Mohon tunggu...
Mahameru
Mahameru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar dan 'Orang Bodoh'  yang Mengikutinya

14 Februari 2016   17:55 Diperbarui: 14 Februari 2016   18:44 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam berbagai kesempatan, situasi inilah yang selalu kami sampaikan. Kami menyerukan kepada berbagai lapisan masyarakat bahwa 'bahaya" sudah dekat, saatnya kita bertobat dan kembali kepada jalan Tuhan. Kami seperti kembali ke jaman lampau, teringat yang dilakukan Socrates di kampung-kampung Yunani, masuk dan keluar kampung memberi peringatan kepada masyarakat. Sayangnya masyarakat kadung picik dan buta, Socrates kemudian dihukum mati.

Kenyataannya, tidak ada satupun pemuka masyarakat yang menyanggah bahwa hari ini kondisi sudah rusak parah. Hampir semua desa menyampaikan ancaman bahaya sudah masuk ke desa mereka. Ancaman narkoba dan pergaulan bebas serta laju kriminal semakin meningkat. Seorang Walikota dalam satu kesempatan donor darah bersama kita mengatakan untuk menghancurkan 1 kota cukup dengan 1 kg sabu-sabu saja. 

Alarm bahaya sudah berbunyi dari desa-desa. Masyarakat desa sudah tahu benar dan tidak sedikit yang panik dengan situasi ini. Para Ibu merasa bahwa mereka seolah sedang memelihara  calon-calon pengguna narkoba.

Masalah Tanpa Solusi

Masalah sosial di desa dan di kota tak dapat dicegah. Masalah sosial adalah buah dari peradaban dunia. Siapa yang menabur benih dia akan memetik buahnya. Sudah diprediksi sebelumnya, paham kebebesan/ liberalisme, individualisme, dan kompetisi yang ditanam hari ini berbuah lebat. Buahnya itu yang sedang dinikmati oleh masyarakat desa hari ini. Dunia dikontrol dibawah keyakinan liberalisme, individualisme dan kompetisi. Paham yang lain tak dibenarkan tumbuh.

Masalah di desa dan di kota yang terus tumbuh tak juga kunjung solusi. Masyarakat tak tau lagi jalan keluar dari masalah ini. Semua cara sudah dicoba, dari yang berdasarkan cara agama ataupun berdasar cara adat, hasilnya sama saja. Masalah sosial semakin besar. Setiap solusi seperti menyiram bensin ke dalam api, masalahnya seperti nyala api semakin besar.

Tak terbayang trilyunan investasi proyek peningkatan SDM dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Tak terbayang berapa uang untuk proyek penanaman pilar kebangsaan. Tak terbayang uang yang telah digelontorkan masyarakat untuk mensucikan diri. Tak terbayang bagaimana slogan 'revolusi mental' dipertaruhkan untuk memenangkan Jokowi. Ternyata, semua proyek tersebut hanyalah kategori 'bensin' yang semakin menyulut api permasalahan. Semakin dilakukan semakin besar masalahnya.

Indonesia telah menjadi sarang narkoba. Pergaulan dan seks bebas ditengah remaja menjadi biasa. Kriminalitas/ kejahatan manusia semakin lama semakin berkembang. Abad informasi, internet dan teknologi canggih identik dengan pornografi dan kejahatan dunia maya. Para pemimpin hanya mengejar kekuasaan belaka. Kolusi, korupsi dan persekongkolan jahat semakin canggih. Krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin semakin luas. Pakar menyimpulkan situasi inilah yang disebut krisis multidimensi. Krisis yang meliputi dimensi ideologi, politik, sosial, budaya dan hankam.

Tak Terbayang

Secara pribadi tak pernah saya membayangkan akan terlibat gerakan seperti ini. Meski selama ini aktif di pergerakan ikut di berbagai forum, namun terasa benar ada jurang beda yang sangat dalam. Jika di LSM/NGO kita bergerak berdasar motif atau isu tertentu dan kepentingan pragmatis. Dalam perjalanan ini, kita diajak sepenuhnya untuk mengenal Tuhan dan kehendaknya bagi ummat manusia. Merendahkan akal pikir kita dihadapan Tuhan adalah hal yang utama. Bukan akal pikir yang berkuasa tapi yang berkuasa atas lita hanyalah Dia yang maha segalanya.

Dalam perjalanan ini beda, sepenuhnya kita yakin bahwa kita sedang melakukan perintah Tuhan. Tuhan yang ada di depan menuntun kita. Tak perlu berfikir perdiem dan upah, kitalah yang menanggung semua biayanya. Jika masih berharap upah, kita pasti akan gagal mengikuti-Nya. Tidak usah berharap perubahan jika kita tidak memiliki jiwa ikhlas dan rela berkorban harta dan jiwa. Tidak ada orang yang mau berbelas kasihan kepada kita sebab mereka tak mengenal kita. Tuhan itu ada karena kita, dan Tuhan besar karena kita. Kita sendiri yang mengecilkan dan meniadakan Tuhan dalam hidup kita. Kalau kita merelakan semua harta dan jiwa kita kepada Tuhan maka Tuhan tentu saja besar dan berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun