Mohon tunggu...
Mahameru
Mahameru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar dan 'Orang Bodoh'  yang Mengikutinya

14 Februari 2016   17:55 Diperbarui: 14 Februari 2016   18:44 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa PNS, Pengusaha, Pedagang jadi petani? Ini bukan petani biasa, pasti ada sesuatu dibaliknya! Demikian suara sumbang menggema di media. 

Memutuskan menjadi petani, dengan meninggalkan kehidupan yang sudah mapan, sungguh aneh. Apalagi disaat banyak petani kehilangan tanahnya dan beralih pekerjaan pada bidang yang lain. Menjadi petani di Indonesia bisa dikatakan sebagai pilihan terakhir. Sebahagian besar petani hanya menikmati pendapatan yang kecil saja. Umumnya petani dihadapkan dengan masalah pupuk yang tinggi, lahan sempit, cuaca, harga gabah yang rendah serta biaya kehidupan yang cenderung meningkat. Banyak petani justru menggadaikan atau menjual atau bahkan menjual lahannya untuk menutupi kebutuhan tertentu. 

Selain itu, produksi pertanian semakin menurun disebabkan penggunaan pupuk kimia yang kian banyak. Juga kebijakan pemerintah di bidang petanian sedikit sekali yang menguntungkan petani. Keberpihakan pemerintah kepada kaum tani sering setengah hati.

Pada sisi lain, jumlah penduduk Indonesia dan Dunia semakin tinggi. Untuk Indonesia saja setiap tahun ada 5 juta bayi yang lahir sehingga kebutuhan pangan setiap tahun pasti meningkat. Dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, sementara laju produksi pangan menurun membuat harga pangan semakin lama semakin mahal.

Dengan kondisi cuaca dan iklim dunia yang bergerak cenderung ekstrim sudah pasti semakin menekan angka produksi pangan dunia. Pakar pangan memprediksi, bahwa dimasa depan ancaman pangan semakin nyata bagi penduduk dunia. Negara produsen pangan pun akan menghadapi ancaman yang sama. Indonesia sendiri sudah menikmati harga pangan yang mahal. Banyak kebutuhan pangan pokok Indonesia justru didapat dengan cara membeli dari negara luar (impor) seperti beras, jagung, kedelai, susu, daging, gandum, gula, bahkan garam.

Alarm ancaman pangan sesungguhnya sudah berbunyi. Terompet sangkakala tanda bahaya sudah ditiup dan sudah didengar oleh penduduk dunia. Karena masalah pangan dunia sudah dikabarkan, maka semua tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut diserahkan kepada masyarakat sendiri. Kelompok Masyarakat atau suatu bangsalah hari ini yang memiliki tugas untuk mengemban tugas keluar dari krisis pangan tersebut.

 

Gerakan Budaya Pangan

Saat Kongres Gafatar di Jakarta tahun 2013, kita mengundang pembicara dari Dep. Pertanian RI memgupas tentang persoalan pangan di Indonesia dan Dunia. Dalam diskusi tersebut, Jelas dikemukakan bahwa Indonesia dan Dunia sedang dan bakal menghadapi acaman pangan serius. Berbagai data pendukung dikemukakan dalam seminar sehari disela kongres tersebut. Pada Kongres I tahun 2013 itu juga Gafatar membuat keputusan penting. Program utama tahun 2013 adalah Program Ketahanan Pangan. Semua warga mesti terlibat serius. 

Dalam kongres dicanangkan 3 Gerakan Budaya Pangan (3G) yaitu Sekali Makan Nasi Sehari (SMS), Rumah Pangan Mandiri (RPM) dan Seratuspersen Pangan Lokal (SPL). Intinya, kita masuk pada gerakan perubahan budaya dalam sektor pangan. Kita mesti mulai dari keluarga, dari budaya dan mempeloporinya.

Sejak itu kehidupan dalam hal pangan kita berubah total. Kami semua hanya makan nasi pada siang hari saja, sementara pada pagi hari dan malam kita makan umbi-umbian dan penganan lainnya. Setiap keluarga langsung menyesuaikan dengan gaya hidup yang baru ini. Mulai dari anak, hingga dewasa tersosialisasi dengan baik. Setiap bulan kemajuannya kita ukur dan saling menyemangati untuk melakukan perubahan dalam sektor pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun