"Permisi mas, mari, saya antar," ucap seorang pramusaji lainnya, membawa buku menu, dan mengantarkanku ke meja yang kosong untuk dua orang.
Dira, pacarku, baru saja berangkat dari tempat kerjanya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih dua menit, tapi Dira baru saja berangkat dari kantornya. Dia bilang, ada kegiatan kantor yang harus dihadirinya. Jarak dari kantornya ke restoran ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh hingga lima belas menit.
Aku sengaja memilih untuk duduk di area luar. Supaya bisa merokok setelah makan hidangan yang hangat, berkuah, dan pedas. "Ini akan menjadi malam yang indah," begitu pikirku.
Aku berjalan menyusuri ruangan di restoran itu. Di saat aku melihat bangku-bangku yang tersusun rapi, sama seperti dua tahun yang lalu, memori dalam ingatanku menyeruak, membuatku hanyut tenggelam bersama dengan kenangan indah di setiap sudutnya.
Sambil melangkahkan kaki, aku mengenang masa-masa indah yang juga pernah aku temukan di tempat yang sama. Aku melayangkan pandanganku ke sebuah sudut di area dalam restoran. "Waktu itu, aku sama Via duduk di sana," gumamku dalam hati. Jantungku berdegup cepat, rasanya seperti ditabrak oleh sebuah truk yang isinya ratusan memori yang pernah terjadi.
"Di sini ya mas, kalau ada tambahan pesanan, silakan panggil petugas kami lagi, terima kasih."
"Terima kasih, mbak," jawabku ramah. Sepertinya pramusaji itu juga sama, aku tidak asing ketika melihat wajahnya.
Sudah dua tahun lebih aku tidak mengunjungi tempat ini. Aku memang sengaja menghindari tempat-tempat yang dulu pernah aku kunjungi bersama Via, mantanku. Kami hanya berpacaran selama 27 bulan. Dibilang lama, sebetulnya enggak terlalu, tapi dibilang sebentar, juga enggak sebentar. Tempat ini, pernah menjadi lokasi favoritku dan Via. Tapi, kebiasaan untuk menghindar itu berubah, ketika Dira datang, dan mengubah pandanganku tentang kenangan.
Aku duduk di meja yang sama, tempat aku duduk sendiri dulu, ketika masih bersama Via. Aku ingat, waktu itu semua orang bingung melihatku. Mereka heran, dan mungkin sedikit kesal, karena melihatku duduk sendiri di area luar, tanpa makanan, dan hanya merokok.
Dulu, sewaktu masih menjadi pacar Via, aku jarang sekali merokok di depannya. Dia tahu kalau aku merokok, namun keluarganya tidak mengetahuinya. Sebagai pacar yang baik, terlebih untuk menghormatinya, aku mengambil tempat sendiri untuk mengisap rokok, beberapa saat setelah selesai menghabiskan santapan makan malam.
Ya, cara menghormatiku memang bukan dengan berhenti merokok. Sepertinya, itu juga alasan utama kenapa Via menyerah pada hubungan kita. Via lebih suka laki-laki yang tidak merokok.