Dalam "persimpangan jalan" sejarah, ada istilah "tidak ada teman abadi, hanya ada kepentingan permanen" atau menjaga komunitas berpikir bahwa "kemitraan yang dipalsukan dengan pendekatan yang benar menentang jarak geografis; itu lebih tebal dari lem dan lebih kuat dari logam dan batu?"
Haruskah kita tetap berpegang pada "hukum rimba" yang berarti kelangsungan hidup dari permainan dan hegemoni yang paling kuat, zero-sum, atau membuka situasi baru untuk saling menghormati, kerja sama, dan pembangunan bersama?
Ketika dunia berdebat tentang hal ini, Tiongkok tampaknya dengan tegas mendukung kerja-sama win-win, dan menunjukkan arah untuk kawasan dan bahkan dunia dengan mengikuti konsep " community of human destiny/komunitas takdir manusia."
Namun bagaimanapun kita semua mengharapkan dunia damai dan kita harap Tiongkok yang sedang bangkit ini bisa tetap memegang teguh prinsip dari konsep "komunitas takdir manusia (community of human destiny)" seperti apa yang dicanangkan Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatur visinya untuk masa depan Tiongkok dalam laporan sepanjang tiga setengah jam kepada Kongres Nasional PKT, pada Oktober 2017. Demikian juga dengan Amerika Serikat untuk melepaskan pikiran sebagai hegemon dunia.
Bagi Indonesia perlu mengetahui lebih jelas tujuan dari geopolitik AS dengan dicetuskannya "Strategi Indo-Pasifik" ini, menganggapi dengan lebih cerdas agar tidak menjadi alat atau proxy mereka.
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri
America’s International Role Under Donald Trump
Trump Shakes Up 2017 for China and Japan
Trump’s Indo-Pacific Strategy: Confronting the Economic Challenge
ASEAN’s Role in the US Indo-Pacific Strategy