Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menilik Strategi Pemerintahan Trump-AS "Indo-Pasifik"

22 Agustus 2018   08:47 Diperbarui: 22 Agustus 2018   09:14 3351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, Menlu AS sekali lagi membuat istilah panas "Indo-Pasifik (Indo-Pacific)" .

Sejak Presiden AS Donald Trump mengusulkan "Indo-Pasifik" dalam forum profil tinggi pada bulan Nopember 2017, istilah ini kadang-kadang muncul dalam media.

Namun banyak analis politik internasional yang memberi pandangan, apa yang disebut "Strategi Indo-Pasifik" yang diusulkan AS tampaknya hanya sebuah slogan yang implementasinya mungkin tidak bisa dilaksanakan.

Indo-Pasifik sebenarnya istilah geografis yang ditujukan untuk "Samudra  Hindia -- Samudra Pasifik," pertama kali muncul sebagai istilah dalam ilmu kemaritiman.

Tetapi investasi yang baru-baru ini diumumkan oleh Mike Pompeo dianggap sebagai niat untuk mengubah situasi.

Sumber: www.sydney.au.emb-japan.go.jp (Australia-Japan Society of NSW)
Sumber: www.sydney.au.emb-japan.go.jp (Australia-Japan Society of NSW)
Namun bisakah apa yang disebut "strategi Indo-Pasifik" ini direalisasikan seperti yang diharapkan AS? Akan berakibat apa pada kawasan ini?

Dari 1 hingga 5 Agustus lalu, Menlu AS Mike Pompeo mengunjungi Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Pada 4 Agustus dalam serangkaian pertemuan para Menlu untuk kerja-sama ASEAN di Singapura, Mike Pompeo mengumumkan pendanaan hampir 300 juta USD.

Mike Pompeo dalam pidatonya mengatakan: AS dengan senang hati untuk mengumumkan hampir 300 juta USD dalam pendanaan baru untuk memperkuat kerja-sama keamanan di seluruh kawasan ini.

Menurut informasi yang diberikan oleh Departemen Luar Negeri AS, pendanaan hampir 300 juta USD untuk keamanan akan diberikan kepada Bangladesh, Indonesia, Mongolia, Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam dan negara-negara lain, sehingga dapat digunakan untuk memperkuat keamanan maritim, mengembangkan bantuan kemanusiaan dan kemampuan pemeliharaan perdamaian, dan melawan "ancaman transnasional."

Namun kenyataannya, ini bukan satu-satunya investasi yang diumumkan AS untuk Indo-Pasifik.

Sumber: CNBC.com
Sumber: CNBC.com
Pada 30 Juli di Forum Bisnis Indo-Pasifik yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang AS, Mike Pompeo mengumumkan bahwa AS akan berinvestasi 113 juta USD untuk memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan AS dengan kawasan Indo-Pasifik, termasuk 25 juta USD untuk mempromosikan konektivitas digital di kawasan ini, 50 juta USD untuk pengembangan energi, dan 30 juta USD untuk pembangunan infrastruktur.

Rencana ini dianggap sebagai langkah pertama AS di sektor ekonomi dalam strategi Indo-Pasifik. Dalam pidatonya Mike Pompeo mengatakan: Saya di sini mengatakan dengan tegas bahwa pemerintahan Trump berkomitmen untuk memperluas keterlibatan ekonomi kita di kawasan Indo-Pasifik. Ini jelas merupakan kepentingan strategis Amerika untuk memperdalam keterlibatannya di kawasan tersebut.

Dua investasi dalam satu kawasan hanya dalam satu minggu tidak dapat dihindari membangkitkan keingin-tahuan para analis dan pengamat: Apa sebenarnya yang direncanakan Mike Pompeo?

Hampir sembilan bulan kemudian, setelah konsep " the free and open Indo-Pacific" diusulkan, akhirnya beberapa kemajuan nyata dibuat. Menurut laporan China Review News Agency, Hongkong.

Beberapa analis menganalisis bahwa dua investasi yang diumumkan Mike Pompeo  dapat dianggap sebagai gerakan untuk memulai implementasi strategi Indo-Pasifik AS di Asia Tenggara.

Menurut "The Economic Times" mengutip editorial "Global Times" berpendapat, bahwa strategi Indo-Pasifik bertujuan untuk mengcakup Tiongkok. Namun, itu "tidak akan membantu India mencapai aspirasi kekuatannya yang besar".

Namun, tampaknya akan ada lebih banyak orang yang meragukannya. Dengan mengutip para ahli, Reuters melaporkan bahwa apa yang disebut "strategi Indo-Pasifik" yang diusulkan oleh Trump tidak jelas, dan rencana investasi 113 juta USD kali ini adalah bagian paling terperinci dari "strategi" selama ini.

Antony Rowley, seorang wartawan senior "Asian" mengenai ekonomi, mengatakan dalam sebuah artikel yang dimuat dalam "South China Morning Post" pada 2 Agustus bahwa AS kekurangan dana untuk rencana investasi, dan tidak menjelaskan struktur mekanismenya.

Untuk satu hal, bahkan di AS, hampir tidak mungkin bagi modal swasta untuk mengumpulkan dana untuk proyek-proyek infrastruktur besar. Misalnya, dalam rencana infrastruktur satu triliun USD pemerintah Trump, pemerintah hanya dapat menyediakan sejumlah kecil dana.

Selain itu, Mike Pompeo menyatakan bahwa pembangunan di negara-negara berkembang untuk dalam negerinya membutuhkan hampir 26 triliun USD untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur, tetapi ia tidak menyebutkan dari mana uang itu bisa didapat. 

Berkenaan dengan pernyataan Pompeo ini Menlu Tiongkok Wang Yi memberi reaksi dengan memberi komentar: "Pertama-tama, saya masih belum dengar dengan jelas ketika mendapat berita ini, bahwa AS mengumumkan menawarkan 113 juta USD. 

Saya katakan harusnya setidaknya 1,3 miliar USD, 10 kali lebih banyak dari yang dibutuhkan, karena dibandingkan dengan PDB AS 16 triliun USD, saya kira 1,3 miliar USD bukan uang yang  banyak. Jadi jika AS bersedia memberikan uang dan membantu negara-negara di kawasan ini untuk mempercepat pembangunan, termasuk memainkan perannya dalam meningkatkan keamanan, itu sangat welcome. Kami menyambutnya."

Tapi untuk dana investasi yang 113 juta USD ini ada kata lanjutannya dari Mike Pompeo sebagai berikut: "Dana ini hanya untuk pembayaran uang muka pada era baru AS dalam komitmen untuk ekonomi, perdamaian dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik."

Sehingga beberapa analis dan komentator memberikan pandangannya dengan mengatakan, tampaknya ada dua poin utama yang dikhawatirkan oleh Mike Pompeo selama kunjungannya ke Asia Tenggara adalah keamanan dan ekonomi militer. Tetapi AS perlu menunjukkan kemampuan yang jauh lebih kuat dan lebih banyak keseriusannya (kemauan). 

Ini lebih seperti kunjungan pendahuluan untuk iklan, daripada langkah kunci yang dibuat dalam implementasi strategi yang nyata. Dibandingkan dengan dana yang harus dibelanjakan AS untuk konsep strategisnya di Asia Tenggara, ini jelas bahkan bisa dianggap sebagai setetes air yang dituangkan ke lautan.

Jika dibandingkan dengan uang muka untuk apartemen, pada dasarnya tidak ada apa-apa. Jadi mereka pikir itu tidak realistis untuk meyakinkan negara di Asia Tenggara bahwa AS akan menerapkan strategi ini.

Untuk membicarakan tentang visi AS, Peter McCaley seorang anggota pengunjung dari Departemen Ekonomi Arndt-Corden, Universitas Nasional Australia dan mantan Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia, mengatakan: "Tidak ada yang namanya makan siang gratis. 113 juta USD dari Amerika tidak akan terlalu jauh dari hal itu. Jika jumlah ini merupakan 'uang muka', Amerika dan Australia perlu merencanakan untuk menindak-lanjuti pembayaran pelunasan berikutnya dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Siaran pers saja tidak akan cukup. "

Jadi penurut pandangan pengamat dan analis, kegiatan Mike Pompeo di kawasan ini adalah untuk mempromosikan strategi Indo-Pasifik AS. Ini adalah janji kosong untuk menarik beberapa negara untuk mendukung AS dalam penyesuaian geostrategy yang luas. Tapi analis dan pengamat pikir negara-negara ASEAN tidak akan memilih untuk mendukung kekuatan apa pun, karena negara-negara di Asia Tenggara telah jelas menyadari bahwa AS menawarkan layanan untuk kawasan ini karena strategi nasionalnya, daripada kesejahteraan rakyat atau kepentingan negara di Asia Tenggara, dan memberikan uangnya untuk kebutuhannya dalam kepentingan geopolitik AS.

Tanpa diragukan, istilah "Indo-Pasifik" mengadung arti kompleksitas geopolitik. Tetapi belum ada definisi yang jelas dan kesepakatan umum tentang konsep ini dengan konotasi geopolitis secara eksplisit.

Dengan demikian, ketidak jelasan definisi ini memungkinkan bisa untuk permainan diplomatik dan potensial divergensi. Lebih penting lagi, AS, Jepang, India dan Australia memiliki ide dan pemahaman mereka sendiri-sendiri tentang Indo-Pasifik.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa keempat negara ini memiliki sikap berbeda terhadap kerja-sama ini. Mungkin ditakdirkan bahwa konsep "Indo-Pasifik" hanya bisa menjadi konsep, bukan strategi dalam artian yang sebenarnya.

Seperti telah disebutkan diatas, Indo-Pasifik adalah sebuah konsep geografi yang menunjuk pada "Samudra Hindia dan Samudra Pasifik" pertama kali muncul untuk ilmu kemaritiman.

Dalam "Strategi Keamanan Nasional" AS pada tahun 2017, di bagian pertama, kawasan Indo-Pasifik mengacu pada wilayah dari pantai barat India ke AS, tetapi di bagian lain, juga mencakup Asia Selatan dan Asia Tengah. Tetapi laporan itu tidak menjelaskan apa perbedaan atau bagian-bagian yang over lapping antara kawasan Indo-Pasifik dan Asia Selatan dan Asia Tengah.

Pada kenyataannya, bahkan di kalangan akademis, tidak ada konsensus mengenai definisi geografis untuk Indo-Pasifik.

Menurut Gurpreet S. Khurana, seorang pakar India, Indo-Pasifik meliputi perairan Samudera Hindia dan sepanjang pantainya, ada negara-negara Asia (termasuk Asia Barat / Timur Tengah) dan Afrika Timur.

Menurut pakar Amerika Michael Auslinholds bahwa Indo-Pasifik mengacu pada kawasan busur besar di selatan perbatasan timur Siberia, termasuk Jepang, Semenanjung Korea, Tiongkok Daratan, Asia Selatan, Oceania, daratan dan lautan di kawasan Asia Tenggara.

Menurut pakar Australia R. James Ferguson berpendapat bahwa Indo-Pasifik adalah wilayah yang luas di Asia Pasifik, Asia Selatan, dan Samudera Hindia.

Dalam geopolitik, "Indo-Pasifik" pertama hanya sesekali muncul dalam karya akademik di awal dan pertengahan abad ke-20. Namun dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara mulai aktif mempromosikan konsep "Indo-Pasifik," dan menggunakannya untuk beberapa niat dan tujuan.

Pada Mei 2007, Dialog Keamanan segi-empat pertama (Quadritalteral) antara AS, Jepang, India dan Australia diluncurkan oleh Jepang.

Strategi Indo-Pasifik awalnya adalah sebuah konsep. Konsep ini pertama kali diusulkan oleh Jepang, bukan AS. Shinzo Abe, yang menjabat sebagai PM Jepang kemudian, menyebutkan kerjasama antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dalam pidatonya di Parlemen selama kunjungannya ke India pada masa jabatan pertama. Ini adalah strategi paling awal yang diciptakan negara-negara Barat atas kerja sama di Indo-Pasifik.

Pada tahun 2006 dan 2007, orang Jepang dan India mengira ini adalah "ide bagus," tetapi bagaimana cara mempraktikkan "ide bagus" ini, mereka tidak memiliki ide yang rinci.

Karena mereka masih  tidak memiliki ide detail apa pun, Dialog Quadritlateral Keamanan tidak diadakan lagi selama 10 tahun sampai Jepang berupaya lagi untuk meluncurkannya 10 tahun kemudian ini.

Pada 12 November 2017, para pejabat dari AS, Jepang, India dan Australia mengadakan pembicaraan selama Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC di Vietnam dan membahas "isu-isu kepentingan bersama di kawasan Indo-Pasifik."

Dialog Quadritlateral Keamanan dikenal sebagai "Quad," dan ini adalah mekanisme kerjasama multilateral regional antara Australia, Jepang, AS, dan India. Selama beberapa tahun ini, Quad melakukan beberapa eksplorasi, tetapi masih ada jalan panjang sebelum mereka secara formal membentuk mekanisme negosiasi.

Faktanya, strategi Indo-Pasifik sekarang digunakan baik sebagai konsep dan strategi. AS, Jepang, dan Australia lebih sering menggunakannya sebagai strategi, sementara India memperluas ide-ide mereka lebih sering melalui konsepsi dan kerja sama di Indo-Pasifik.

Pemahaman mereka yang berbeda juga menunjukkan bahwa pada kenyataannya, tidak ada konsensus yang dicapai pada strategi Indo-Pasifik.

Sejak tahun 2017 konsep "Indo-Pasifik" sering dipromosikan dan goreng oleh AS. Menlu AS Rex Tiller pada saat itu pernah mengatakan: Indo-Pasifik, termasuk seluruh Samudera Hindia, Pasifik Barat, dan negara-negara yang mengelilinginya akan menjadi bagian paling penting dari dunia pada abad ke-21.

Pada 18 Oktober 2017, (mantan)  Rex Tillerson Menlu AS saat itu, menggunakan "Indo-Pasifik" sebagai kawasan geopolitik yang luas bagi AS untuk Samudra Pasifik Barat ke Samudera Hindia, sebagai ganti dari "Asia-Pasifik" tradisional, dalam pidatonya di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS/Strategic and  International Studies) di AS.

Pada 5 November 2017, Presiden AS, Trump, melakukan kunjungan ke Jepang. Ketika dia tiba di Yokota Air Base, pangkalan Angkatan Udara AS, di Tokyo, Jepang, dia menyampaikan pidato dihadapan hampir 2.000 tentara AS yang ditempatkan di Jepang dan beberapa tentara Pasukan Pertahanan Diri Jepang dengan mengatakan: "Kami akan mencari peluang baru untuk kerja-sama dan perdagangan serta akan bermitra dengan teman dan sekutu untuk membuat kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. "

"Saya mendapat kehormatan untuk membagikan visi kami untuk Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," kata Trump kepada para delegasi di Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik di Vietnam.

Ini adalah pertama kalinya Trump menyebut konsep Indo-Pasifik. Dalam "Strategi Keamanan Nasional" AS yang dikeluarkan satu bulan kemudian pada 18 Desember 2017, pemerintahan Trump secara resmi menyebut Indo-Pasifik sebagai wilayah terpenting dalam strategi keamanan AS.

Istilah, "Indo-Pasifik" telah digunakan berulang kali selama kunjungan ke Asia oleh Trump yang mengacu pada kawasan sepanjang dari Afrika Timur ke Samudra Pasifik. Ini adalah dimulainya penggunaan istilah "Asia-Pasifik" dan fokus konvensionalnya, ke arah selatan dari Korea Utara dan meliputi Samudra Pasifik.

Sementara hanya masalah terminologi, penggunaan "Indo-Pasifik" bukannya "Asia-Pasifik" berkonotasi perubahan geopolitik yang menarik vis--vis postur kebijakan luar negeri AS. AS tampaknya ingin berupaya menggeser titik poros kawasan tersebut dari Tiongkok, yang oleh beberapa ahli diklaim tindakan terhadap Beijing.

Menurut Direktur Eksekutif di Pusat Internasional untuk Studi Politik Lanjut (International Center for Advanced Political Studies / ICAPS), Josef Gregory Mahoney dalam wawancara email dengan The ASEAN Post, penggunaan istilah "Indo-Pasifik" bertujuan untuk menciptakan apa yang disebut " Quad Anti-Tiongkok, "Atau" Dialog Keamanan Quad, "atau" Pengelompokan Parlementer Demokrasi, yang terdiri dari AS, Jepang, Australia dan India.

Pada Nopember 2017, Trump mengatakan: Ini bukan lagi "Asia Pasifik," AS sekarang menyebutnya "Indo-Pasifik."

"Strategi Pertahanan Nasional" AS yang dikeluarkan pada 19 Januari 2018 menunjukkan: "Kompetisi strategis antar negara, bukan terorisme, sekarang menjadi perhatian utama dalam keamanan nasional AS."

Dengan menggunakan "Indo-Pasifik", pemerintah AS ingin menyebarkan gagasan bahwa itu adalah wilayah yang membentang jauh di luar halaman belakang Tiongkok macan ekonomi Asia Timur.

(baca: Strategi Keamanan dan Pertahanan AS di Era Pemerintahan Trump & Bagaimana Kebijakan AS Terhadap Asia-Pasifik Setelah Presiden Trump Setahun Berkantor? )

Kawasan Indo-Pasifik, bukan Eropa dan Timur Tengah yang menjadi perhatian utama dalam strategi pertahanan AS. Namun, ini adalah konsep, bukan strategi nasional.

Pada akhir 2017, Trump mengumumkan dalam profil tinggi bahwa Indo-Pasifik akan menjadi bagian paling penting dalam strategi AS. Sekarang AS belum memberikan penjelasan yang jelas tentang strategi Indo-Pasifik. Situasinya berbeda dari yang terjadi pada Perang Dingin atau setelah Perang Dingin berakhir ketika AS secara eksplisit menyatakan strategi keamanan nasionalnya.

Namun hal itu selalu sikapnya terkesan sangat samar terhadap Indo-Pasifik. Dalam posting Trump di Twitter (cara dia memerintah negara), dia menggunakan kurang dari 100 kata untuk menjelaskan strategi besar, dan tentu saja tidak mungkin baginya untuk memperjelaskannya.

Selain itu, dalam dokumen resmi AS, tidak ada penjelasan terperinci tentang Indo-Pasifik, dan pejabat senior AS sering kali memberikan informasi yang berbeda ketika menyangkut Indo-Pasifik.

Penjelasan James Mattis Menhan AS Tentang Indo-Pasifik

Berikut ini menjadi satu yang dapat diterima secara universal oleh negara-negara lain yang hingga kini merupakan penjelasan paling komprehensif yang telah dilakukan AS tentang strategi Indo-Pasifik adalah apa yang dikatakan oleh Menteri Pertahanan AS, James Mattis, pada Dialog Shangri-La ke-17.

Menurut Mattis, strategi Indo-Pasifik mencakup empat bagian: Meningkatkan keamanan maritim, memperdalam kerja sama militer dengan sekutu dan mitra, memperkuat supremasi hukum, masyarakat sipil dan pemerintahan transportasi, dan mengadvokasi pembangunan ekonomi yang dipimpin pasar.

Dalam pidatonya, Mattis menyebutkan peran India sebagai "pemimpin dan pengurus yang bertanggung jawab di kawasan Indo-Pasifik," yang niscaya mengangkat status India dalam strategi Indo-Pasifik.

Namun, PM India Narendra Modi, yang berpartisipasi dalam Dialog Shangri-La untuk pertama kalinya, tidak memberikan respon dan menanggapinya.

India tidak melihat kawasan Indo-Pasifik sebagai klub anggota terbatas, atau sebagai kelompok yang berusaha mendominasi. Kata PM India Narendra Modi.

Dalam pidatonya, Narendra Modi hanya mendefinisikan "Indo-Pasifik" sebagai konsep geografis, daripada sebagai strategis. Dia juga menolak untuk berada dipihak AS, Jepang dan Australia dalam masalah Laut Tiongkok Selatan.

Selain itu, pemerintah Narendra Modi tidak mengambil bagian dalam Dialog Keamanan Quandritlateral selama Dialog Shangri-La. Untuk satu hal yang perlu diperhatikan, India adalah memimpin dalam Gerakan Non-Blok. Sejak tahun 1947, mereka telah menjunjung tinggi  kebijakan luar negeri yang independen, sehingga tidak mungkin bergabung dengan AS seperti yang diharapkannya.

Sumber: economictimes.indiatimes.com
Sumber: economictimes.indiatimes.com
Untuk yang lain, India memiliki pemahaman dan kebutuhan yang sangat berbeda di Indo-Pasifik dari AS.

Promosi strategi Indo-Pasifik dengan harapan untuk mengintegrasikan India dalam seluruh strateginya di Samudera Pasifik dan Samudra Hindia, sehingga India dapat menjadi sekutu atau pengikut AS sama seperti Jepang dan Australia. Tetapi dalam pemahaman India adalah bahwa tidak peduli apa yang meliputi "Indo-Pasifik", mereka lebih perlu meningkatkan status internasionalnya dan menggunakan pengaruhnya melalui mekanisme multilateral.

Kedua pihak memiliki kesamaan yang besar, tetapi jelas tujuan mereka berbeda, yaitu, India ingin memperbaiki dirinya melalui Indo-Pasifik, tetapi tidak mau dikontrol oleh AS atau mengambil tugas-tugas keamanan yang AS tunjukan di dalam strategi Indo-Pasifik.

AS ingin mendorong India untuk bersaing melawan Tiongkok dan membuat masalah bagi Tiongkok terkait masalah Samudra Hindia, sehingga membuat Tiongkok akan berada dalam situasi yang sulit. Tetapi AS tidak mau membayar lebih untuk menjadikan India sebagai mitranya. Analis dan pengamat telah dapat melihat bahwa dalam ekonomi, gagasan Trump tentang "America First/Amerika Pertama" telah menyebabkan konflik yang sangat sengit antara India dan AS.

Jadi kita dapat mengatakan bahwa kedua pihak berbagi kesamaan pada strategi, tetapi mereka belum mencapai konsensus tentang cara mempromosikan strategi, dan apa yang dapat mereka peroleh dari dan/atau membayar untuk strategi ini.

"The National Interest," situs wesite AS, pernah menyebutkan dalam tulisan "Is Indo-Pacific the 'New' Pivot?" (Apakah Indo-Pasifik Merupakan Poros Baru?): "Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, makmur, dan inklusif melayani kepentingan jangka panjang semua negara di kawasan ini. Tetapi jika konsep ini ternyata menjadi visi yang memecah belah bagi Asia, baik India maupun Tiongkok harus menentangnya karena akan mengguncang kawasan tersebut dan menambah bahan bakar ke api dalam hubungan bilateral yang rumit. Karena dua kekuatan besar yang muncul, India dan Tiongkok memiliki taruhan besar di masa depan Asia. Tentunya mereka akan mendapat manfaat dari hubungan kooperatif, bukan saling berkonfrontasi."

Dari gerakan yang baru-baru ini di India, kita bisa mengatakannya dengan jelas. Dan belum lama ini PM Narendra Modi melakukan pembicaraan yang sangat bagus dengan Presient Xi Jinping di Wuhan. Narendra Modi mengatakan bahwa saat ini dunia menghadapi perubahan terbesar selama abad ini, dimana India perlu jelas tentang statusnya, dan tidak akan mengikuti jejak AS.

Hubungan Sino-Jepang Mulai Mencair 

Sebagai fakta, sejak awal 2018, tidak hanya hubungan antara Tiongkok dan India, tetapi juga hubungan antara Tiongkok dan Jepang telah terlihat membaik.

Tahun ini ketika merayakan 40 tahun peringatan "Perjanjian Damai dan Persahabatan" antara Jepang dan Tiongkok, yang tercermin dalam beberapa pertukaran dan kegiatan terkait antara dua negara.

Pada 8 Mei lalu, atas undangan PM Jepang Shinzo Abe, Perdana Menteri Dewan Negara Tiongkok Li Keqiang tiba dengan pesawat khusus di Tokyo untuk berpartisipasi dalam Pertemuan Pemimpin Tiongkok, Jepang dan Republik Korea (Korsel) yang ke-7 dan melakukan kunjungan resmi ke Jepang.

Ini adalah kunjungan resmi pertama oleh Perdana Menteri Dewan Negara Tiongkok ke Jepang sejak delapan tahun lalu. Premier Tiongkok diundang oleh pemerintah Jepang dengan penyambutan kelas atas (top-grade treament).

Namun, berbeda dari India yang ada di Gerakan Non-Blok, Jepang adalah salah satu sekutu terpenting AS di Asia. Namun Jepang sebenarnya adalah pengikut AS, jadi itu sangat terbatas pada kemandirian diplomatiknya.

Keterikatan Jepang Pada AS

Menurut beberapa komentar, alasan Jepang secara aktif mendukung strategi Indo-Pasifik, salah satu alasannya adalah bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dengan PDB melebihi Jepang pada tahun 2010, Jepang mendapatkan pemahaman non-rasional dan khawatir tentang Tiongkok yang terus meningkat kekuatan nasional dan pengaruh regional yang komprehensif.

Alasan lainnya karena ada satu hal pilihan yang tak terelakkan bagi Jepang sebagai sekutu AS yang tak terlepaskan dari AS.

Memang ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa hubungan Tiongkok-Jepang berkurang ketegangannya dan membaik, terutama di sektor ekonomi. Dalam ekonomi, Jepang tidak mau melepaskan hubungannya dengan Tiongkok. Tetapi dalam hal politik dan keamanan, Jepang hampir tidak memiliki ruang untuk melakukan penyesuaian kebijakannya, karena tidak memiliki kemerdekaan diplomatik, dan harus mengikuti AS.

Selain itu, pemerintahan Abe dan pihak-pihak yang menentang, termasuk para pemimpin Jepang lainnya, harus mengingat pelajaran sekitar tahun 2009 dengan jelas,  ketika Partai Demokrat Jepang berkuasa.  Pada saat itu, pemerintah Jepang berusaha untuk membentuk strategi diplomatik di luar kerangka kerja aliansi AS-Jepang, tetapi hasilnya cukup menyedihkan bagi mereka.

Dengan begitu jelas sekali terbukti bahwa AS memiliki pengaruh kuat pada kebijakan diplomatik Jepang. Oleh karena itu, meskipun Abe berkeinginan bekerja-sama dengan Tiongkok,  dan dia dapat membuat beberapa gerakan di sektor ekonomi, tetapi dalam hal politik dan keamanan, dia tidak akan pernah berani meninggalkan Amerika Serikat. Jadi kita dapat melihat bahwa pemerintah Jepang berayun di bidang ekonomi dan keamanan.

Tapi bagi Asia Tenggara berbeda, dan jika Jepang dan India menghidupkan kembali hubungan Tiongkok mereka, maka Quad terlihat sedikit lebih dari sekadar isyarat --- kata mantan Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr.

Pada 30 Mei tahun ini, Bob Carr, mantan Menteri Luar Negeri Australia, menulis dalam Harian "The Australian": The Quad telah gagal dengan apa yang selalu akan menjadi uji cobanya: kebijakan harmonisasi terhadap Tiongkok.

Analisis menunjukkan bahwa kesimpulan seperti Bob Carr membuat Australia menyadari pentingnya menjaga hubungan militer yang baik dengan Tiongkok hingga tingkat tertentu.

Menurut "The Australian," atas undangan dari Australia, Tiongok akan hadir untuk berpartisipasi untuk pertama kalinya dalam pelatihan angkatan laut bersama Australia, "Exercise KAKADU." Menteri Pertahanan Australia Marise Payne mengkonfirmasi undangan untuk Tiongkok pada 31 Juli 2018.

Sebuah komentar menyatakan bahwa mengundang keikut sertaan Tiongkok dapat menjadi "sebuah terobosan diplomatik" dalam situasi saat ini.

Latihan angkatan laut gabungan, "Exercise KAKADU" 2018, akan berlangsung di Darwin, Australia pada 15 September tahun ini.

Menurut beberapa komentar mengatakan, Australia membuat kontras yang tajam dalam mengundang Tiongkok untuk latihan untuk pertama kalinya, sedang AS meniadakan undangan untuk Tiongkok dalam " Rim of the Pacific Exercise 2018."

Selain dari tanda positif dalam urusan militer, perdagangan bilateral antara Tiongkok dan Australia terlihat tumbuh menguat.

Menurut statistik Tiongkok, tingkat perdagangan bilateral antara Tiongkok dan Australia mencapai 136,26 miliar USD, pertumbuhan tahun-ke-tahun sebesar 25,9%.  Saat ini, Tiongkok adalah mitra dagang, pasar ekspor, dan sumber impor terbesar Australia.

Secara historis, Australia dan AS adalah teman setia, dan AS bersedia menjual senjata canggih ke Australia. Jadi setidaknya selama abad yang lalu, Australia telah ikut serta bergabung dengan pertempuran AS di berbagai tempat.

Satu fakta, berpartisipasi dalam semua perang yang diluncurkan oleh AS, apakah pada abad terakhir atau setelah Perang Dingin berakhir, itu dilakukan terutama untuk menunjukkan eksistensinya. Tetapi bagaimanapun juga, Australia adalah satu negara merdeka dengan kepentingan nasionalnya sendiri.

Australia melakukan upaya dalam dua aspek. Di satu sisi, mereka melanjutkan kerjasama dengan AS, misalnya, membiarkan Korps Marinir AS dan beberapa fasilitas darat AS, seperti radar dideplotasi di Australia.

Di sisi lain, pada kenyataannya juga ingin menjaga keseimbangan di antara kekuatan utama. Analis percaya dalam waktu dekat, keadaan ini akan berkembangan menjadi hubungan yang baik dan stabil dengan Tiongkok.

Juga, dalam situasi demikian tidak diragukan India, Jepang, dan Australia tidak dapat meninggalkan  Tiongkok.

Apa yang disebut "strategi Indo-Pasifik" masih merupakan konsep yang penuh dengan konflik internal yang tidak memiliki dukungan kuat dari kerangka ekonomi dan sistem strategis yang komprehensif. Tetapi ini mencerminkan niat strategis jangka panjang AS, dan itu dipromosikan karena masih bermentalitas Perang Dingin dan karena merasa sebagai negara utama yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa negara utama lain yang sedang muncul sedang berkembang menguat.

Dapat dikatakan bahwa selama AS mempertahankan kebijakannya terhadap Tiongkok, meskipun tidak mempromosikan strategi Indo-Pasifik, tetap saja hal itu akan menghasilkan banyak konsep lain. Demikian para analis memperkirakan.

Pada 13 Agustus lalu, waktu setempat, Presiden AS Donald Trump menandatangani "National Defense Authorization Act (NDAA) for Fiscal Year 2019 (Undang-undang Otorisasi Pertahanan Nasional untuk Tahun Fiskal 2019)" yang telah disetujui oleh Senat dan Dewan Perwakilan Kongres AS di Fort Drum, New York,

Menurut UU ini, total dana militer mencapai 716,3 miliar USD, menjadi rekor sejak Perang Afganistan dan Perang Irak. Persetujuan dan penandatanganan "NDAA" ini menjadi yang tercepat disetujui dalam setahun yang dilakukan Kongres AS untuk waktu paling sedikit selama 20 tahun terakhir ini. Anggaran ini termasuk 630-miliar USD "anggaran dasar untuk militer" dan 69 miliar USD untuk "dana perang."

"Anggaran dasar untuk militer" mencakup gaji, pembelian senjata dan peralatan militer AS, investasi litbang, dan sebagainya, dan "dana perang" adalah khusus untuk operasi militer AS di luar negeri.

Berdasarkan kenyataan, dalam "TA (Tahun Fiskal) 2019 Anggaran Pertahanan" yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan AS pada 19 Juni, ada deskripsi sistematis tentang strategi Indo-Pasifik dan serangkaian "strategi keseluruhan" terhadap Tiongkok, termasuk mendukung AS untuk melakukan latihan militer bersama dengan Jepang, Australia dan India dan memperkuat kerja-sama keamanan untuk melawan Tiongkok yang pengaruhnya terus tumbuh di Asia, Asia Tenggara dan kawasan lainnya.

Sumber: theaseanpost.com
Sumber: theaseanpost.com
Dalam hal ini Tiongkok menyatakan menentang dengan keras.

Geng Shuang, Juru Bicara Departemen Luar Negeri Tiongkok menyatakan: "Kami mendesak AS untuk meninggalkan mentalitas Perang Dingin dan pemikiran zero-sum yang masih ada dalam pikirannya, dan tidak mengizinkan tindakan atau mengeluarkan UU dengan konten negatif tentang Tiongkok atau membiarkan klausul terkait berlaku, sehingga mencegah kerusakan pada hubungan Sino-AS dan kerja-sama kedua negara di bidang-bidang penting."

Pada 30 Mei, Menteri Pertahanan AS Mattis mengumumkan bahwa Komando Pasifik AS secara resmi berganti nama menjadi Komando Indo-Pasifik. Pada upacara yang diadakan hari itu, Harry B. Harris Jr. secara resmi mengundurkan diri sebagai Komandan dan pensiun, dan dia digantikan oleh Laksamana Philip S. Davidson.

Upacara yang tidak memakan banyak waktu, tidak mengeluarkan sedikit tanda dan menyiratkan ketegangan besar.

Harry B. Harris Jr. (mantan) Komandan Komando Pasifik AS dalam pidato perpisahannya mengatakan: Tiongkok tetap menjadi tantangan jangka panjang terbesar kita. Kita harus bekerja sama dengan Beijing sebisanya tetapi siap untuk menghadapi mereka di mana kita harus. 

Liburan 27 tahun kami dari sejarah sudah berakhir. "Persaingan kekuatan besar" telah kembali. (China remains our biggest long-term challenge. We should cooperate with Beijing where we can but stand ready to confront them where we must. Our 27-year holiday from history is over. "Great power competition" is back.)

Sudah lama, AS selalu membual bahwa dirinya terkuat dengan kekuatan keras dan kekuatan lunaknya. Kekuatan keras terutama mencakup talenta, teknologi dan modal, dan kekuatan lunak adalah citra nasional yang positif. Tetapi fakta bahwa sejak Trump menjabat sebagai Presiden AS, dia berturut-turut memisahkan diri dari negara lain, yang menyebabkan kerusakan baik untuk AS maupun negara lain.

Mat Morrison, Wartawan BBC mengatakan: Presiden Trump berharap ungkapannya untuk Indo-Pasifik akan bertahan dalam ujian waktu. Sulit untuk membayangkannya meskipun ada juga yang cukup mengesankan untuk beberapa pihak lain. Tapi sekarang, perilaku pemerintah AS menghancurkan hegemoni sistemik ini.

Dewan Intelijen Nasional AS pernah menyatakan: Lanskap global yang muncul semakin mendekati era dominasi Amerika setelah Perang Dingin.

Harus dikatakan bahwa penyesuaian oleh AS sekarang adalah kelanjutan dari kebijakan dasarnya setelah Perang Dingin berkahir.

Sejak 1991, sebenarnya, AS telah berharap untuk mencari musuh. "Menyeimbangkan Kembali Asia-Pacific" adalah apa yang diinginkannya. Ini untuk membuat masalah bagi Tiongkok melalui negara-negara tetangganya yang memiliki perselisihan konflik, teritorial, dan maritim dengan Tiongkok dengan terus menciptakan konflik antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya.

Tapi tampaknya negara-negara sekitar Tiongkok tidak mau dimanfaatkan. Selain itu, Tiongkok menjadi sangat kuat sehingga tidak bisa menjadi ganjalan. Hal ini juga dikaitkan sebagaian besar dengan kebijakan diplomatik Tiongkok, yang menjaga hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga, yang juga sangat penting bagi negara-negara tetangga Tiongkok.

Dalam "persimpangan jalan" sejarah, ada istilah "tidak ada teman abadi, hanya ada kepentingan permanen" atau menjaga komunitas berpikir bahwa "kemitraan yang dipalsukan dengan pendekatan yang benar menentang jarak geografis; itu lebih tebal dari lem dan lebih kuat dari logam dan batu?"

Haruskah kita tetap berpegang pada "hukum rimba" yang berarti kelangsungan hidup dari permainan dan hegemoni yang paling kuat, zero-sum, atau membuka situasi baru untuk saling menghormati, kerja sama, dan pembangunan bersama?

Ketika dunia berdebat tentang hal ini, Tiongkok tampaknya dengan tegas mendukung kerja-sama win-win, dan menunjukkan arah untuk kawasan dan bahkan dunia dengan mengikuti konsep " community of human destiny/komunitas takdir manusia."

Namun bagaimanapun kita semua mengharapkan dunia damai dan kita harap Tiongkok yang sedang bangkit ini bisa tetap memegang teguh prinsip dari konsep "komunitas takdir manusia (community of human destiny)" seperti apa yang dicanangkan Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatur visinya untuk masa depan Tiongkok dalam laporan sepanjang tiga setengah jam kepada Kongres Nasional PKT, pada Oktober 2017. Demikian juga dengan Amerika Serikat untuk melepaskan pikiran sebagai hegemon dunia.

Bagi Indonesia perlu mengetahui lebih jelas tujuan dari geopolitik AS dengan dicetuskannya "Strategi Indo-Pasifik" ini, menganggapi dengan lebih cerdas agar tidak menjadi alat atau proxy mereka.

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri

America’s International Role Under Donald Trump

Trump Shakes Up 2017 for China and Japan

Trump’s Indo-Pacific Strategy: Confronting the Economic Challenge

The U.S.’ Indo-Pacific Strategy and Its Impacts on the Future Development of Asian Economic Architectures

ASEAN’s Role in the US Indo-Pacific Strategy

Briefing on The Indo-Pacific Strategy

Remarks on "America's Indo-Pacific Economic Vision"

All about “Indo-Pacific,” the new term Trump is using to refer to Asia

Foreign Policy White Paper: Australia faces an uncertain world

Between “Indo-Pacific” and “Asia-Pacific”

Indians don't like to be subordinates, hence rejected Indo-Pacific strategy: Chinese state media

The 'Community of Common Destiny' in Xi Jinping's New Era

It’s no longer Asia-Pacific, Donald Trump says. US now calls it ‘Indo-Pacific’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun