Kali ini, aku benar-benar duduk sendiri, menunggu Dira, pacarku, yang sesekali bersedia menemaniku merokok.
*
Di area luar, setiap meja memiliki asbaknya masing-masing, sehingga aku tidak perlu lagi bertanya atau minta tolong diambilkan asbak. Sebuah peningkatan tersendiri, menurutku, karena kalau dulu, pelanggan harus mengambil asbaknya sendiri, semacam 'self-service' yang digunakan hanya dalam konteks merokok.
Aku mengeluarkan rokokku sekali lagi, seperti dulu. Mengambil pemantik yang juga mirip seperti dulu. Aku lebih suka menyebutnya pemantik atau macis, karena yang aku punya bukan korek api biasa seperti yang digunakan oleh orang-orang pada umumnya.
"Ckkk....tiinggg..." bunyi nyaring dari pemantikku.
"Css....kriitik....tik.." bara menyala dari ujung puntung rokokku.
Aku mengisap rokok itu dalam-dalam. Sebelum sempat menghabiskan rokokku, Dira datang. Ia bergegas menuju meja tempat kita berdua akan makan, menyapaku dengan sebuah tos, lalu langsung pergi ke toilet untuk memperbaiki rambut dan wajahnya yang kusut terkena debu Kota Jogja.
*
Dira sangat pandai dalam hal merias wajah. Kemampuan itu semakin terasah sejak dia kehilangan ibunya. Dira pernah bilang, waktu kami sedang menjalani proses pendekatan, katanya, "Setiap kali aku sedih karena kangen sama ibu, aku selalu membuka kotak make-up punya ibu, isinya masih lengkap."
"Enggak ada yang berani megang kotak rias itu kecuali aku, kakak-kakakku takut, katanya nanti jadi sedih karena keinget sama ibu," ucap Dira, sambil menunjukkan kotak kecil berwarna krem yang selalu dia bawa ke mana pun dia pergi. "Padahal. kan, kenangan itu harusnya jangan dikubur, tapi belajar untuk hidup, kekal, bersama-sama dengannya. Ya, kan, Ton?" tanya Dira, melayangkan pandangannya ke mataku.
"I....iyaa, Dir..." balasku gugup, mencoba memahami kalimat yang dilontarkannya.