Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Tabuk (Part 5)

10 Maret 2017   09:19 Diperbarui: 10 Maret 2017   09:26 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teana - Dokumen pribadi

Tak menunggu lama, Ghalib segera memanggil para pelayannya untuk segera mempersiapkan unta sebanyak tiga ekor. Dua untuk dirinya dan Haydar. Satu untuk membawa barang – barang mereka.

“Tuan, untanya sudah siap.” ucap si pelayan dengan sikap menghormat.

“Terimakasih. Kami akan segera berangkat.” balas Haydar.

Setelah Ghalib berpamitan kepada keluarganya. Mereka berdua menuju unta – unta yang sudah menunggu diluar. Perjalanan panjang pun dimulai.

“Mengapa kau berangkat sendiri Ghalib?” tanya Haydar.

“Tidak apa – apa. Ini bukan perjalanan resmi. Jadi aku rasa tidak perlu membawa para pengawalku untuk ikut serta.” balasnya.

“Tapi kau tahu bahwa perjalanan kita nanti akan melewati gurun yang luas dan panas. Jauh dari pemukiman penduduk. Jika terjadi apa – apa dengan kita bagaimana? Bahaya bisa mengancam sewaktu – waktu.” ucap Haydar.

“Kau tenanglah, semuanya sudah aku persiapkan.” ucap Ghalib sambil merogoh sesuatu dari kantung alas tunggangan untanya. “Ini kau ambillah satu.” jawabnya.

“Apa ini?” tanya Haydar sambil mengamati benda kecil berbungkus kain hitam.

“Itu pisau. Satu untukmu dan satu lagi untukku. Selipkan di pinggangmu. Gunakan saat keadaan mengancam kita.” jawab Ghalib dengan wajah tersenyum.

“Kau memang cerdas teman. Pantas saja kau dihormati para pembesar di Kerajaan Nabataea.” puji Haydar kepada sahabatnya itu.

***

Sementara itu di Qashr Al Farid…

“Daleelaaa… Pelanlah sedikit. Aku mulai lelah.” ucap Soha memelas dengan keringat bercucuran di dahi nya.

“Jangan kau cengeng begitu Soha, apa kau mau antri di barisan belakang? Apa kau mau pulang dengan membawa kendi kosong?” tanya Daleela sambil berjalan dan menarik lengan kiri Soha.

“Tapi aku tak sekuat dirimu Dalela. Badanku kecil. Tenagaku tak sebesar tenagamu.” balas Soha dengan nafas tersengal – sengal. Iapun mengelap keringat di dahinya.

Daleela berhenti sejenak. Ia  menatap sahabatnya yang kelihatan lelah.

“Sohaaaa…. Ayo! Kau tak boleh lemah begini. Kalau kau lemah, kau takkan mendapatkan apa – apa !” ucap Daleela tegas.

“Ta.. tapi Daleela….”

“Sohaaaaaa…..” ucap Daleela sambil melotot kearah Soha.

“Baiklah….” balas Soha dengan muka cemberut.

Mereka melanjutkan perjalan kembali. Daleela paham akan sifat sahabatnya itu. Sehingga dalam situasi seperti saat ini, Daleela lah yang memegang kendalinya.

“Daleela, apa kita akan mendapatkan air hari ini ?” tanya Soha.

“Tergantung.” jawab Daleela singkat.

“Maksudmu apa?”

“Tergantung semangat dan kesabaranmu. Karena bukan hanya kita saja yang membutuhkan air itu. tapi seluruh penduduk di Hegra membutuhkannya. Kita semua tahu kalau akhir – akhir ini kita kekurangan air. Banyak sumber air di kota yang mulai habis. Hujan jarang turun. Persediaan air di kolam – kolam penampungan mulai menipis.”

“Begitu ya,” balas Soha sambil mengangguk tanda mengerti.

Setelah itu tidak terdengar suara diantara mereka. Hanya desiran pasir gurun dan suara kadal saling berkejaran. Bergemerisik dibalik rumput – rumput yang mulai nampak mengering. Udara mulai panas.

Mendadak Soha berucap…

“Hmm… Aku punya ide.” ucap Soha dengan mata berbinar – binar.

“Ide apa Soha ?” tanya Daleela sambil terus berjalan. Kali ini mereka melewati tebing – tebing kecil dengan batu cadas yang keras kemerah – merahan.

“Begini Daleela, nanti kalau kita sampai di Abu Lawha sebaiknya kita berpura – pura sedang sakit. Atau mungkin kita bisa bilang kepada para penjaga kolam penampungan air Abu Lawha bahwa kita harus segera mendapatkan air untuk mengobati keluarga kita yang terluka di rumah. Bagaimana ideku ini?” tanya Soha dengan senyum melebar di wajahnya.

Untuk sejenak Daleela mengacuhkan pertanyaan sahabatnya itu. Ia sibuk memperhatikan tebing yang cukup terjal di depannya.

“Aaahhh….” Soha berteriak. Mendadak kaki Soha tergelincir batuan didepannya. Dengan sigap Daleela meraih tangan Soha. Menahannya agar tidak terjatuh.

“Huuuuuhhh… Oohhh… Te… terimakasih Daleela. Kau telah menolongku.” jawab Soha dengan nafas satu – satu. Tersengal – sengal dan wajah mendadak pucat. Soha tahu bahwa dirinya harus mengucapkan terimakasih sebesar – besarnya kepada sahabatnya itu.

“Seandainya saja kau tidak segera meraih tanganku, pasti aku akan tergelincir dan badanku akan lecet terkena tajamnya batuan ini.”ucap Soha sambil menatap mata Soha. Seakan – akan menunjukkan penyesalan mendalam atas kecerobohan yang dilakukannya.

“Itu adalah pelajaran buatmu. Saat kita melakukan sesuatu, kita harus berkonsentrasi. Jangan melakukan hal lainnya. Termasuk berbicara.

“Iya maaf…”

“Untung saja kendi yang kau bawa tidak pecah. Kalau kendimu pecah, itu artinya tidak akan ada air untukmu hari ini. Dan kau harus menunggu esok hari untuk mendapatkan air kembali. Karena sumber air Abu Lawha hanya dibuka pada jam tertentu saja. Untuk menghindari keributan diantara penduduk Hegra.” jawab Daleela sedikit membentak.

“Iya…. Maaf.” balas Soha sambil menundukkan mukanya.

“Dan ingat, mengenai rencanamu tadi, aku rasa tidak perlu kita lakukan. Kalau kau ingin selamat dari keroyokan para lelaki di Abu Lawha, lebih baik kau antri sesuai urutan. Kau mengerti?” tanya Daleela.

“Iya. Aku akan menuruti ucapanmu.”

Setelah Soha kelihatan sedikit tenang, Daleela mengajak Soha melanjutkan perjalanan mereka.

“Itu, kau lihat? Banyak sekali kerumunan disana. Tapi itu tak sebanyak minggu lalu. Saat menjelang sore begini, orang – orang mulai berdatangan untuk mengambil air.” Daleela menjelaskan.

“Apa kau bilang? Orang sebanyak itu kau bilang sedikit?” tanya Soha sambil mengusap – usap kedua bola matanya. Seakan ia tak percaya.

“Kenapa? Apakah kau kaget? Jumlah yang kau lihat itu tidak seberapa daripada minggu lalu. Hari ini sudah agak sepi. Mungkin mereka mencari kolam penampungan yang lainnya daripada harus mengantri disini. Mereka lebih memilih tempat yang aman dan agak sepi.” jawab Daleela.

Soha mulai memahami ucapan sahabatnya itu.

“Sudahlah… Ayo jalan…” ucap Daleela kemudian.

Akhirnya mereka berdua tiba di Abu Lawha.

“Hai kauuu…. Antrilah yang rapi. Atau aku akan menendangmu.” teriak salah seorang prajurit kerajaan.

Penduduk yang sudah lama mengantri mulai membuat keributan. Saling berteriak dan saling dorong satu sama lain.

Lelaki dan wanita bercampur baur dalam antrian panjang itu. Bahkan ada beberapa wanita yang membawa dua gendongan sekaligus. Tangan kiri menggendong kendi, tangan kanan menggendong anak mereka yang masih kecil.

Suara riuh penduduk yang antri bercampur baur dengan suara tangisan anak kecil. Airmata dan keringatnya sudah tidak bisa dibedakan lagi. Mengucur membasahi tubuhnya yang mungil.

Dengan cekatan sang ibu segera menurunkan kendi yang dibawanya. Ia mengelap keringat bayinya menggunakan kerudung yang dikenakannya. Lalu menutupi bayinya dengan kerudung itu agar tidak kepanasan. Si bayi segera tenang kembali.

“Hai kau wanita gemuk. Majulah….!” perintah prajurit.

“Iiii… iyaaa…” jawab ibu itu dengan ekspresi kebingungan dan sedikit kaget. Lalu ia bergerak maju beberapa langkah setelah mengambil kendi air miliknya.

“Kejam sekali prajurit itu, tidak seharusnya ia membentak orang tua. Mereka kan bisa menyuruh dengan suara pelan tanpa perlu membentak.” gerutu Soha di belakang Daleela.

“Sohaaaa…. Sebaiknya kau tutup mulutmu. Kau urusi saja dirimu sendiri.”

“Tapiiiiii….”

“Sohaaa, jangan membantah !”

Soha terdiam. Sambil memeluk kendi yang dibawanya, ia mengantri dengan sabar. Mengamati orang – orang yang kelelahan berdiri. memelototi kelakuan para prajurit yang sangat angkuh. Seolah – olah yang mereka hadapi adalah puluhan domba gurun. Domba yang harus melakukan perintah si gembala. Perintah prajurit kerajaan.

Setelah cukup lama mengantri, Daleela dan Soha mengambil air di penampungan air. Daleela menuruni anak tangga di pojok kolam. Dengan pelan ia melangkahkan kakinya turun. Setelah sampai di permukaan air, ia meminta Soha untuk memberikan kendinya.

“Berikan kendi itu padaku Soha.” perintah Daleela.

“Ini, hati – hati Daleela. Tangganya licin.” ucap Soha.

“Iya aku tahu.”

Daleela mengisi kendinya lalu mengisi kendi Soha. Setelah kendi mereka penuh, Daleela merangkak naik keatas dengan pelan. Ia menyingkap jubahnya sedikit agar kakinya bisa melangkah.

Namun malang. Saat tangan kanannya menyingkap jubahnya dan kaki kanannya hendak melangkah naik, tiba – tiba pijakan tangganya patah. Pijakan di kaki kiri Daleela.

“Aaahh…..” teriak Daleela.

“Daleelaaaaa…” teriak Soha.

Begitu melihat Daleela hendak terjatuh kedalam kolam, tangan Soha segera menggapai tangan Daleela. Soha menarik tangan Daleela keatas. Membantunya untuk menaiki tangga.

“Terimakasih banyak Soha. Kau telah menolongku.” ucap Daleela kepada Soha sambil membetulkan letak jubah dan kerudungnya.

“Iya sama – sama Daleela. Kau tadi juga menyelamatkanku.” ucap Soha sambil tersenyum kepada sahabatnya itu.

Soha segera menyerahkan kendi milik Daleela. Mereka segera meninggalkan Abu Lawha yang mulai nampak sepi penduduk. Hanya tersisa beberapa orang yang mengambil air dan prajurit kerajaan yang bersiap – siap meninggalkan kolam penampungan air itu..

***

Matahari sudah mulai meredup. Sebentar lagi sore tiba. Perjalanan mereka masihlah lama. Baru separuh perjalanan.

“Haydar, sebentar lagi kita akan memasuki perbatasan Tabuk.” ucap Ghalib.

“Iya Ghalib. Didepan telah nampak batu besar pembatas kota itu. kita akan mampir ke rumahnya Manaf.” ucap Haydar kepada Ghalib.

“Siapa Manaf ? Temanmu kah?” tanya Ghalib penasaran. Karena baru kali ini ia mendengar nama Manaf. Sebab di Kota Hegra tidak ada orang yang bernama Manaf.

Ghalib tahu persis hal itu. karena dia adalah salah satu pembesar di Kerajaan Nabataea. Dia hafal nama orang – orang disana.

“Manaf adalah orang yang akan membantu kita. Dia tinggal di Tabuk. Dia akan ikut berangkat bersama kita menuju ke Kota Petra untuk memahat saluran air di Al Siq.” jawab Haydar.

“Oh ternyata tukang pahat itu tinggal di Tabuk.” ucap Ghalib sambil mengangguk – angguk tanda mengerti.

“Baiklah…. Ayooo…” seru Ghalib.

“Iya. Mari.” balas Haydar sambil menarik tali kekang ontanya dan tali kekang onta pembawa barang dibelakangnya.

Akhirnya mereka memasuki Kota Tabuk. Kota itu nampak sepi. Padahal hari masihlah sore. Matahari masih bersinar cukup terang dan panas.

Dihadapan mereka hanya nampak beberapa rumah penduduk dan tenda – tenda bekas para pedagang yang menjual barang – barangnya di kota itu.

Seakan sudah hafal dengan situasi Kota Tabuk, Haydar mengambil alih kendali. Ia dan onta pembawa barang berjalan didepan Ghalib. Kini ia menjadi penunjuk jalan menuju rumah Manaf.

“Masih jauhkah?” tanya Ghalib kepada Haydar.

“Sebentar lagi kita akan sampai.” balas Haydar.

Namun saat melewati sebuah batu besar, mendadak mereka berdua dihadang seorang pria berbadan tegap. Sepertinya pria itu habis minum minuman keras.

Dalam keadaan mabuk, pria itu membentak mereka.

“Hai… Mau apa kalian kemari Haaah…!” bentaknya.

“Kami hanya ingin menemui teman kami yang tinggal di kota ini. Anda siapa? Mengapa anda mengganggu perjalanan kami?” tanya Haydar sopan.

“Aaah… Diam kau. Tak usah kau tahu siapa diriku. Yang jelas, seluruh penduduk di Kota Tabuk ini takut terhadap diriku. Hahahaha….” jawab pria itu sambil mengeluarkan pedangnya dan tertawa dengan keras. Menunjukkan keberingasannya.

“Maaf Tuan, kami ingin lewat.” ucap Ghalib.

“Iya Tuan, berilah kami jalan. Ada urusan penting yang harus kami selesaikan.” Haydar menimpali.

“Urusan? Urusan apa? Sekarang adalah urusan kita. Kalian harus menyerahkan uang yang kalian punya kepadaku. Atau…..” pria itu berhenti sejenak.

Angin sore berhembus cukup kencang. Debu – debu gurun beterbangan kesana – kemari membuat pandangan menjadi sedikit tidak jelas.

“Atau apa Tuan?” tanya Ghalib mulai was – was.

“Serahkan hartamu atau kepalamu aku tebas dengan pedangku ini.” Bentak pria itu sambil mengayun – ayunkan pedang yang dari tadi dibawanya.

Melihat pria itu mulai beraksi. Ghalib dan Haydar melangkah mundur. Lalu mereka turun dari unta mereka.

Tanpa diperintah, kedua bersahabat itu mengeluarkan pisau kecil dari balik pinggang mereka.

“Tuan, jangan salahkan kami kalau kami bertindak kasar.” ucap Haydar kepada pria itu. Ghalib sahabatnya mengambil langkah. Ia segera mundur sedikit menjauh dari Haydar dan pria itu.

“Ghalib… Mundurlah, carilah tempat yang aman. Biar aku yang menghadapi pria ini.” ucap Haydar.

Perkelahian tak dapat dielakkan. Pria itu berlari sambil menghunuskan pedangnya ke arah Haydar. Dalam keadaan mabuk, ia melakukan serangan membabi – buta.

Haydar yang dari kecil sudah mempelajari ilmu bela diri, tidak merasa kesulitan menghadapi musuh seperti itu. Dengan beberapa serangan dan hanya bersenjatakan pisau kecil, ia berhasil menundukkan pria itu dan merebut pedang yang dibawa si pria.

“Kepala siapa yang akan ditebas sekarang haaaah !” bentak Haydar sambil mencengkeran kerah baju pria itu.

“Ampunn Tuan. Ampuuunnn….” rengek pria itu sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Ia memohon belas kasihan Haydar. Memohon agar Haydar melepaskannya.

“Pergilah, kali ini nyawamu selamat !” bentak Haydar sambil mendorong tubuh pria itu hingga tersungkur ke belakang.

Tanpa menunggu lama. Pria itu langsung melarikan diri sejauh mungkin.

“Kau tidak apa – apa Haydar ?” tanya Ghalib.

“Tidak temanku. Aku baik – baik saja.” ucapnya.

“Oh lihatlah, lengan kirimu berdarah.” teriak Ghalib sambil memegang lengan kiri sahabatnya itu. darah segar membasahi jubah Haydar.

“Mana? Oh ini…. Sialan… pria brengsek itu berhasil melukaiku juga.” teriak Haydar sambil memegangi lengan kirinya.

“Sini biar aku ikat lengan kirimu dengan kain.” ucap Ghalib sambil merobek jubahnya sedikit untuk mengikat lengan Haydar.

Setelah darah di lengan kiri Haydar tidak keluar lagi. Ghalib kembali ke untanya. Kali ini ia yang menarik unta pembawa barang. Karena saat ini Haydar sedang terluka.

Mereka kemudian berjalan beriringan memasuki Kota Tabuk. Setelah berjalan beberapa meter. Haydar menunjuk sebuah rumah kecil. Rumah didalam batu gunung yang memiliki pintu kecil setinggi orang dewasa dengan ukiran bunga sebagai penghias pintu rumah.

“Itu rumah Manaf.” ucap Haydar.

“Ayo, kita bergegas menemui Manaf dan meminta pertolongannya untuk menyembuhkan lukamu ini.” jawab Ghalib.

Setelah sampai didepan pintu rumah Manaf, Haydar memanggilnya.

“Manaf…. Manaaaaafff… Apa kau didalam?” teriak Haydar dari luar.

“Mungkin ia tak mendengar teriakanmu Haydar. Biar aku yang turun menemuinya.” jawab Ghalib.

Ghalib pun turun dari untanya. Berjalan menuju rumah Manaf.

“Manaf… Apa kau didalam?” teriak Ghalib.

“Iya, siapa itu disana? Tunggu sebentar, aku segera datang.” teriak Manaf dari dalam rumahnya.

Tak berapa lama muncullah Manaf dari dalam rumahnya.

“Siapa Tuan? Ada apa Tuan datang kemari?” tanya Manaf sopan.

“Kami datang kemari untuk menemuimu. Aku kemari bersama sahabatku Haydar. Namaku Ghalib. Saat ini Haydar sedang terluka.”

“Haydar? Dimana dia?” tanya Manaf sedikit cemas.

“Itu disana.” Ghalib menunjukkan unta mereka yang diikatkan pada sebuah pohon palem besar.

Kedua pria itu bergegas menghampiri Haydar yang sedang duduk diatas sebuah batu besar dibawah sebuah pohon palem. Mereka melihat Haydar memegangi lengan kirinya.

“Bagaimana keadaanmu? Mari aku periksa didalam.” ucap Manaf.

Dengan pelan Manaf membantu Haydar berdiri. Manaf memapah tubuh Haydar. Melihat manaf sedikit mengalami kesulitan karena besarnya tubuh Haydar, Ghalib segera membantu mereka.

“Terimakasih Ghalib.” ucap Haydar singkat sambil sedikit menahan rasa sakit.

“Inilah gunanya teman Haydar. Saling membantu dalam keadaan apapun.” balas Ghalib.

Manaf pun tersenyum melihat keakraban mereka berdua.

“Duduklah disini, aku masuk dulu untuk mengambil kain dan beberapa ramuan obat.” ucap Manaf sambil meninggalkan mereka berdua di ruang utama rumahnya yang tidak begitu besar.

“Bagaimana keadaanmu Haydar, apakah masih terasa sakit?” tanya Ghalib sambil memberikan minuman kepadanya.

“Terimakasih minumannya. Lenganku cuma tergores sedikit. Tidak terlalu dalam. Mungkin dalam beberapa hari segera mengering.” Balas Haydar.

“Ini dia obatnya, aku selalu menyimpannya dirumah untuk penyembuhan berbagai macam penyakit.” ucap Manaf dari dalam ruangan sambil membawa sebuah nampan berisi kendi kecil dan cangkir kecil dari tanah liat.

“Baguslah kalau masih ada, segera kau berikan padaku.” ucap Haydar tidak sabar.

Manaf duduk disebelah Haydar. Tepatnya disebelah kiri. Ia membuka ikatan di lengan kiri Haydar.

Darah segar mengucur pelan. Manaf membersihkannya dengan kain bersih yang sudah dibasahi dengan air hangat.

“Tahan sebentar, mungkin agak sedikit perih.” perintah Manaf. Lalu ia menaburkan bubuk putih diatas luka Haydar. Bubuk ramuan berbagai macam daun obat.

“Aaarrghh….”Haydar merintih kesakitan menahan perih di lengannya.

Setelah selesai menaburkan bubuk putih itu, Manaf segera menutup kembali luka Haydar menggunakan kain bersih. Mengikatnya dengan benar.

“Sudah, aku telah mengobati lukamu. Sekarang minumlah ramuan ini. Untuk membantu penyembuhan lukamu dari dalam.” ucap Manaf sambil memberikan cangkir kecil kepada Haydar.

“Terimakasih banyak Manaf, kau telah membantu kami.” ucap Ghalib.

“Sama – sama. Tak perlu kau berkata demikian. Sudah kewajibanku menolong temanku.” jawab lelaki lima puluh tahun itu.

Kemudian mereka bertiga menikmati hidangan yang disajikan oleh Manaf. Dalam perjamuan makan itu, Ghalib bercerita perihal rencananya membangun saluran air di Kota Petra hingga penyerangan yang mereka alami barusan.

“Untung saja Ja’far dalam keadaan mabuk. Kalau tidak, aku tidak menjamin kalian akan selamat.”ucap Manaf.

Setelah selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kota Petra. Dalam beberapa jam mereka telah tiba disana. Setelah melewati Wadi Rumm yang begitu sepi dan luas. Mereka akhirnya tiba di pintu masuk Kota Petra yakni Bab Al Siq.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun