama aku berpacaran dengan Dira, nama Reza disebut di waktu dan kondisi yang mirip. Kali pertama Dira menceritakan Reza adalah ketika kami berdua sedang pergi melihat matahari terbenam dari atas sebuah bukit, di pinggir Kota Jogja.

"Masih berat banget, ya?" tanyaku, mencoba tetap tenang walaupun sudah kadung terlahap oleh api cemburu.

"Bukan gitu, Ton," katanya, mencoba menjelaskan. "Kamu inget kan, dulu kita pernah ngomongin tentang memori?" tanya Dara, sambil sesekali mengaduk es teh manisnya yang mulai habis.

"I...yaa, aku inget, terus?" balasku, gugup kebingungan.

Dira menaruh gelas yang dipegangnya ke meja, dan berkata, "Aku tuh seneng banget bisa buat momen-momen indah bareng kamu," Dira lalu menatapku dalam, dan melanjutkan kalimatnya, "Tapi, Ton, aku masih sedih banget kalau inget momen-momen aku dan Reza."

"Padahal, Reza bahkan sekarang udah punya pacar baru, dan kami pisahnya juga enggak baik-baik..." lanjutnya.

Dira berhenti sejenak, air matanya sudah hampir tidak terbendung, mereka seolah siap untuk terjun membasahi pipinya. Sambil menghela napas, Dira melanjutkan kalimatnya, "Tapi.....

Dira menunduk, air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya, "Tapi aku masih ngerasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku sejak saat itu. Kayak ada bagian dari diriku yang belum kembali sepenuhnya."

Aku terdiam di tempatku, seperti beku karena melihat Dira menangis. Rasanya seperti jantungku berhenti berdetak beberapa saat. Keheningan itu terasa lama dan berat. Hanya suara samar dari pengunjung lain dan musik latar kafe yang terdengar, seolah berusaha menyuarakan kebingunganku.

Dira menghela napas panjang, mengambil tisu yang ada di meja, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku. "Ton, aku sayang kamu, beneran. Tapi aku butuh waktu buat bener-bener move on dari Reza, dari masa laluku," kata Dira sambil sesekali menyeka pipinya, membersihkan air mata menggunakan sehelai tisu.

"Aku takut Ton, aku nggak mau nyakitin kamu dengan kondisiku sekarang," Dira melanjutkan kalimatnya, seolah tahu bahwa aku cemburu setiap dia bercerita tentang Reza, mantannya.

Aku mencoba menyusun kata-kata dalam otakku yang kini terasa kacau. "Dir," giliranku berbicara. "Kita udah pernah ngomongin ini, aku ngerti," balasku, mencoba menenangkan Dira. "Aku cuma mau kamu tahu, bahwa sekarang ada aku di sini buat kamu, apa pun yang kamu rasain sekarang."

Dira tersenyum, perlahan-lahan tatapannya berubah menjadi lebih cerah, meskipun rasa sakit datang dan membekas. "Makasih ya, Ton. Kamu selalu bisa bikin aku tenang, kamu bisa mengurai emosiku satu per satu," balasnya memujiku.

Aku dan Dira kembali terdiam beberapa saat, makanan yang ada di depan kami berdua kini terasa hambar. Melalui segala kenangan manis yang pernah Dira miliki, kafe itu berubah menjadi saksi bisu dari perasaan yang tidak terungkap, curahan hati yang belum sempat terucap, dan air mata yang masih tertahan.

"Aku juga mau cerita, Dir," giliranku mengungkapkan perasaan. "Minggu lalu, tempat makan yang kita datengin itu, sebelumnya jadi tempat yang bolak-balik aku kunjungin sama Via," lanjutku menjelaskan.

Dira kembali terdiam, lalu menatapku sambil menganggukkan kepalanya perlahan. "Oh, aku enggak tahu itu, Ton," katanya, terkejut. "Aku minta maaf kalau enggak peka soal itu."

Aku menggelengkan kepala dan tersenyum lembut. "Enggak masalah, Dir. Aku pikir ini waktu yang tepat juga buat kita saling jujur, tentang perasaan kita masing-masing. Aku, yang masih kepikiran tentang Via dan memori-memorinya, dan kamu, yang beberapa kali kepikiran tentang Reza."

Dira mengangguk setuju, sambil meraih tanganku, dia berkata, "Kita berdua butuh waktu, ya?" tanya Dira. "Terutama, untuk benar-benar sembuh dari luka, atau memori sedih yang sebelumnya pernah terjadi," lanjutnya.

"Iya, kita butuh waktu," jawabku yakin. "Tapi percaya deh, kita pasti bisa ketemu caranya kok, dan kita akan diberikan jalan sama Tuhan," kataku.

Dira tersenyum, kali ini raut wajahnya penuh dengan kehangatan. "Aku mau mencoba, Ton. Aku mau berusaha untuk kita," balasnya, juga dengan penuh keyakinan.

Aku membalas senyumannya, merasakan kelegaan yang mendalam.

Setelah menghabiskan waktu dengan bercerita tentang masa lalu kami berdua, aku dan Dira memutuskan untuk pulang, pergi meninggalkan kafe itu. Sebelum beranjak dari tempat kami duduk, Dira mengambil tisu, sekali lagi mengecek wajahnya, membersihkan mata dan pipinya, lalu berjalan keluar, meninggalkan semua kenangan yang kami ciptakan malam itu.

Di luar, langit Jogja mulai gelap, udara semakin dingin, namun jalanan masih ramai dengan kerlip lampu dan suara kendaraan yang berlalu-lalang. Kami berdua berjalan beriringan, tangan kami saling menggenggam erat, seolah mencari kekuatan dari satu sama lain.

Kami bagaikan dua jiwa yang hilang, tersesat di antara riuhnya suara kehidupan malam.

Dalam perjalanan pulang, kami menghabiskan waktu untuk menikmati setiap detiknya dengan bercerita, tertawa, dan sewaktu-waktu saling menenangkan, ketika bayangan masa lalu kembali menghantui.

Kami sadar, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi kami juga tahu, bahwa yang kami punya saat ini adalah satu sama lain. Dira punya Anton, dan aku, Anton, punya Dira sebagai kekasihku.

Setelah sampai di depan rumah Dira, kami berhenti sejenak. "Makasih, Ton," ucap Dira pelan. "Aku enggak tahu gimana caranya aku bisa survive dari dunia yang gila ini, kalau enggak ada kamu," tegasnya.

Untuk kesekian kalinya di malam itu, Dira kembali tersenyum. Kali ini, senyumnya terlihat lepas, tidak ada beban yang dibawanya. Sambil menatapku dengan mata yang masih sedikit berbinar, Dira bilang, "Sampai ketemu besok, ya?"

"Sampai ketemu besok," jawabku.

Kami berdua saling melepaskan, meskipun hati kami tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. Kami memilih untuk melanjutkannya bersama-sama, menghadapi rasa sakit dan kebahagiaan yang telah menanti di hari-hari hebat selanjutnya.

Disertai oleh perasaan yang campur aduk, kami melangkah ke arah yang berbeda, namun dengan harapan bahwa suatu hari kelak, kami akan menemukan kebahagiaan yang sejati, meski perjalanannya terjal dan menyakitkan. Dari sanalah, di tengah kerlip lampu Kota Jogja, kisah kami berakhir, menggantung dengan harapan dan ketidakpastian yang manis.

Kepada Dira, sosok perempuan yang pernah menjadi orang paling spesial di hidupku, terima kasih banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun