Mohon tunggu...
Mahameru
Mahameru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar dan 'Orang Bodoh'  yang Mengikutinya

14 Februari 2016   17:55 Diperbarui: 14 Februari 2016   18:44 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Catatan Kesaksian Dari Penampungan)

Oleh: Mahameru

Luar biasa, kami tak menyangka kata seorang pengamat, "mengapa ada orang pintar sampai bisa dibodohi ikut Gafatar?" Mengapa ada orang mapan sampai bisa terikut Gafatar? Aneh sudah mapan, kok mau mengorban kan segalanya untuk yang tak jelas. Luar biasa, mengapa zaman sudah se modern ini masih saja ada orang yang bisa tertipu?

Apa sebetulnya, yang menyebabkan mereka ikut? Apa yang telah menyihir mereka? Sosiolog UI Paulus Wirutomo, mengatakan ada proses cuci otak yang telah dilakukan terhadap pengikut Gafatar. Dia menyarankan agar pemerintah melakukan penelitian yang serius, bagaimana proses cuci otak terjadi di Gafatar.

Persepsi Orang Luar

Selaku orang 'dalam' saya memahami jika banyak masyarakat berpendapat sinis dan mencibir posisi kami saat ini. Orang luar, tentu memperoleh informasi dan kesan dari kenyataan sebatas pandangan semata. Informasi media pasti lebih banyak membentuk persepsi yang muncul saat ini. Pandangan miring dan sinis seperti itu kami terima. Sudah mahfum kita hidup dalam zaman modern yang digerakkan oleh kepentingan mereka yang 'berpunya'.

Mungkin saja ini ada baiknya. Semua peristiwa pasti punya makna baik yang tersurat maupun yang tersirat. Mungkin juga ini saatnya kami memberi penjelasan yang terbuka terkait dengan substansi apa yang kami bawa. Gerakan apa sebetulnya gafatar? Sosial-budaya, politik or militer? Bagaimana 6 fase perjuangan yang ada dalam gafatar?

Alarm Bahaya

Selama tiga tahun (2012-2015), sebetulnya kita semua fokus pada program sosialisasi. Inilah saat dimana kita menyampaikan 'bacaan' tentang situasi dan kondisi kehidupan bangsa-bangsa dan dunia saat ini. Sosialisasi ini penting dan ilmiah. Bukankah nyamuk saja memberi kabar sebelum bertindak menyengat?

Mengenai bacaan situasi dunia, mungkin hampir tidak ada beda dengan pendapat pakar atau masyarakat lainnya. Dunia diambang kehancuran yang parah, demikian simpulannya. Indikatornya dua, kerusakan alam secara fisik dan kerusakan mental-moral manusia secara psikis. Banyak sudah forum internasional dan pertemuan kepala negara dunia yang membicarakan krisis bumi saat ini sudah sungguh-sungguh berat.

Kondisinya sudah sangat parah, hampir tak ada jalan keluar dari masalah tersebut. Ibarat rumah, sudah lapuk dan sudah rubuh. Tak ada lagi perbaikan (rehab) yang bisa kita lakukan. Ada bahkan yang mengatakan ini zaman zahiliyah modern, zaman edan, zaman kegelapan,  zaman dimana manusia tak mengenal Tuhan. Zaman kegelapan yang dulu hadir pada era sebelum era nabi dan rasul muncul kini terulang kembali.

Dalam berbagai kesempatan, situasi inilah yang selalu kami sampaikan. Kami menyerukan kepada berbagai lapisan masyarakat bahwa 'bahaya" sudah dekat, saatnya kita bertobat dan kembali kepada jalan Tuhan. Kami seperti kembali ke jaman lampau, teringat yang dilakukan Socrates di kampung-kampung Yunani, masuk dan keluar kampung memberi peringatan kepada masyarakat. Sayangnya masyarakat kadung picik dan buta, Socrates kemudian dihukum mati.

Kenyataannya, tidak ada satupun pemuka masyarakat yang menyanggah bahwa hari ini kondisi sudah rusak parah. Hampir semua desa menyampaikan ancaman bahaya sudah masuk ke desa mereka. Ancaman narkoba dan pergaulan bebas serta laju kriminal semakin meningkat. Seorang Walikota dalam satu kesempatan donor darah bersama kita mengatakan untuk menghancurkan 1 kota cukup dengan 1 kg sabu-sabu saja. 

Alarm bahaya sudah berbunyi dari desa-desa. Masyarakat desa sudah tahu benar dan tidak sedikit yang panik dengan situasi ini. Para Ibu merasa bahwa mereka seolah sedang memelihara  calon-calon pengguna narkoba.

Masalah Tanpa Solusi

Masalah sosial di desa dan di kota tak dapat dicegah. Masalah sosial adalah buah dari peradaban dunia. Siapa yang menabur benih dia akan memetik buahnya. Sudah diprediksi sebelumnya, paham kebebesan/ liberalisme, individualisme, dan kompetisi yang ditanam hari ini berbuah lebat. Buahnya itu yang sedang dinikmati oleh masyarakat desa hari ini. Dunia dikontrol dibawah keyakinan liberalisme, individualisme dan kompetisi. Paham yang lain tak dibenarkan tumbuh.

Masalah di desa dan di kota yang terus tumbuh tak juga kunjung solusi. Masyarakat tak tau lagi jalan keluar dari masalah ini. Semua cara sudah dicoba, dari yang berdasarkan cara agama ataupun berdasar cara adat, hasilnya sama saja. Masalah sosial semakin besar. Setiap solusi seperti menyiram bensin ke dalam api, masalahnya seperti nyala api semakin besar.

Tak terbayang trilyunan investasi proyek peningkatan SDM dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Tak terbayang berapa uang untuk proyek penanaman pilar kebangsaan. Tak terbayang uang yang telah digelontorkan masyarakat untuk mensucikan diri. Tak terbayang bagaimana slogan 'revolusi mental' dipertaruhkan untuk memenangkan Jokowi. Ternyata, semua proyek tersebut hanyalah kategori 'bensin' yang semakin menyulut api permasalahan. Semakin dilakukan semakin besar masalahnya.

Indonesia telah menjadi sarang narkoba. Pergaulan dan seks bebas ditengah remaja menjadi biasa. Kriminalitas/ kejahatan manusia semakin lama semakin berkembang. Abad informasi, internet dan teknologi canggih identik dengan pornografi dan kejahatan dunia maya. Para pemimpin hanya mengejar kekuasaan belaka. Kolusi, korupsi dan persekongkolan jahat semakin canggih. Krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin semakin luas. Pakar menyimpulkan situasi inilah yang disebut krisis multidimensi. Krisis yang meliputi dimensi ideologi, politik, sosial, budaya dan hankam.

Tak Terbayang

Secara pribadi tak pernah saya membayangkan akan terlibat gerakan seperti ini. Meski selama ini aktif di pergerakan ikut di berbagai forum, namun terasa benar ada jurang beda yang sangat dalam. Jika di LSM/NGO kita bergerak berdasar motif atau isu tertentu dan kepentingan pragmatis. Dalam perjalanan ini, kita diajak sepenuhnya untuk mengenal Tuhan dan kehendaknya bagi ummat manusia. Merendahkan akal pikir kita dihadapan Tuhan adalah hal yang utama. Bukan akal pikir yang berkuasa tapi yang berkuasa atas lita hanyalah Dia yang maha segalanya.

Dalam perjalanan ini beda, sepenuhnya kita yakin bahwa kita sedang melakukan perintah Tuhan. Tuhan yang ada di depan menuntun kita. Tak perlu berfikir perdiem dan upah, kitalah yang menanggung semua biayanya. Jika masih berharap upah, kita pasti akan gagal mengikuti-Nya. Tidak usah berharap perubahan jika kita tidak memiliki jiwa ikhlas dan rela berkorban harta dan jiwa. Tidak ada orang yang mau berbelas kasihan kepada kita sebab mereka tak mengenal kita. Tuhan itu ada karena kita, dan Tuhan besar karena kita. Kita sendiri yang mengecilkan dan meniadakan Tuhan dalam hidup kita. Kalau kita merelakan semua harta dan jiwa kita kepada Tuhan maka Tuhan tentu saja besar dan berkuasa.

Iuran Anggota

Setiap bulan, kami rutin mengumpulkan iuran anggota. Hanya dengan iuran (gotong royong) organisasi ini dapat berjalan. Keyakinan untuk berkorban menjadi alasan mutlak mengapa organisasi terus bertumbuh. Pada setiap keluarga, kami tekankan mesti pandai membagi pendapatan yang kami miliki, untuk iuran dan untuk makan.   

Bila diratakan iuran setiap orang minimal seratus ribu rupiah sebulan. Bila di satu DPD ada 250 orang yang beriuran. Kami bisa kumpulkan 25 juta sebulan. Setiap struktur punya jatah masing-masing. Semua dana digunakan untuk kepentingan organisasi dan aksi sosial. Kita menolak pemberian bantuan uang namun kita menerima bantuan alat baksos seperti cangkul, mesin potong rumpun dan lainnya.

Sudah jarang kita temui organisasi dengan pendanaan mandiri. Tidak sedikit tuduhan dana gafatar dari luar negeri. Silahkan ditelusuri. Jika terbukti dari luar negeri kami setuju ini adalah organisasi sesat dan menyesatkan. Tidak sesuai misi sucinya dengan perbuatan. Saya ada di dalam bisa menjadi saksi. Tidak satu senpun dana yang berasal dari luar anggota. Kami datang bukan untuk dibayar atau mendapatkan upah. Kami bergabung justru untuk menyerahkan semua harta kami kepada Tuhan.

Bisakah kita bayangkan, jika semua bangsa Indonesia menyerahkan hartanya kepada negara? Sebesar dan sekuat apakah negara kita? Jika negara kuat pasti rakyat kuat. Namun saat ini yang terjadi sebaliknya. Kita sibuk merampok uang negara. Akhirnya negara bangkrut, koruptor semakin kaya. Negara tunduk pada para penjarah. Kasihan benar ratusan juta bangsa Indonesia.

Keyakinan Adanya Juruselamat

Sebelum bergabung, saya hanya pernah membaca bahwa ditengah masyarakat Indonesia ini hidup subur pemahaman mesianic. Saya tahu banyak orang 'menunggu' ratu adil, menunggu satrio piningit, menunggu imam mahdi, menunggu sang penyelamat. Keberadaan manusia penyelamat adalah suatu keniscayaan. Manusia sadar kondisi akhir zaman sedang rusak parah. Manusia biasa tak akan mampu menyelesaikan masalah. Makanya banyak orang berharap ada manusia dengan kekuatan super, sakti mandraguna diluar nalar mereka.

Tentang kondisi akhir zaman, banyak buku tersedia. Saya mulai banyak membacanya. Secara umum dapat disimpulkan, pada kondisi kerusakan yang parah, Tuhan akan bekerja untuk menyelamatkan manusia. Bentuk, proses atau cara bekerja Tuhan inilah yang tidak sama dipahami ummat manusia. Semua kelompok punya pandangan berdasar keyakinan mereka masing-masing.

Dalam pandangan kami, Tuhan akan memilih satu atau kelompok yang terpilih. Siapa itu? Hanya Tuhan yang tahu. Bisa saja ada banyak orang atau kelompok muncul sebagai pilihan tuhan. Tak masalah, sebab orang yang mengenal tuhan perilakunya pasti sesuai dengan kehendak tuhan. Pasti memiliki sifat-sifat terpuji seperti sifat para nabi. Semakin banyak sifat orang terpuji semakin baik. Sebab kita memang diperintahkan untuk berlomba berbuat kebaikan. Semakin banyak orang berbuat baik, dunia akan kembali damai dan sejahtera.

Mana yang benar atau salah, Tuhan sendiri yang akan membuktikannya. Waktu akan menentukan dan menjawab semuanya. Setiap tanaman pasti akan berbuah pada waktunya, sudah menjadi ketetapan Tuhan. Hukum Tuhan pasti berlaku kepada seluruh mahluknya. Gandum dengan ilalang akan berbeda pada waktunya.

Dengan pemahaman ini, kita menjadi semangat. Tak perlu saling menghujat satu dengan yang lain. Tak perlu merasa paling benar. Kami hanya berupaya sekuat tenaga, dengan seikhlasnya berbuat sesuai dengan yang diperintahkan Tuhan. Jika ada perbuatan yang salah, negara atau pemerintah bisa bertindak. Jika pemahaman ini dimiliki semua kelompok yang ada, saya yakin tak ada masalah. Semua tinggal dinilai dari perbuatannya saja. Mana yang berlawanan dengan hukum segera ditindak. Kita bertanggung jawab terhadap apa yang kita perbuat.

Perubahan Tak Sederhana

Sebagai mantan aktifis, aktifis sosial, perjalanan dalam lintasan garis massa ternyata ada batasnya. Semua aktifis berpisah karena sibuk mencari kerja. Cita dan harapan yang pernah kami bawa pupus ditelan waktu. Kami berhenti, seperti pohon yang layu sebelum berkembang. Hidup realistik, butuh makan, butuh pekerjaan dan butuh berkeluarga juga. 

Sebagai aktifis mahasiswa banyak pelajaran yang kami temukan. Kami dibentuk oleh suasana dan waktu. Jiwa menggelora menuntut idealisme yang tak sama dengan realita. Kami tersulut karena ketidak adilan, penindasan yang terjadi pada masa orba. Emosi membara, kala penguasa semakin tuli dan buta. Kami teriak, butuh perubahan sekarang juga!

Jalanan seperti senjata mematikan yang bisa digunakan. Di jalan lah kami lampiaskan semua yang kami inginkan. Namun, semua ada batasnya. Dibalik tuntutan, ada penguasa, ada tentara, ada politisi yang menghadang. Tak mudah mentegakkan perubahan. Hari ini kami sadari semua itu hanya nostalgia tinggal kenangan semata.

Pasca aktifis ria, semua aktifis terbelah dihadapkan realita. Semua memilih jalannya sendiri sesuai kepentingan masing-masing. Perut lapar, butuh kerja, tak mungkin di jalanan terus. Tak ada yang dapat mencegah, tak ada ideologi yang memaksa kami terus bersama.

Saat masih menjadi pegiat sosial, sepulang dari Jakarta saya bertemu seorang teman, bercerita tentang paradigma baru yang berbeda. Daripada masuk surga sendirian mending ajak teman yang lain, demikian kata pertama yang saya dengar begitu menggoda. Saya putuskan saya ikut ajakannya. Kalau sekedar diskusi kan sudah biasa. Memang kita suka diskusi jadi senang saja diundang.

Namun, perlahan tapi pasti kenyataan lain berbicara. Pikiran saya yang keras seperti batu pecah, semua rumus yang pernah saya tumpahkan dijalanan perlahan tampak percuma. Ternyata ada konsep lain untuk membaca situasi yang ada. Dibutuhkan kacamata lain, sudut pandang lain, dimensi lain untuk membaca alam semesta. 

Sebagai orang beragama saya ingat perintah untuk membaca seperti ini. Baru ini saya paham cara membacanya. Saya semakin 'syor' saja dengan cara pandang yang baru ini. Saya setuju tak mudah bangun bangsa, tidak sesederhana sebelumnya. 

Dibutuhkan kesejatian dalam melakukan perubahan. Dibutuhkan contoh, dibutuhkan keteladanan dalam berbuat, tak bisa sekedar kata-kata dan ajakan semata. Semua yang ada dalam kepala serasa tumpah, saya bertanya, harus seperti inikah membangun bangsa? Mengapa tidak bisa sambilan saja? Mengapa tidak ikut partai dan pilkada saja? 

Orang bilang ada 'cuci otak' dalam Gafatar. Saya tidak menampik tuduhan itu. Dalam hal yang positif benar, terjadi pencucian otak bagi mereka yang hendak bergabung. Dari otak yang sebelumnya kotor menjadi otak yang bersih. Otak yang kotor adalah otak yang selalu berfikir mencari untung, mencari kesenangan dunia, mencari jabatan dan kedudukan, mencari kesenangan seksual. Otak yang 'ngeres' itulah yang hendak kita bersihkan. Sudah lama kita tak menemukan ada obat pencuci otak kotor yang jitu. Mungkin itu yang dimaksud dengan cuci otak.

Banyak kita yang merokok, bahkan ada yang pencandu narkoba, ada yang gila perempuan, sering buka situs porno. Di gafatar, dengan pemahaman kembali kepada Tuhan banyak yang sembuh. Kalau tak sembuh dia tak bisa jadi anggota Gafatar. 

Tidak ada satupun anggota gafatar yang berbuat buruk, itu sumpah kita. Hal yang paling kecil kalau masih merokok, tidak pakai helm, menerobos lampu merah pasti bukan anggota gafatar. Perilaku seperti itu bisa dibuktikan di lapangan. Perokok beratpun pasti berhenti jika menjadi anggota Gafatar. Perbuatan mulia yang lain tentu saja masih banyak yang kita perbuat.

Fase Membangun Mental

"Sapu kotor tak bisa membersihkan lantai yang kotor", ini hukum yang selalu kita pegang. Saya senang dengan hukum sosial seperti ini. Konsekuensinya, jika kita mengajak orang berbuat kebaikan seperti tidak mencuri, tidak membunuh, tidak berzinah, tidak berdusta dan berbudi pekerti luhur serta tidak berbuat zalim terhadap sesama manusia maka prinsipnya, kita dulu yang melakukannya. Kita dulu yang bersih baru kita mengajak orang lain. Orang kotor (munafik) tak kan bisa buat perubahan, itu hukum alam.

Untuk membersihkan jiwa-jiwa yang kotor maka dibutuhkan waktu. Untuk merdeka kita butuh waktu mempersiapkannya. Tidak bisa tiba-tiba kita merdeka dan tiba-tiba bersih. Ada periode atau fase pembersihan. Menurut saya, adanya fase-fase dalam pembangunan suatu bangsa itulah yang rasionil.

Saya ingat benar, rezim orba melakukan tahapan-tahapan dalam pembangunan bangsa melalui repelita. Ada tahap pembangunan SDM, pembangunan ekonomi, tinggal landas, dan zaman modern. Saya tahu itu diadopsi dari pikiran Rostow Ilmuwan Pembangunan Modern. Tak ada yang salah. Namun sayang, tahapan itu tak pernah terjadi. Setelah 30 tahun orba berkuasa kita justru jatuh. Kita kembali kebelakang. Kerugiannya besar sekali. Kita seolah kembali dari nol lagi. 

Pasca orba, kita tak tahu ada fase pembangunan lagi atau tidak. Benar ada rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang, namun semua itu klise hanya programatik belaka. Selalu kepentingan pribadi dan kelompok dengan mudah mengalahkan kepentingan nasional. Rencana jangka panjang bangsa berubah karena kepentingan partai. Bahkan, kadang tak penting juga ada rencana pembangunan.

Buktinya, banyak kepala daerah tak membuat visi misinya sendiri. Mereka juga sering lupa garis sambungnya dengan program nasional. Semua diserahkan pada pihak ketiga. Umumnya kepala daerah tak menulis programnya sendiri. Ada perguruan tinggi yang bisa membuatkan visi misi dan programnya. Semua sudah maklum, banyak uang yang berbicara.

Saat ini kita masuk era Presiden Jokowi dengan slogannya yang spektakuler revolusi mental. Kita senang ada Presiden yang tahu benar bahwa saat ini bangsa Indonesia dilanda penyakit cacat mental yang parah. Indikator cacat mental memang menunjukkan fakta yang nyata. Lihat saja sejumlah masalah ideologi, politik, sosial, budaya, yang muncul belakangan. Sudah terjadi kerusakan mental dimana-mana.

Kita gembira, ada Presiden terpilih akan memimpin bangsa ini untuk kembali kepada nilai luhur budaya bangsa sebagaimana yang termaktub dalam pancasila. Pancasila sudah ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja. Kita bahkan tak mengakui pancasila sebagai dasar falsafah negara, sumber segala sumber hukum. Buktinya, banyak undang-undang lahir justru bertentangan dengan pancasila. Baik undang-undang dibidang air, pertanian, investasi, perdagangan bebas, perbankan dan lainnya. Kita melanggengkan nilai individual dan liberal serta persaingan hidup menggantikan nilai pancasila.

Namun, sampai saat ini kita belum tau kapan program revolusi mental itu dilakukan? Kita tidak tahu tahun keberapa masa pemerintahan ini dilakukan pelaksanaannya. Kita tidak melihat ada gerakan budaya yang dilakukan secara massif. Tidak ada gerakan kembali kepada nilai-nilai ketuhanan yang maha esa.

Belum saja berjalan programnya, kita sudah dikejutkan adanya ganjalan psikologi yang dialami Jokowi. Dalam satu krsempatan Ibu Mega sebagai ketua partainya sendiri mengatakan Jokowi adalah petugas partai. Partai menginginkan agar Presiden ingat bahwa dia berada di bawah partai. 

Suasana di dalam partai yang egois membuat kita sebagai rakyat kehilangan respect. Mestinya partai punya sikap mulia, tunduk pada Presiden terpilih, menghargai, memberi kesempatan. Ego politik begitu kental. Sayang, Jokowi tak dapat berbuat apa-apa. Bagaimana mau melakukan revolusi mental jika mental partai sendiri saja tak bisa berubah, begitu gugatan banyak orang terdengar. 

Tanpa fase pembangunan sepertinya kita sudah tidak perduli. Seolah kita bekerja bangun bangsa dengan begitu saja. Tanpa fase, kita tak tahu kemana kita mau melangkah. Kapan terwujudnya masyarakat adil dan makmur itu terwujud? Apkah kita berbangsa hanya sebatas berbangsa saja? Untuk apakah cita-cita dan ideologi bangsa kita? Sampai kapan rakyat terus terbuai dengan janji dan mimpi-mimpi?

Dengan fase atau tahapan, kita punya langkah dan ukuran yang jelas. Kita tahu apa yang akan kita lakukan saat ini, esok dan ke depan. Dengan fase kita tahu sedang berada dimana dan berbuat apa. Dengan fase, kita bisa mencurahkan semua potensi yang kita miliki untuk diperbuat. Dengan fase, kita bisa fokus, konsentrasi pada satu titik. 

Saat ini tak ada kejelasan, apa fokus yang hendak kita lakukan. Apakah kita mau bangun badan dahulu atau jiwa dahulu ?. Bangun badan itu mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Bangun badan sama dengan bangun fisik. Kita dengan mudah bangun rumah, jalan, jembatan, istana, gedung, dan fasilitas pembangunan lainnya. Namun kita kesulitan bangun jiwa bangsa ini. 

Pembangunan jiwalah yang sulit untuk dilakukan. Sebabnya, kita berperang dengan hawanafsu kita sendiri. Kita sudah menjadikan akal fikir kita sebagai Tuhan yang memerintahkan kita.

Pada gafatar fase pembangunan bertahap-tahap tidak bisa sambil jalan. Pembangunan dimulai dengan membangun jiwa terlebih dahulu. Tahapan pembangunan adalah hal yang pasti, seperti hidupnya pohon, seperti siklus kehidupan manusia, seperti pergantian malam dan siang. Ada tahapan yang berkesinambungan secara alamiah dan ilmiah. Ada masa dalam kandungan, ada lahir, ada bayi, ada dewasa, ada tua, dan kematian. Peradaban manusia juga berlangsung demikian. Ada tahap persiapan, ada kelahiran bangsa, ada pematangan, ada krisis, ada kematian.

Kematian Bangsa

Dulu saya tak percaya ada bangsa yang mati. Saya percaya manusia saja dan mahluk lainnya yang mati, bukan suatu bangsa. Namun setelah melihat kematian bangsa Romawi, Persia, Babilonia, Assyiria, Akkadia, saya percaya kehidupan suatu bangsa ada ajalnya juga. Setiap kelahiran pasti ada kematian adalah hukum alam. 

Saya baru sadar, ada lagu kebangsaan kita yang satu baitnya menyebut hari lahirnya bangsa Indonesia, "tujuh belas agustus tahun empat lima itulah hari kemerdekaan kita, hari merdeka, hari lahirnya bangsa indonesia". Pada saat merdeka kita lahir sebagai bangsa. Sebelumnya kita tidak ada. Jadi jelas ada tahapan seperti siklus kehidupan seorang manusia.

Kalau bangsa kita jelas kapan lahirnya, lantas kapan bangsa kita akan mati? Apakah sama seperti Romawi 700 tahun?, seperti bangsa Arab 700 tahun? Kita tidak tahu. Hanya waktu yang bisa menjawabnya. 

Kematian suatu bangsa banyak indikatornya. Beberapa diantaranya seperti pencaplokan oleh bangsa lain (kehilangan kedaulatan atas tanah dan sistem), membubarkan diri, memisahkan diri, atau tak punya ideologi. Bangsa tanpa keyakinan tidak akan dapat berdiri begitu kata Bung Karno. Kalau Pancasila tidak kita implementasikan percuma kita merdeka atau lahir ke dunia. Hanya menjadi budak bangsa lain sama saja dengan kematian begitulah makna ideologi.

Gafatar mengenal enam fase pembangunan suatu bangsa atau komunitas yaitu pembangunan mental-spritual, sosialisasi secara terbuka, keluaran, perang/perjuangan sungguh-sungguh, membangun tatanan, dan terbentuknya masyarakat madani. Inilah konsep yang hendak ditawarkan Gafatar. Bung Karno pernah menawarkan konsep pembangunan semesta. Soeharto juga pernah menawarkan konsep repelita sebagai konsep membangun bangsa. SBY juga menawarkan konsep pembangunan. Jokowi juga menawarkan konsep revolusi mental untuk membangun bangsa.

Semua konsep membangun bangsa boleh saja ditawarkan. Syah-syah saja kita memiliki konsep pembangunan. Itu artinya kita masih hidup, masih bisa mikir untuk bangsa kita apalagi dunia. Semua konsep mestinya dipresentasikan di hadapan publik. Semua konsep mestinya dikritisi oleh berbagai pihak, di uji mana yang realistik mana yang tidak.

Kita punya 34 Gubernur, punya 600 Bupati dan Walikota. Semuanya menawarkan konsep pembangunan di daerah masing-masing. Betapapun kita tahu konsep itu kadang tidak mereka pahami sendiri. Namun kita semua menghargai semua konsep itu. Cukuplah masyarakat yang merasakan dampak dari diberlakukannya konsep itu.

Banyak konsep pembangunan bangsa yang ternyata tidak dapat diimplementasikan. Banyak konsep yang bertentangan dengan nilai dasar Pancasila. Banyak konsep yang hanya mensasar kepentingan sesaat dan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Tawaran konsep alamiah dan ilmiah yang ditawarkan gafatar adalah membangun pondasi ideologis terlebih dahulu. Membangun pondasi ideologis inilah hal yang utama dan pertama kita lakukan saat ini. Mengajak kembali bangsa Indonesia mengenal Tuhan Yang Esa. Pembangunan mental-spritual adalah hal yang pokok seperti kita menanam dengan benih unggulan. Mustahil kita memiliki ideologi yang menghunjam ke dalam sanubari jika kita tidak menanamnya.

 

Rumah Hancur

Semua fase berlangsung secara alamiah dan ilmiah. Artinya, kita bekerja membangun bangsa itu sebabnya karena sendi-sendi kehidupan bangsa itu sudah rubuh. Kalau ada Rumah baru ya.. kita tempati, kita nikmati, sementara jika rumah kita hancur ya..kita bangun kembali. Jadi, saat membangun rumah itu adalah kondisi alamiah, sudah waktunya tiba, sebab rumahnya sudah hancur.

Logikanya, rumah yang hancur atau rubuh wajib kita bangun kembali. Kalau rumah kita tidak rusak tidak perlu kita kerja bangun rumah. Aneh kalau kita memperbaiki rumah yang baru selesai dibangun. Rumah yang baru kita bangun ya harus kita tempati, kita nikmati. 

Bangsa dan negara kita ini adalah rumah kita. Saat ini kondisinya sudah hancur. Indikasinya jelas, yaitu pondasinya sudah tak ada. Ideologi Pancasila sudah tidak kita gunakan lagi. Kita tak lagi mengenal makna ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, dan keadilan. Semua nilai luhur itu tidak lagi menjadi penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi kerusakan mental-moral ini yang secara alamiah dan ilmiah mendorong manusia untuk berubah, sadar dan berbuat. 

Untuk sampai pada pemahaman ini, sulitnya minta ampun. Tidak semua orang ternyata punya pandangan yang sama. Kerusakan mental-moral manusia ternyata ada juga yang tak melihatnya sebagai suatu kerusakan. Ada juga yang gembira mengambil manfaat dari kerusakan dan ingin mempertahankannya. 

Kita tak bisa paksakan agar pandangan kita sama. Kita menghargai apapun pandangan orang lain. Gafatar membaca situasi rumah bangsa saat ini sudah hancur, sebab pondasinya sudah tak ada (tak digunakan). Tanpa ideologi bangsa tak bisa berdiri. Orang bilang ini zaman edan, zaman zahiliyah modern, zaman terbolak balik.

Jika kita simpulkan hancur, lantas tugas pertama kita adalah membangun kembali pondasinya. Kita hidupkan kembali ideologi Pancasila. Kita tiupkan ruh Pancasila dalam kesadaran bangsa Indonesia. Caranya kita lakukan re-intrepretasi kembali Pancasila kemudian kita internalisasi dan kita implementasikan. 

 

Eka Sila

Sila Pancasila tak perlu ditambah dan dikurangi hanya pemahaman kita saja terhadap Sila Pancasila yang diperbaharui. Kita butuh pemahaman yang lebih jernih dan mendalam terhadap Pancasila. Sudah lama Pancasila 'tidak hidup' dalam kesadaran bangsa.

Kita ingat Bung Karno pernah 'memeras pancasila' menjadi eka sila yaitu gotong royong. Gotong royong melekat sebagai jati diri bangsa. Ruh gotong royong yang hidup akan dapat menggerakkan semua sendi kehidupan bangsa. Gotong royong menjadi tenaga gerak pembangunan yang luar biasa. Kita sungguh menikmati kesadaran gotong royong di tengah kehidupan kita.

Gafatar juga memeras Pancasila menjadi eka sila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia yang hidup dengan ruh tuhan pasti memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membangun bangsa bahkan dunia. Gotong royong adalah bahagian dari ekspresi kecintaan kita kepada Tuhan. Jadi gotong royong adalah wujud dari manusia yang mengabdi kepada Tuhan. Hanya dengan mengenal dan mengabdi kepada Tuhan bangsa kita pasti menjadi mercusuar dunia.

 

Kemunafikan

Aneh, kita menjunjung tinggi Pancasila tapi kita tak mengenal Tuhan. Semua agama mengakui dasar negera ini sudah final yaitu Pancasila, namun tindak tanduknya justru bertentangan dengan Pancasila. Banyak orang mengaku Pancasilais namun perbuatannya anti Pancasila. Sikap munafik tumbuh subur dinegeri tercinta ini. 

Semua agama punya pemahaman, kalau sudah satu agama akan masuk surga betapapun bejat perbuatannya. Agama yang lain itu salah besar, tempatnya neraka. Apapun perbuatan baik yang diperbuat ummat agama yang berbeda, semuanya salah. Biar bejat, asal beragama sesuai dengan panduan tak masalah. Jadi, kemunafikan menjadi sikap yang dilegalkan dan distempel oleh agama. 

Pada lautan kemunafikan, kebenaran dan kesejatian menjadi samar dan sulit untuk ditemukan. Semuanya menjadi abu-abu, bahkan menjadi ruang gelap. Mencari kebenaran itu sama dengan mencari semut hitam, yang berjalan diatas batu hitam pada malam yang gelap. Pada lautan kemunafikan semua terbolak balik, yang benar difatwa salah, yang salah difatwa benar. Kalau tak ikut edan seperti kebanyakan yang lain, kita pula yang dikatakan edan.

 

Fase Perang/ Perjuangan Sungguh-sungguh

Tidak dipungkiri dalam setiap sejarah pembangunan suatu bangsa ada fase peperangan. Indonesia sebelum menjadi suatu bangsa pun terlibat dalam perang kemerdekaan melawan penjajah. Banyak bangsa lahir dari peperangan. 

Kita sering membahas sejarah dunia, dan lokal dalam pembangunan suatu bangsa. Kita banyak mendalami berbagai upaya dari banyak bangsa untuk eksis. Kita juga membaca sejarah bangsa-bangsa yang tercatat dalam kitab suci. Semua cerita pembangunan suatu bangsa simpulannya terkait dengan situasi alam semesta. Suatu bangsa bangkit dan mati berhubung kait dengan kondisi alam semesta.

Semua yang terjadi adalah atas kehendak dan skenario Tuhan. Dedaunan yang jatuhpun di seluruh pohon atas kehendak Tuhan. Fase peperangan saat ini bisa dimaknai dalam berbagai pandangan. Banyak pihak yang memaknai perang secara fisik. Kita lihat banyak perang mengatasnamakan agama terjadi silih berganti di mukabumi ini. Banyak bom bunuh diri, aksi sabotase dan pendudukan suatu kantor pemerintah atas nama Tuhan. 

Bagi kita, perang semesta yang utama adalah perang terhadap kezaliman, perang melawan hawanafsu, perang terhadap kemunafikan. Semua terjadi secara alamiah tidak bisa dipaksa. Tanpa menjadi teladan di muka bumi ini, tak ada yang bisa kita sumbangkan pada dunia.

Kami  memulai dari pondasi idiil, memulai dari mengenal dan mengabdi kepada Tuhan. Menjadi pelopor dan membuktikan perbuatan kepada semua bangsa di dunia adalah hal yang penting. Kami semua yakin bahwa untuk bisa menjadi unggulan yang menilai bukan kita tapi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia secara alamiah akan mengetahui dan memahami mana sesungguhnya yang benar dan mana yang salah. Cepat atau lambat bangsa Indonesia akan paham mana yang sejati dan mana yang palsu. 

Kalau sejati, akan terus berkembang. Sementara yang palsu akan berakhir tenggelam. Janji Tuhan tidak akan berubah sepanjang masa. Dia yang akan memberi kuasa pada orang atau  komunitas atau bangsa yang Dia kehendaki. Tugas kita hanyalah menjadi sejati sesuai dengan kehendak Tuhan, tidak lebih. Cukuplah Tuhan yang Maha Tahu yang menilai kita. Dia tak kan mungkin tertipu oleh tipu daya manusia.

Jadi, tak mungkin gafatar mendorong makar, merongrong kekuasaan yang syah. Semua tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku. Hak konstitusi kita tegakkan sementara hak Tuhan kita Tunaikan. 

Bukti gafatar taat hukum, bukan makar cukup sederhana, yaitu datang atau masuk Ke Kalimantan dengan benar. Semua keluarga mesti datang dengan syarat administrasi yang cukup, mesti ada surat pindah. Kita tahu, banyak sahabat yang kesulitan mengurus surat pindah. Sebahagian diantara mereka sudah kadung dicap 'sesat' oleh pemerintah setempat. Namun, arahan mesti dilaksanakan betapapun sulitnya.

Begitu juga sebaliknya, semua sahabat gafatar mesti keluar dari daerah masing-masing juga dengan benar, mesti dengan surat pindah. Kita semua masuk dan diterima sesuai dengan mekanisme administrasi kependudukan. Kita masuk sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di daerah setempat. Dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung telah kita terapkan di Borneo. Sebelum kita bangun rumah, tetua adat dan tetus kampung melakukan upacara adat terlebih dahulu. Kami mengikuti semua saran dari masyarakat kampung.

Mana ada gerakan makar dimulai dari bertani yang skalanya ribuan hektar. Kalau makar ya sudah kenapa tidak makar saja dari awal? Mengapa mesti pakai kegiatan bakti sosial selama bertahun'tahun? Kalau mau makar mengapa tidak tanamkan saja sikap bermusuhan? Mengapa mesti bersumpah menjadi manusia berbudi pekerti luhur?

Kalau makar, mengapa mesti buat program menjadi petani dengan sepenuh jiwa, membawa semua harta yang dipunya dan meninggalkan semua pekerjaan yang ada? 

Pernahkah kita berfikir, sampai hari ini, setelah 70 tahun merdeka, belum ada program pemerintah mencetak petani baru. Pemerintah baru sebatas punya program mencetak sawah baru. Justru yang terjadi sawah kita berkurang terus setiap tahunnya.

Kalau makar mengapa mesti bercita-cita selama 7 tahun menjadikan Borneo sebagai Lumbung Pangan Dunia? Sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa semua program yang kita kerjakan jelas arah dan waktunya serta fokus untuk mencapainya. Program kedaulatan pangan di Borneo bertujuan menjadikan Borneo khususnya dan Nusantara umumnya sebagai lumbung pangan dunia dalam kurun waktu 7 tahun. Mungkin ini cita-cita keterlaluan. Namun semua yakin, dengan fokus dan bersabar serta ikhlas kami pasti bisa mewujudkannya. Belum ada kan petani kerja dari subuh sampai malam hari? Dari Borneo kami memulainya.

Kalau makar, mengapa mesti bersumpah tidak akan memiliki Tanah Borneo sejengkalpun? Kalau makar, mengapa bersumpah kembali lagi ke tempat asal, ke kampung halaman? Ini bukan perbuatan biasa, kami yakin perbuatan ini sesuai kehendak tuhan, perbuatan mulia sebagai contoh bagi yang lainnya. 

Melihat konsepnya, saya belum pernah menemukannya dalam perjalanan hidup saya selama ini. Sebahagian tanah garapan benar kami membelinya. Namun kami tidak berkehendak memilikinya. Ada saatnya kami akan pulangkan pada masyarakat Borneo. Borneo adalah media latih bagi kita semua menjadi manusia sejati.

Kalau makar, mengapa mesti Berkomitmen membagi 50% hasil panen kepada masyarakat. Aneh sungguh aneh, kami sudah membuka dan menanam ratusan hektar sawah dari lahan tidur yang ada di Borneo. Kepada kepala desa dan masyarakat kami tegaskan bahwa 50% hasil panen kami serahkan kepada masyarakat desa. Kepala desalah yang kami titipkan untuk membaginya. Itulah pernyataan yang kami sampaikan saat pembentukan Kelompok Tani.

Kita semua meyakini bahwa segala sesuatu berlangsung secara alamiah dan ilmiah, tidak terkecuali pada kekuasaan. Untuk berkuasa tak perlu makar, tak perlu merebut kekuasaan apalagi melakukan teror. Kekuasaan milik Tuhan, Dia yang memberikan kekuasaan pada orang yang Dia kehendaki. Siapa yang menjalankan perintah Tuhan dia akan ditempatkan sebagai kepala tidak sebagai ekor. 

Begitulah keyakinan yang kita imani. Segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan. Berbuat baik, berkarakter luhur, mengabdi sepenuhnya di jalan Tuhan itu saja yang kita lakukan.

 

Memilih Borneo

Banyak orang bertanya mengapa milih Borneo? Ada apa dengan Borneo? Adakah gafatar mau buka tambang batubara, emas, bauksit disana?

Borneo adalah pilihan rasional dan alamiah. Tidak ada provinsi yang luput dari ancaman jalur cincin api kecuali Borneo. Pulau subur yang dilalui garis lintas khattulistiwa. Kita diterima masuk dengan disediakan ribuan hektar tanah garapan secara cuma-cuma. Ratusan ribu tanah terlantar di berbagai daerah kabupaten dan kota. Tempat banyak perusahaan raksasa menelantarkan sisa-sisa kekayaan Borneo. Berada ditengah kepulauan nusantara. Semua syarat untuk bertani dan mewujudkan kedaulatan pangan cukup memadai. 

Dengan kondisi Borneo, kami datang menawarkan niat tulus ikhlas membangun Borneo. Kami datang ke Borneo, membawa semua kekuatan yang kami miliki, membawa keluarga dan impian kehidupan yang jauh ke depan. Kami datang bukan untuk menyusahkan, apalagi buat onar apalagi makar. Dan yang paling terpenting, kami bersumpah tidak untuk memiliki tanah Borneo. Tidak untuk mereguk kekayaan alam Borneo. 

Borneo adalah pusat pelatihan mental dan amal perbuatan. Sebagai bukti kepada Tuhan yang Kuasa bahwa kami abdi-Nya yang setia, berbuat untuk sesama sebab semua adalah saudara. Kami datang atas keyakinan menjalankan perintah Tuhan. Kami datang bukan dengan motif pribadi apalagi ekonomi. Kami datang dengan senang gembira, bukan terpaksa apalagi dipaksa, apalagi di culik.

Borneo adalah pilihan rasionil setelah muncul penolakan berbagai daerah terhadap gafatar. Setelah Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua memperlihatkan penolakannya maka tak ada pilihan daerah yang lebih kondusif dibanding Borneo. Secara sosiologis juga di dukung dengan watak dan budaya masyarakat setempat yaitu Dayak dan Melayu yang terbuka dan menerima.

Bagaimana dengan pengusiran dari Borneo? Kami menangis, masyarakat setempat juga menangis. Seperti tak percaya tapi nyata. Tidak ada tanda sama sekali kami bakal terusir, semuanya berjalan menghangatkan. Sejumlah percobaan terhadap air bersih, pupuk organik cair, mengolah tanah asam sedang giatnya kita lakukan. Ada sekitar 300 hektar padi yang siap panen satu dan dua bulan ke depan. Kami lagi semangat bertani bangun pertanian organik di Borneo.

Setelah kasus hilangnya dokter cantik Rika dimuat media, hanya butuh lima hari pemukiman dan mobil di mempawah kemudian terbakar dan beritanya menggelegar. Ex-gafatar telah habis dan  dihabisi dalam sekejap, gembira mereka. Sumpah serapah, muncul deras dari penjuru nusantara. Orang bicara gafatar sesat dan banyak orang bodoh yang mengikutinya. 

Sekali lagi banyak yang menangis. Di kawal pagar betis aparat, proses evakuasi yang serba cepat ditambah berita yang menyeramkan kami dipulangkan. Semua ex-gafatar pulang dengan damai mengikuti kebijakan. Tak ada satupun perbuatan pidana yang kami lakukan. Untuk kesekian kali, kembali ex-gafatar di hukum sesat berdasar opini sesaat.

 

Program Kemandirian Pangan

Mengapa PNS, Pengusaha, Pedagang jadi petani? Ini bukan petani biasa, pasti ada sesuatu dibaliknya! Demikian suara sumbang menggema di media. 

Memutuskan menjadi petani, dengan meninggalkan kehidupan yang sudah mapan, sungguh aneh. Apalagi disaat banyak petani kehilangan tanahnya dan beralih pekerjaan pada bidang yang lain. Menjadi petani di Indonesia bisa dikatakan sebagai pilihan terakhir. Sebahagian besar petani hanya menikmati pendapatan yang kecil saja. Umumnya petani dihadapkan dengan masalah pupuk yang tinggi, lahan sempit, cuaca, harga gabah yang rendah serta biaya kehidupan yang cenderung meningkat. Banyak petani justru menggadaikan atau menjual atau bahkan menjual lahannya untuk menutupi kebutuhan tertentu. 

Selain itu, produksi pertanian semakin menurun disebabkan penggunaan pupuk kimia yang kian banyak. Juga kebijakan pemerintah di bidang petanian sedikit sekali yang menguntungkan petani. Keberpihakan pemerintah kepada kaum tani sering setengah hati.

Pada sisi lain, jumlah penduduk Indonesia dan Dunia semakin tinggi. Untuk Indonesia saja setiap tahun ada 5 juta bayi yang lahir sehingga kebutuhan pangan setiap tahun pasti meningkat. Dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, sementara laju produksi pangan menurun membuat harga pangan semakin lama semakin mahal.

Dengan kondisi cuaca dan iklim dunia yang bergerak cenderung ekstrim sudah pasti semakin menekan angka produksi pangan dunia. Pakar pangan memprediksi, bahwa dimasa depan ancaman pangan semakin nyata bagi penduduk dunia. Negara produsen pangan pun akan menghadapi ancaman yang sama. Indonesia sendiri sudah menikmati harga pangan yang mahal. Banyak kebutuhan pangan pokok Indonesia justru didapat dengan cara membeli dari negara luar (impor) seperti beras, jagung, kedelai, susu, daging, gandum, gula, bahkan garam.

Alarm ancaman pangan sesungguhnya sudah berbunyi. Terompet sangkakala tanda bahaya sudah ditiup dan sudah didengar oleh penduduk dunia. Karena masalah pangan dunia sudah dikabarkan, maka semua tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut diserahkan kepada masyarakat sendiri. Kelompok Masyarakat atau suatu bangsalah hari ini yang memiliki tugas untuk mengemban tugas keluar dari krisis pangan tersebut.

 

Gerakan Budaya Pangan

Saat Kongres Gafatar di Jakarta tahun 2013, kita mengundang pembicara dari Dep. Pertanian RI memgupas tentang persoalan pangan di Indonesia dan Dunia. Dalam diskusi tersebut, Jelas dikemukakan bahwa Indonesia dan Dunia sedang dan bakal menghadapi acaman pangan serius. Berbagai data pendukung dikemukakan dalam seminar sehari disela kongres tersebut. Pada Kongres I tahun 2013 itu juga Gafatar membuat keputusan penting. Program utama tahun 2013 adalah Program Ketahanan Pangan. Semua warga mesti terlibat serius. 

Dalam kongres dicanangkan 3 Gerakan Budaya Pangan (3G) yaitu Sekali Makan Nasi Sehari (SMS), Rumah Pangan Mandiri (RPM) dan Seratuspersen Pangan Lokal (SPL). Intinya, kita masuk pada gerakan perubahan budaya dalam sektor pangan. Kita mesti mulai dari keluarga, dari budaya dan mempeloporinya.

Sejak itu kehidupan dalam hal pangan kita berubah total. Kami semua hanya makan nasi pada siang hari saja, sementara pada pagi hari dan malam kita makan umbi-umbian dan penganan lainnya. Setiap keluarga langsung menyesuaikan dengan gaya hidup yang baru ini. Mulai dari anak, hingga dewasa tersosialisasi dengan baik. Setiap bulan kemajuannya kita ukur dan saling menyemangati untuk melakukan perubahan dalam sektor pangan.

Sejak 2014 kita mulai ikut mengembangkan tepung ubi/mocaf (modified casava flavour) pengganti terigu. Bahkan gafatar punya pabrik mocaf mini dengan produksi satu hingga dua ton sehari. Untuk mendukung program makan ubi dan umbi kita kuga buat perlombaan pangan dari produksi lokal. Banyak kreasi bunda-bunda yang muncul untuk modifikasi makanan berbahan dasar ubi.

Kami berangan-angan, andailah bangsa Indonesia yang kita cintai ini melakukan gerakan budaya pangan ini, berapa banyak beras yang dapat kita hemat? Pasti kita tak lagi impor beras setiap tahun. Sementara produksi beras kita pasti akan bisa kita simpan di lumbung. Jika dalam jangka 5 tahun saja kita lakukan, pasti kita menjadi negara dengan cadangan pangan terbesar di dunia. 

Jika kita makan dari umbian lokal seperti ubi kayu, kentang, ubi rambat dan lainnya seperti pisang, jagung maka pasti kita akan sehat. Kita akan melepaskan diri kita dari jerat karbo beras saja. Kita pasti bebas dari impor pangan jenis apapun. Pasti semua rumah kita ditumbuhi oleh tanaman pangan, sayur mayur untuk kebutuhan kita sendiri. Ada sedikit kolam ikan yang bisa memenuhi kebutuhan protein kita sendiri. 

Pengalaman punya kolam ikan membuktikan demikian. Di rumah kami yang kecil saya sibuk membuat tatakan untuk tempat polibag. Beragam sayur mayur saya tanam. Saya juga buat kolam ikan lele mungil cukup untuk 200 ekor ikan. Saya tidak membayangkan  sebelumnya bisa melakukan kegiatan ini sebab saya bukan petani sebelumnya. 

Mungkin tetangga saya pada bingung, saya tiba-tiba mulai sibuk dengan sayur mayur dan ikan. Tidak jarang aroma kolam ikan lele di depan rumah yg bersebelahan dg dinding tetangga keluar menyengat. Saya langsung ganti airnya takut tetangga marah. Kami bahkan buat gerakan pangan ini sebagai identitas. Jika dirumahnya tidak ditemukan polibag sayur mayur maka itu bukan kader gafatar. Kami gembira dan semangat menyambut kehidupan baru dibidang pangan ini.

Saya ingat panen lele pertama saya tergolong sukses. Dari 150 ekor anakan yang saya tanam hasilnya selama 2 bulan mencapai 40 kg. Semuanya diambil teman-teman, mereka membelinya. Begitulah seterusnya saya lakukan di kolam kecil itu. Anak-anak pun gembira bisa memberi makan ikan dan bercocok tanam. Hanya saja untuk tanaman saya tergolong belum sukses. Saya hanya berhasil tanam sawi dan kangkung. Untuk bayam sering gagal panen. 

Kegiatan rumah pangan mandiri (RPM) tampak 'sepele' namun jika semua keluarga melakukannya pasti akan menjadi luar biasa. Pasti akan menjadi sesuatu bagi bangsa dan pasti dunia akan terpengaruh. Kami tahu pemerintah sudah melakukannya. Namun dilapangan tampak hanya sebatas program saja. Keberlanjutan pasca program tidak tampak. 

Kebijakan pemerintah banyak yang bagus. Namun keberlanjutannya sering tidak ada. Karena, pelaksana dan kelompok sasaran tak punya mental yang kuat untuk melaksanakannya. Banyak program sebatas program saja. Penanaman nilai-nilai luhur dan karakter tak pernah ada. Kalaupun ada tak pernah berbekas. Ada satu dua yang berhasil namun itu menjadi kasuistik, dan tak punya daya gebrak yang kuat.

Pada gafatar semua dibalik, penguatan mental-spritual lah yang utama. Jika urusan mental sudah kuat maka program apapun akan berjalan dengan baik. Kunci sukses program bukan pada programnya tapi pada nilai-nilai yang dimiliki oleh pelakunya. Kunci utamanya bukan pada bagusnya program tapi pada komitmen manusianya. Manusialah sebagai pusat pembangunan. Pembangunan mental-sprituallah yang mestinya kita lakukan terlebih dahulu.

 

Gotong Royong Sebagai Identitas

Satu gerakan budaya yang menjadi unggulan di gafatar adalah budaya gotong royong. Gafatar ber azas Pancasila. Karakter mereka yang mengaku mengenal Tuhan pasti hidup dengan budaya gotong royong. Budaya gotong royong akan menjadi modal dasar yang sangat luar biasa bagi bangsa kita. Sudah terlalu lama kita tidak menggerakkan budaya gotong royong menjadi gaya hidup ditengah kita. 

Gotong royong hari ini justru semakin redup. Gorong royong ada hanya sebatas program kerja dan seremoni. Masuknya budaya asing yang mengedepankan sifat individu dan persaingan menyingkirkan budaya gotong royong. Ketidak percayaan ditengah masyarakat, sikap egoisme suku dan agama juga mengurangi semangat gotong royong. 

Gotong royong adalah budaya luhur bangsa yang sudah hidup sejak ribuan tahun yang silam. Gotong royong sudah menjadi kekuatan yang luar biasa. Kita bisa membangun tanpa uang dengan jalan gotong rotong. Dengan gotong royong semua pekerjaan berat menjadi mudah. Inti gotong royong adalah cinta sesama seolah saudara kita itu adalah diri kita sendiri. Gotong royong itu tenaga pendorongnya adalah keikhlasan. Energi ikhlas sungguh dahsyat jika kita bisa kembangkan pada manusia Indonesia.

Sejak berdiri, hanya dua program utama gafatar yaitu membangun mental spritual untuk mengabdi kepada Tuhan dan berbuat baik terhadap sesama melalui gotong royong. Program ini disosialisasikan ke seluruh Nusantara. Dalam waktu 2 tahun gafatar sdh memiliki 34 DPD di seluruh Nusantara. Dengan ada di sekuruh provinsi gafatar dapat dengan luas menyampaikan visi dan misinya ke seluruh pelosok tanah air. Budaya gotong royong kita gerakkan selama kurun waktu 3 tahun. 

Dengan gotong royong kami gembira bisa ikut bersama membangun bangsa. Kami datang keberbagai pelosok desa dan sudut kota membersihkan kampung dan desa. Tak perduli jika ada masyarakat yang tak mau ikut, kami terus saja gotong royong. Tidak jarang kami membersihkan parit dan halaman rumah seseorang saat yang punya dengan asyik menyeruput kopi sambil baca koran. Kita juga pernah gotong royong di suatu desa dimana masyarakat desa justru pergi ke luar kota.

Namun disaat gencarnya, gerakan gotong royong digerakkan gafatar justru teman-teman gafatar dipidana di Aceh sebagai aliran sesat, terusir di Papua, Bali dan NTB. Semua bukan menyangkut perbuatan tapi menyangkut keyakinan. Masyarakat marah ada keyakinan aneh dan menyimpang dari agama yang ada yaitu Millah Abraham. Pahamnya menggabungkan atau mengoplos paham tiga agama, percaya ada juru selamat, dan tidak mewajibkan ritual.

 

Sekolah Berbasis Rumah

Sekira tahun 2010-2011 kami menghadiri seminar pendidikan homeschooling di Jakarta. Para pembicaranya adalah pakar dan pelaku homeschooling yang sudah tersohor di tingkat Nasional. Satu diantaranya adalah mantan guru bahkan kepala sekolah, yang kemudian mengundurkan diri dan mendirikan homeschooling secara mandiri. Satu lagi adalah orang tua yang mendidik ke tiga anaknya sendiri di rumah dengan berbagai prestasi gemilang.

Para pembicara berbicara seputar dunia pendidikan di Indonesia dan urgensi homeschooling dalam pendidikan anak di tengah keluarga. Simpulannya, ada yang salah dengan sistem pendidikan kita saat ini. Semakin hari, beban anak-anak ke sekolah kelihatan semakin berat. Kita bisa lihat dari jam pelajaran dan buku yang mesti dia bawa. 

Banyak sekolah menawarkan program terpadu, dengan menambah jam belajar hingga sore hari. Jadi, siang hari anak tak perlu pulang ke rumah, cukup istirahat dan makan siang di sekolah. Dengan menambah jam belajar yang sudah disetting sedemikian rupa harapannya anak-anak akan memiliki ilmu yang cukup sebagai bekal bersaing di dunia kerja. Seolah sederhana dan tampak sesuai logika.

Namun tidak semua anak bisa digiring pada dunia pendidikan yang disetting oleh orang dewasa. Banyak kasus didapati anak kelelahan dan stress saat di sekolah. Bahkan ada yang tak mau sekolah. Harapan dan cita orang tua yang menggebu pada anak kadang melupakan dunia anak yang tak sama dan jelas berbeda dengan mereka. 

Tekanan kehidupan dan suasana persaingan yang semakin kompleks membuat orang tua berfikir sederhana. Orang tua sibuk cari uang banyak masukkan anak pada sekolah favorit yang berbiaya ma

hal. Sudah tertanam pada benak masyarajat, sekolah mahal identik dengan kualitas dan jaminan masa depan anak. Orangkaya berlomba dan bangga masukkan anaknya pada sekolah mahal biaya. 

Dalam penguasaan bidang ilmu pengetahuan tingkat pelajar dunia, Indonesia tergolong negara berkembang dengan prestasi yang membanggakan. Anak-anak sering menjadi jawara dalam berbagai olimpiade mata pelajaran. Dalam dunia kecerdasan intelektual, banyak prestasi spektakuler yang dicapai anak Indonesia. Orang tua semakin antusias mendorong anak masuk sekolah-sekolah dengan prestasi dunia. Anak didik yang berprestasi, tentu saja langsung menjadi bintang iklan sekolah untuk menarik minat pendaftar masuk ke sekolah mereka. Dunia pendidikan dengan bisnis ternyata sejalan dan berkelindan satu dengan yang lain. 

Namun dunia pendidikan tidak hanya menampilkan rupa prestasi pengetahuan saja. Disampingnya, terdapat ruang kosong yang menimbulkan masalah. Dunia pendidikan adalah dunia komunitas yang memiliki tata pergaulan khas anak-anak di dalamnya. Di lembaga pendudikanlah anak-anak memiliki kpmunitasnya masing-masing. Mereka masing-masing membawa orientasi yang ada dalam keluarga mereka masing-masing. Dunia pendidikan menjadi 'kuali' tempat bercampurnya racikan dan asupan masing orang tua.

Meski ada cerita prestasi namun tidak sedikit cerita ketegangan anak di sekolah, mundurnya anak dari sekolah, pergaulan yang menyerempet dewasa, penggunaan gadget yang tidak tidak pada tempatnya, isme kelompok kecil 'ngegenk', strata sosial, 'bully', pemerasan dan sejumlah perilaku buruk lainnya. Ada ruang kosong yang tertinggal dalam setting dunia pendidikan kita. Orientasi dunia pendidikan cenderung bergeser ke arah bisnis pendidikan oriented. Masalah anak tetap saja muncul tak terpecahkan. Lembaga pendidikan ternyata bukan segalanya sebab dia bagian dari setting paradigma global yang lebih luas lagi skalanya.

Para pegiat pendidikan kemudian memunculkan alternatif baru diluar setting pendidikan formal. Para pegiat pendidikan menawarkan sistem homeschooling sebagai alternatif pendidikan bagi anak. Tujuannya, mengurangi beban psikologi anak dengan mengurangi jam belajar anak secara drastis, memperbesar ruang anak bersentuhan dengan alam sekitar, meningkatkan kreatifitas anak dan memperbanyak waktu anak di rumah serta intisarinya memperbesar peran orang tua dalam melakukan pendidikan pada anak.

Dalam seminar tersebut selain bicara kesaksian terhadap sistem pendidikan nasional juga dilakukan sharing pengalaman dari orang tua pelaku homeschooling. Kami semua gembira disuguhkan cerita pengalaman yang luar biasa. Pesannya kuat menghunjam sukma, peran orang tua adalah mutlak dalam membentuk pribadi anak sendiri bukan sekolah.

Tahun 2012 Gafatar sudah mantab memberlakukan homeschooling sebagai media pendidikan anak. Gafatar memunculkan program Mencetak Generasi Unggulan melalui homeschooling. Agar lebih berotot, sebutan homeschooling kemudian kita ganti menjadi Sekolah Berbasis Rumah (SBR). Kalau Kak Seto mampu buat homeschooling kita pasti mampu buat SBR begitu semangat kami. Semua DPD (34 Provinsi) serentak bergerak mensukseskan SBR. 

Awalnya pasti tidak mudah buat SBR. menarik anak keluar dari sekolah formal menjadi pengalaman baru. Apalagi jika anak berprestasi, mengeluarkannya dari sekolah menjadi pertanyaan besar dari pihak sekolah. Apalagi pilihan sekolahnya SBR, walah...semakin sulit menjawabnya. Belum lagi menghadapi pandangan sinis tetangga yang tak biasa mengenal sekolah di rumah.

Namun tekad yang luhur tidak membuat kendur. Awalnya keterbatasan semuanya (tenaga fasilitator, buku ajar, media, ruangan, manajemen, dana) membuat kita tertatih. Namun kita kembalikan pada niat awalnya, yaitu menjadikan rumah sebagai sekolah dan menjadikab orang tua sebagai guru teladan bagi anaknya. Intinya pada orang tua. Sebab yang mau kita bangun rumah kita sendiri sebagai sekolahnya. 

Kitapun akhirnya tidak lagi membebankan pada sekolah di luar rumah. Meski ruangan tempat sekolah bersama tetap ada (umumnya di kantor/sekretariat masing-masing) namun itu bukan yang utama. Fokus menjadikan rumah sebagai sekolahlah tujuan kita sesungguhnya.

Dengan SBR kita baru sadar, bahwa selama sebagai orang tua ternyata kita sedikit sekali meluangkan waktu mengajar anak dan menemaninya belajar. Sudah biasa jika setiap orang tua hanya sibuk cari makan dari pagi hingga sore untuk keluarga. Kita percaya cukuplah guru di sekolah yang mengajar anak kita. Kita percaya sepenuhnya institusi pendidikan bebas dari rekayasa dan motif lainnya.

Fokus SBR ada dua yaitu mendidik atau membekali orang tua dan membangun mental spritual anak-anak.  Kegiatan tersulit tentu saja mengajar orang tua (parenting class). Umumnya orang tua tidak terbiasa dan punya talenta untuk membimbing anak, menjadi guru di rumah. Orang tua kebanyakan mengandalkan uang saja dan seenaknya 'melemparkan' tanggung jawab ke pihak sekolah. Dengan harta seolah semua yang dia harapkan kepada anak dapat terwujud. 

Seminggu sedikitnya dua kali kelas untuk orang tua. Kami menekankan tanggung jawab yang paling utama bagi orang tua adalah menjadi teladan bagi keluarga terutama bagi anaknya. Kita butuh orang tua sejati yang mampu menjadi guru dan menurunkan karakter manusia unggulan bagi anaknya. Tujuannya agar anak kita memiliki karakter jujur, berani, tegas, adil, cakap, integritas, bijaksana, cerdas dan sehat. 

Alasan utama SBR adalah menjadikan anak memiliki karakter yang mulia, menjadi generasi unggulan. Anak SBR begitu kami sebut, pasti tidak merokok, tidak kenal pacaran, tidak malam mingguan, tidak lihat film atau situs porno, tidak melanggar lampu merah, berbudi luhur dan tidak berbuat kerusakan. Sebaliknya anak SBR memiliki karakter jujur, berani, tegas, adil, cakap, integritas, bijaksana, cerdas dan sehat. 

Dengan SBR kita fokus pada pembinaan mental-spritual tidak pada ilmu pengetahuan. Kita sadari di SBR kita kesulitan untuk mengajar ilmu-ilmu terapan. Keterbatasan guru atau tenaga fasilitator menyebabkab ilmu-ilmu eksakta sulit untuk diajarkan. Dengan kata lain, pelajaran eksakta akan sedikit tertinggal sementara pembinaan mental-spritual pasti lebih unggul dibanding sekolah lainnya di dunia. Intinya kami ingin membangun pondasi mental-spritual sekokoh mungkin. Mental yang kokoh akan mampu menampung beban apapun yang ada diatasnya termasuk Ilmu Pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan itu berada diatas pondasi Mental Spritual. Ilmu pengetahuan dikendalikan oleh nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Orang pintar- berakhlak mulia itulah generasi unggulan calon pimpinan masa depan bangsa yang hendak kita kita lahirkan. Dengan SBR kami ingin wujudkan manusia-manusia kesatria kesuma bangsa. Manusia yang sanggup berkorban harta dan dirinya untuk membangun bangsa dan tanah air.

 

Millah Abraham

Dari pilihan bahasa, Millah Abraham berasal dari dua bahasa yang berbeda. Millah dari ejaan Arab sedang Abraham dari ejaan Ibrani. Abraham dengan Ibrahim adalah orang yang sama. Sebutan Abraham tentu lebih tua dibandingkan dengan sebutan Ibrahim. 

Di Indonesia urusan semantik, bunyi-bunyian bisa menimbulkan masalah. Panggilan Abraham umumnya digunakan oleh pemeluk agama Nasrani, sedangkan Islam menggunakan panggilan Ibrahim. Orang yang menggunakan panggilan Abraham bisa langsung divonis Nasrani sebaliknya yang menggunakan panggilan Ibrahim pasti Muslim. Jadi kalau ada nama seorang muslim Abraham Samad itu bagi sebahagian orang kedengaran aneh.

Lebih lagi tulisan Allah, meski keduanya pemeluk Islam dan Nasrani sama menuliskannya dan memaknainya sebagai Tuhan namun dari sisi pengucapan berbeda. Orang Nasrani mengucapkan sesuai dengan ucapan biasa, sementara yang Muslim mengucapkan berbeda seolah tulisannya seperti Awloh atau Owloh atau Auwloh. Sebutan Auwloh dari yang Muslim dipengaruhi oleh dialek Arab.

Dari ucapan yang berbeda masing-masing menjadi penanda apa yang menjadi keyakinannya. Perbedaan ucapan menjadi tidak sederhana. Perbedaan ucapan menjadi jurang pemisah karena dijadikan dasar untuk menggolongkan teman atau lawan. Semakin kuat kesadaran beragama maka semakin jelas perbedaan. Perbedaan, bahkan sudah dibentuk sejak masa kanak-kanak. Banyaknya sekolah berbasis agama tidak hanya menumbuhkan kesadaran beragama tapi juga kesadaran berbeda.

Dalam pergaulan umum, bahkan tidak jarang lawan bicara kita mesti bertanya lebih dahulu kepada kita...apakah kita jumatan atau mingguan. Orang merasa nyaman bicara dengan sesama jumatan atau sesama mingguan. Perlahan tapi pasti eksklusivisme kelompok mengental.

Saya sendiri sebelumnya tergolong Muslim tradisionil. Berfikir sektarian dengan menjunjung tinggi kebenaran kelompok. Saya bersyukur sejak mahasiswa sudah terbiasa bergaul dengan lingkungan yang terbuka. Meski bergaul dengan kalangan yang berbeda, urusan keyakinan tetap saja monolitik. Pandangan keagamaan saya tetap hitam putih. Sayapun tak tertarik untuk menelisik lebih jauh keyakinan orang lain apalagi sampai mempelajari kitab sucinya. Sudah kuat tertanam prinsip bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Saya bersyukur selama di gafatar, urusan semantik, beda ejaan, beda bunyian, beda agama, beda suku, beda kitab suci, beda nabi, beda pemahaman bisa di selesaikan. Kita tidak lagi persoalkan hal-hal artifisial yang jauh dari nilai substansial. Kita keluar dari jebakan perbedaan yang selalu tampak menjadi penyebab konflik dan ketegangan. Paku doktrinal sektarian yang sudah menancap kuat perlahan mulai kendur dan ter- lepas.

Hasilnya, kita diperkenalkan dunia baru universal, kebenaran universal, kebenaran sejati yang berlaku bagi semua ummat manusia. Kami masuk dunia baru, dengan pandangan yang lebih terbuka, melintasi sekat agama, suku, warna kulit, ataupun kelompok. Kami sadar, semua kita bersaudara, semua ingin kehidupan fitrah, kehidupan damai sejahtera.

Kami mempelajari semua kitab-Nya yang memang memancarkan kebenaran paripurna. Tak tampak sedikitpun ada perbedaan disana, semua saling memperkuat satu sama lain. Memang demikianlah semua pembawa risalah, mereka hanyalah hamba Tuhan yang hanya tunduk patuh untuk menjalankan semua perintahnya. Mereka datang tidak dengan misi pribadi apalagi sampai menasbihkan diri yang terbaik dan paling sempurna. Mereka datang dan muncul hanyalah merupakan estafeta saja. Sudah alamiah, hukum alam berlaku, berkat dan kutuk selalu datang bergantian, bergiliran seperti bergantinya malam dan siang.

Sudah sejatinya, Bahasa Tuhan sesungguhnya adalah bahasa universal yang diturunkan kepada semua ummat manusia. Tuhan tidak memiliki bahasa tertentu, ejaan tertentu, ucapan tertentu atau bunyian tertentu. Tuhan datang tidak untuk bangsa tertentu. Tuhan datang tidak untuk kelompok atau kaum tertentu. Bahkan Tuhan tidak mungkin diidentikkan pada agama tertentu. 

Tuhan ada untuk semua ummat manusia, untuk semua mahluknya. Tuhan ada untuk memberi rahmat dan berkat bagi semua manusia. Tuhan ada untuk menjadi solusi, jalan keluar dari persoalan yang menimpa ummat manusia. Tuhan ada sudah tentu bukan untuk menambah masalah manusia bukan untuk menimbulkan peperangan antar manusia. Tuhan ada bukan untuk menggelorakan perangsuci atas namanya.

Tuhan ada bukan berdasarkan persepsi yang ada di dalam kepala manusia. Tuhan ada bukan Berdasarkan persepsi yang sudah dibentuk sesuai kepentingan tertentu. Tuhan yang Maha Besar ada tidak untuk menyelesaikan urusan kelompok kecil saja. Tuhan yang Maha Adil tidak hanya memberi keadilan kepada satu kelompok saja.

Jelaslah sebabnya Tuhan berbahasa universal bukan berbahasa sektarian. Bahasa Tuhan yang universal itulah yang digunakan semua pembawa misi risalahnya. Dengan bahasa universallah Tuhan memberi pemahaman kepada semua ummat manusia. Bahasa universal adalah hukum universal, hukum yang berlaku pada semua mahluk Tuhan. Hukum alam tidak hanya terjadi pada alam semesta raya saja tapi juga berlaku pada alam manusia (alam insan). Tidak hanya siang saja yang berganti malam, peradaban manusia juga silih berganti.

Misi universalitas itulah yang menjadi misi hakiki Abraham/Ibrahim. Selaku abdi Tuhan Abraham datang untuk menyampaikan misi risalah kepada semua anak cucunya. Abraham menyampaikan kebenaran universal. Abraham menyampaikan solusi bagi menyelesaikan masalah ummat manusia. Abraham menyampaikan konsep kebenaran, Jalan Kebenaran, Paham Kebenaran Sejati. Abraham menyampaikan pesan kudus kepada semua anak cucunya. Pesan yang akan menjadikan manusia kembali kepada kehidupan fitrahnya, pesan peradaban! Pesan yang berisi perintah Tuhan, agar manusia siapapun itu tidak menyekutukan Tuhan, jangan ada Tuhan lain selain Tuhan Semesta Alam, jangan mencuri, jangan berzina, jangan membunuh, jangan berdusta, serta berbudi pekerti luhur dan tidak berbuat zalim kepada sesamanya. Itulah pengertian Millah Abraham, itulah Jalan Abraham, itulah Konsep Abraham, itulah Konsep Jalan Kebenaran Sejati sebagai solusi bagi ummat manusia.

Hanya dengan kembali kepada konsep yang dibawa Abraham semua masalah yang melanda dunia dapat terpecahkan. Abraham membawa konsep keselamatan dimana keselamatan ummat manusia di muka bumi ini hanyalah terwujud dengan melaksanakan perintah Tuhan. Sebab manusia sudah asyik dan sibuk dengan dirinya sendiri. Manusia mempertuhankan dirinya sendiri.

Sederhananya, benang merah antara satu nabi dengan nabi lainnya ada pada visi misinya yaitu untuk mentegakkan hukum atau perintah Tuhan. Pada setiap kedatangannya, manusia tak lagi paham perintah Tuhan, sudah tidak lagi diketahui apalagi dijalankan. Jadi nabi dan rasul hanya datang pada saat yang tepat yaitu pada saat kondisi ummat manusia berada dalam situasi dan kondisi kerusakan. 

Dengan kata lain, sesungguhnya kedatangan setiap utusan Tuhan adalah bukti kecintaan Tuhan kepada ummat manusia. Pada saat manusia berada dalam kegelapan, nabi dan rasullah yang menjadi juru penerangnya, juru selamat. Nabi dan Rasul datang dengan membawa petunjuk agar manusia kembali kepada jalan kebenaran sejati. Manusia tidak lagi menggunakan jalan (konsep) berdasarkan nafsunya saja, berdasarkan akal fikirnya semata.

 

Penutup

Demikianlah kesaksian ini kami sampaikan. Kami tuliskan disela-sela penantian yang panjang kapan kami dipulangkan. Kami tuliskan dari kamp penampungan sebagai aktifitas mengusir kejenuhan. Kami tuliskan sebagai upaya memberi saksi atas perjalanan yang sedang kami tempuh.

Hari-hari 'terpenjara' selama dipenampungan coba kami bunuh dengan berbagai aktifitas. Kami senam rutin, aksi kebersihan rutin, dan membuat sekolah rutin. Namun semua itu tetap tidak mampu mengobati luka 'kerja". Kami butuh kerja, kerja peradaban bukan kerja yang menghasilkan uang untuk kami makan. Sebagai manusia tugas kita tidak akan selesai sebelum mentari bersinar ditengah bangsa ini. 

Kita bukan bahagian dari mereka yang diprogram hanya untuk mereguk kenikmatan dunia. Kita semua ada untuk memikul beban yang ada ditengah kita sebagai bentuk kecintaan kita terhadap sesama. Lebih mulia hidup ditengah lautan cacian namun bekerja sesuai dengan kehendak Tuhan. Daripada hidup dengan sejuta pujian tapi bertindak sebatas syahwat duniawi. Tak masalah vonis sesat dari manusia, sebab hanya Tuhanlah hakim yang sesungguhnya. Tak masalah Mereka telah mengusir, merepresi fisik dan psikis, semua itu kami terima, sebab kami tahu alam mencatatnya. Cukuplah alam semesta yang mencatat dan mengganjar perbuatan yang diperbuat manusia.

Dibalik itu semua. Kami hanya mampu berharap kepada Tuan Semesta Alam. Semoga Tuhan Menolong Kita Semua.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun