Mohon tunggu...
Mahameru
Mahameru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar dan 'Orang Bodoh'  yang Mengikutinya

14 Februari 2016   17:55 Diperbarui: 14 Februari 2016   18:44 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada satupun anggota gafatar yang berbuat buruk, itu sumpah kita. Hal yang paling kecil kalau masih merokok, tidak pakai helm, menerobos lampu merah pasti bukan anggota gafatar. Perilaku seperti itu bisa dibuktikan di lapangan. Perokok beratpun pasti berhenti jika menjadi anggota Gafatar. Perbuatan mulia yang lain tentu saja masih banyak yang kita perbuat.

Fase Membangun Mental

"Sapu kotor tak bisa membersihkan lantai yang kotor", ini hukum yang selalu kita pegang. Saya senang dengan hukum sosial seperti ini. Konsekuensinya, jika kita mengajak orang berbuat kebaikan seperti tidak mencuri, tidak membunuh, tidak berzinah, tidak berdusta dan berbudi pekerti luhur serta tidak berbuat zalim terhadap sesama manusia maka prinsipnya, kita dulu yang melakukannya. Kita dulu yang bersih baru kita mengajak orang lain. Orang kotor (munafik) tak kan bisa buat perubahan, itu hukum alam.

Untuk membersihkan jiwa-jiwa yang kotor maka dibutuhkan waktu. Untuk merdeka kita butuh waktu mempersiapkannya. Tidak bisa tiba-tiba kita merdeka dan tiba-tiba bersih. Ada periode atau fase pembersihan. Menurut saya, adanya fase-fase dalam pembangunan suatu bangsa itulah yang rasionil.

Saya ingat benar, rezim orba melakukan tahapan-tahapan dalam pembangunan bangsa melalui repelita. Ada tahap pembangunan SDM, pembangunan ekonomi, tinggal landas, dan zaman modern. Saya tahu itu diadopsi dari pikiran Rostow Ilmuwan Pembangunan Modern. Tak ada yang salah. Namun sayang, tahapan itu tak pernah terjadi. Setelah 30 tahun orba berkuasa kita justru jatuh. Kita kembali kebelakang. Kerugiannya besar sekali. Kita seolah kembali dari nol lagi. 

Pasca orba, kita tak tahu ada fase pembangunan lagi atau tidak. Benar ada rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang, namun semua itu klise hanya programatik belaka. Selalu kepentingan pribadi dan kelompok dengan mudah mengalahkan kepentingan nasional. Rencana jangka panjang bangsa berubah karena kepentingan partai. Bahkan, kadang tak penting juga ada rencana pembangunan.

Buktinya, banyak kepala daerah tak membuat visi misinya sendiri. Mereka juga sering lupa garis sambungnya dengan program nasional. Semua diserahkan pada pihak ketiga. Umumnya kepala daerah tak menulis programnya sendiri. Ada perguruan tinggi yang bisa membuatkan visi misi dan programnya. Semua sudah maklum, banyak uang yang berbicara.

Saat ini kita masuk era Presiden Jokowi dengan slogannya yang spektakuler revolusi mental. Kita senang ada Presiden yang tahu benar bahwa saat ini bangsa Indonesia dilanda penyakit cacat mental yang parah. Indikator cacat mental memang menunjukkan fakta yang nyata. Lihat saja sejumlah masalah ideologi, politik, sosial, budaya, yang muncul belakangan. Sudah terjadi kerusakan mental dimana-mana.

Kita gembira, ada Presiden terpilih akan memimpin bangsa ini untuk kembali kepada nilai luhur budaya bangsa sebagaimana yang termaktub dalam pancasila. Pancasila sudah ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja. Kita bahkan tak mengakui pancasila sebagai dasar falsafah negara, sumber segala sumber hukum. Buktinya, banyak undang-undang lahir justru bertentangan dengan pancasila. Baik undang-undang dibidang air, pertanian, investasi, perdagangan bebas, perbankan dan lainnya. Kita melanggengkan nilai individual dan liberal serta persaingan hidup menggantikan nilai pancasila.

Namun, sampai saat ini kita belum tau kapan program revolusi mental itu dilakukan? Kita tidak tahu tahun keberapa masa pemerintahan ini dilakukan pelaksanaannya. Kita tidak melihat ada gerakan budaya yang dilakukan secara massif. Tidak ada gerakan kembali kepada nilai-nilai ketuhanan yang maha esa.

Belum saja berjalan programnya, kita sudah dikejutkan adanya ganjalan psikologi yang dialami Jokowi. Dalam satu krsempatan Ibu Mega sebagai ketua partainya sendiri mengatakan Jokowi adalah petugas partai. Partai menginginkan agar Presiden ingat bahwa dia berada di bawah partai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun