Mohon tunggu...
Mahameru
Mahameru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar dan 'Orang Bodoh'  yang Mengikutinya

14 Februari 2016   17:55 Diperbarui: 14 Februari 2016   18:44 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan Tak Sederhana

Sebagai mantan aktifis, aktifis sosial, perjalanan dalam lintasan garis massa ternyata ada batasnya. Semua aktifis berpisah karena sibuk mencari kerja. Cita dan harapan yang pernah kami bawa pupus ditelan waktu. Kami berhenti, seperti pohon yang layu sebelum berkembang. Hidup realistik, butuh makan, butuh pekerjaan dan butuh berkeluarga juga. 

Sebagai aktifis mahasiswa banyak pelajaran yang kami temukan. Kami dibentuk oleh suasana dan waktu. Jiwa menggelora menuntut idealisme yang tak sama dengan realita. Kami tersulut karena ketidak adilan, penindasan yang terjadi pada masa orba. Emosi membara, kala penguasa semakin tuli dan buta. Kami teriak, butuh perubahan sekarang juga!

Jalanan seperti senjata mematikan yang bisa digunakan. Di jalan lah kami lampiaskan semua yang kami inginkan. Namun, semua ada batasnya. Dibalik tuntutan, ada penguasa, ada tentara, ada politisi yang menghadang. Tak mudah mentegakkan perubahan. Hari ini kami sadari semua itu hanya nostalgia tinggal kenangan semata.

Pasca aktifis ria, semua aktifis terbelah dihadapkan realita. Semua memilih jalannya sendiri sesuai kepentingan masing-masing. Perut lapar, butuh kerja, tak mungkin di jalanan terus. Tak ada yang dapat mencegah, tak ada ideologi yang memaksa kami terus bersama.

Saat masih menjadi pegiat sosial, sepulang dari Jakarta saya bertemu seorang teman, bercerita tentang paradigma baru yang berbeda. Daripada masuk surga sendirian mending ajak teman yang lain, demikian kata pertama yang saya dengar begitu menggoda. Saya putuskan saya ikut ajakannya. Kalau sekedar diskusi kan sudah biasa. Memang kita suka diskusi jadi senang saja diundang.

Namun, perlahan tapi pasti kenyataan lain berbicara. Pikiran saya yang keras seperti batu pecah, semua rumus yang pernah saya tumpahkan dijalanan perlahan tampak percuma. Ternyata ada konsep lain untuk membaca situasi yang ada. Dibutuhkan kacamata lain, sudut pandang lain, dimensi lain untuk membaca alam semesta. 

Sebagai orang beragama saya ingat perintah untuk membaca seperti ini. Baru ini saya paham cara membacanya. Saya semakin 'syor' saja dengan cara pandang yang baru ini. Saya setuju tak mudah bangun bangsa, tidak sesederhana sebelumnya. 

Dibutuhkan kesejatian dalam melakukan perubahan. Dibutuhkan contoh, dibutuhkan keteladanan dalam berbuat, tak bisa sekedar kata-kata dan ajakan semata. Semua yang ada dalam kepala serasa tumpah, saya bertanya, harus seperti inikah membangun bangsa? Mengapa tidak bisa sambilan saja? Mengapa tidak ikut partai dan pilkada saja? 

Orang bilang ada 'cuci otak' dalam Gafatar. Saya tidak menampik tuduhan itu. Dalam hal yang positif benar, terjadi pencucian otak bagi mereka yang hendak bergabung. Dari otak yang sebelumnya kotor menjadi otak yang bersih. Otak yang kotor adalah otak yang selalu berfikir mencari untung, mencari kesenangan dunia, mencari jabatan dan kedudukan, mencari kesenangan seksual. Otak yang 'ngeres' itulah yang hendak kita bersihkan. Sudah lama kita tak menemukan ada obat pencuci otak kotor yang jitu. Mungkin itu yang dimaksud dengan cuci otak.

Banyak kita yang merokok, bahkan ada yang pencandu narkoba, ada yang gila perempuan, sering buka situs porno. Di gafatar, dengan pemahaman kembali kepada Tuhan banyak yang sembuh. Kalau tak sembuh dia tak bisa jadi anggota Gafatar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun