Mohon tunggu...
Mahameru
Mahameru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar dan 'Orang Bodoh'  yang Mengikutinya

14 Februari 2016   17:55 Diperbarui: 14 Februari 2016   18:44 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namun tidak semua anak bisa digiring pada dunia pendidikan yang disetting oleh orang dewasa. Banyak kasus didapati anak kelelahan dan stress saat di sekolah. Bahkan ada yang tak mau sekolah. Harapan dan cita orang tua yang menggebu pada anak kadang melupakan dunia anak yang tak sama dan jelas berbeda dengan mereka. 

Tekanan kehidupan dan suasana persaingan yang semakin kompleks membuat orang tua berfikir sederhana. Orang tua sibuk cari uang banyak masukkan anak pada sekolah favorit yang berbiaya ma

hal. Sudah tertanam pada benak masyarajat, sekolah mahal identik dengan kualitas dan jaminan masa depan anak. Orangkaya berlomba dan bangga masukkan anaknya pada sekolah mahal biaya. 

Dalam penguasaan bidang ilmu pengetahuan tingkat pelajar dunia, Indonesia tergolong negara berkembang dengan prestasi yang membanggakan. Anak-anak sering menjadi jawara dalam berbagai olimpiade mata pelajaran. Dalam dunia kecerdasan intelektual, banyak prestasi spektakuler yang dicapai anak Indonesia. Orang tua semakin antusias mendorong anak masuk sekolah-sekolah dengan prestasi dunia. Anak didik yang berprestasi, tentu saja langsung menjadi bintang iklan sekolah untuk menarik minat pendaftar masuk ke sekolah mereka. Dunia pendidikan dengan bisnis ternyata sejalan dan berkelindan satu dengan yang lain. 

Namun dunia pendidikan tidak hanya menampilkan rupa prestasi pengetahuan saja. Disampingnya, terdapat ruang kosong yang menimbulkan masalah. Dunia pendidikan adalah dunia komunitas yang memiliki tata pergaulan khas anak-anak di dalamnya. Di lembaga pendudikanlah anak-anak memiliki kpmunitasnya masing-masing. Mereka masing-masing membawa orientasi yang ada dalam keluarga mereka masing-masing. Dunia pendidikan menjadi 'kuali' tempat bercampurnya racikan dan asupan masing orang tua.

Meski ada cerita prestasi namun tidak sedikit cerita ketegangan anak di sekolah, mundurnya anak dari sekolah, pergaulan yang menyerempet dewasa, penggunaan gadget yang tidak tidak pada tempatnya, isme kelompok kecil 'ngegenk', strata sosial, 'bully', pemerasan dan sejumlah perilaku buruk lainnya. Ada ruang kosong yang tertinggal dalam setting dunia pendidikan kita. Orientasi dunia pendidikan cenderung bergeser ke arah bisnis pendidikan oriented. Masalah anak tetap saja muncul tak terpecahkan. Lembaga pendidikan ternyata bukan segalanya sebab dia bagian dari setting paradigma global yang lebih luas lagi skalanya.

Para pegiat pendidikan kemudian memunculkan alternatif baru diluar setting pendidikan formal. Para pegiat pendidikan menawarkan sistem homeschooling sebagai alternatif pendidikan bagi anak. Tujuannya, mengurangi beban psikologi anak dengan mengurangi jam belajar anak secara drastis, memperbesar ruang anak bersentuhan dengan alam sekitar, meningkatkan kreatifitas anak dan memperbanyak waktu anak di rumah serta intisarinya memperbesar peran orang tua dalam melakukan pendidikan pada anak.

Dalam seminar tersebut selain bicara kesaksian terhadap sistem pendidikan nasional juga dilakukan sharing pengalaman dari orang tua pelaku homeschooling. Kami semua gembira disuguhkan cerita pengalaman yang luar biasa. Pesannya kuat menghunjam sukma, peran orang tua adalah mutlak dalam membentuk pribadi anak sendiri bukan sekolah.

Tahun 2012 Gafatar sudah mantab memberlakukan homeschooling sebagai media pendidikan anak. Gafatar memunculkan program Mencetak Generasi Unggulan melalui homeschooling. Agar lebih berotot, sebutan homeschooling kemudian kita ganti menjadi Sekolah Berbasis Rumah (SBR). Kalau Kak Seto mampu buat homeschooling kita pasti mampu buat SBR begitu semangat kami. Semua DPD (34 Provinsi) serentak bergerak mensukseskan SBR. 

Awalnya pasti tidak mudah buat SBR. menarik anak keluar dari sekolah formal menjadi pengalaman baru. Apalagi jika anak berprestasi, mengeluarkannya dari sekolah menjadi pertanyaan besar dari pihak sekolah. Apalagi pilihan sekolahnya SBR, walah...semakin sulit menjawabnya. Belum lagi menghadapi pandangan sinis tetangga yang tak biasa mengenal sekolah di rumah.

Namun tekad yang luhur tidak membuat kendur. Awalnya keterbatasan semuanya (tenaga fasilitator, buku ajar, media, ruangan, manajemen, dana) membuat kita tertatih. Namun kita kembalikan pada niat awalnya, yaitu menjadikan rumah sebagai sekolah dan menjadikab orang tua sebagai guru teladan bagi anaknya. Intinya pada orang tua. Sebab yang mau kita bangun rumah kita sendiri sebagai sekolahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun