Dira menunduk, air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya, "Tapi aku masih ngerasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku sejak saat itu. Kayak ada bagian dari diriku yang belum kembali sepenuhnya."
Aku terdiam di tempatku, seperti beku karena melihat Dira menangis. Rasanya seperti jantungku berhenti berdetak beberapa saat. Keheningan itu terasa lama dan berat. Hanya suara samar dari pengunjung lain dan musik latar kafe yang terdengar, seolah berusaha menyuarakan kebingunganku.
Dira menghela napas panjang, mengambil tisu yang ada di meja, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku. "Ton, aku sayang kamu, beneran. Tapi aku butuh waktu buat bener-bener move on dari Reza, dari masa laluku," kata Dira sambil sesekali menyeka pipinya, membersihkan air mata menggunakan sehelai tisu.
"Aku takut Ton, aku nggak mau nyakitin kamu dengan kondisiku sekarang," Dira melanjutkan kalimatnya, seolah tahu bahwa aku cemburu setiap dia bercerita tentang Reza, mantannya.
Aku mencoba menyusun kata-kata dalam otakku yang kini terasa kacau. "Dir," giliranku berbicara. "Kita udah pernah ngomongin ini, aku ngerti," balasku, mencoba menenangkan Dira. "Aku cuma mau kamu tahu, bahwa sekarang ada aku di sini buat kamu, apa pun yang kamu rasain sekarang."
Dira tersenyum, perlahan-lahan tatapannya berubah menjadi lebih cerah, meskipun rasa sakit datang dan membekas. "Makasih ya, Ton. Kamu selalu bisa bikin aku tenang, kamu bisa mengurai emosiku satu per satu," balasnya memujiku.
Aku dan Dira kembali terdiam beberapa saat, makanan yang ada di depan kami berdua kini terasa hambar. Melalui segala kenangan manis yang pernah Dira miliki, kafe itu berubah menjadi saksi bisu dari perasaan yang tidak terungkap, curahan hati yang belum sempat terucap, dan air mata yang masih tertahan.
"Aku juga mau cerita, Dir," giliranku mengungkapkan perasaan. "Minggu lalu, tempat makan yang kita datengin itu, sebelumnya jadi tempat yang bolak-balik aku kunjungin sama Via," lanjutku menjelaskan.
Dira kembali terdiam, lalu menatapku sambil menganggukkan kepalanya perlahan. "Oh, aku enggak tahu itu, Ton," katanya, terkejut. "Aku minta maaf kalau enggak peka soal itu."
Aku menggelengkan kepala dan tersenyum lembut. "Enggak masalah, Dir. Aku pikir ini waktu yang tepat juga buat kita saling jujur, tentang perasaan kita masing-masing. Aku, yang masih kepikiran tentang Via dan memori-memorinya, dan kamu, yang beberapa kali kepikiran tentang Reza."
Dira mengangguk setuju, sambil meraih tanganku, dia berkata, "Kita berdua butuh waktu, ya?" tanya Dira. "Terutama, untuk benar-benar sembuh dari luka, atau memori sedih yang sebelumnya pernah terjadi," lanjutnya.