Dira terhenti, seperti memikirkan kata yang tepat untuk dikeluarkan. Aku jarang melihat Dira kebingungan untuk memilih kata. Biasanya, dia hampir selalu memimpin sebuah percakapan. Baru kali ini aku melihatnya gugup ketika bercerita.
"Sama mantanmu, ya?" tanyaku, memotong Dira.
Dira tersenyum kecil, berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang meskipun agak terkejut dengan responsku. Kedua tangannya masih sibuk memegang gelas berisi es teh manis, sesekali mengaduknya dengan sedotan, seperti mengalihkan fokus, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Huuuhhh...." Dira menghela napas lega. "Iya, dulu itu aku sering ke sini, diajak sama Reza," jelasnya, getir.
Untuk kedua kalinya selama aku berpacaran dengan Dira, nama Reza disebut di waktu dan kondisi yang mirip. Kali pertama Dira menceritakan Reza adalah ketika kami berdua sedang pergi melihat matahari terbenam dari atas sebuah bukit, di pinggir Kota Jogja.
"Masih berat banget, ya?" tanyaku, mencoba tetap tenang walaupun sudah kadung terlahap oleh api cemburu.
"Bukan gitu, Ton," katanya, mencoba menjelaskan. "Kamu inget kan, dulu kita pernah ngomongin tentang memori?" tanya Dara, sambil sesekali mengaduk es teh manisnya yang mulai habis.
"I...yaa, aku inget, terus?" balasku, gugup kebingungan.
Dira menaruh gelas yang dipegangnya ke meja, dan berkata, "Aku tuh seneng banget bisa buat momen-momen indah bareng kamu," Dira lalu menatapku dalam, dan melanjutkan kalimatnya, "Tapi, Ton, aku masih sedih banget kalau inget momen-momen aku dan Reza."
"Padahal, Reza bahkan sekarang udah punya pacar baru, dan kami pisahnya juga enggak baik-baik..." lanjutnya.
Dira berhenti sejenak, air matanya sudah hampir tidak terbendung, mereka seolah siap untuk terjun membasahi pipinya. Sambil menghela napas, Dira melanjutkan kalimatnya, "Tapi.....